Hari ini hari jum'at. Semalam Edo memaksa untuk menginap di rumah Fadil. Bukan apa-apa, dia pernah sekali memergoki Fadil tengah mengerjakan sesuatu dari mamanya dan juga dihubungi mamanya tengah malam karena suatu hal. Dia tidak ingin kecolongan kali ini, antisipasi jika wanita yang sekarang ini Edo nobatkan sebagai wanita iblis itu menganggu sahabatnya lagi.
Pagi ini bahkan Edo sudah berniat bolos sekolah. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Fadil. Semalam tidak sempat karena setibanya di dalam kamar Fadil langsung tidur hingga pagi.
Pak Ridwan juga tidak seperti biasanya. Laki-laki paruh baya itu sedikit lebih diam dan berbicara seadanya saja. Seperti pagi ini, Ridwan sedari tadi fokus membaca koran menunggu asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan. Sampai Fadil dan Edo turun pun Ridwan tidak menyapa seperti biasanya.
"Sarapan dulu." Itu adalah kalimat pertama yang Edo dan Fadil dengar pagi ini dari Ridwan.
Tak ingin menambah kecanggungan, Fadil segera mengambil nasi, menuangkan di piring papanya, piring Edo dan terakhir miliknya sendiri.
Tidak ada komen apapun ketika Fadil hanya mengambil sedikit nasi untuk sarapanya. Berbeda dari biasanya, Ridwan pasti sudah mengomelinnya panjang lebar.
Jujur, Fadil tidak nyaman. Namun, apa boleh buat. Dia akan menganggap kejadian semalam tidak pernah terjadi dan bersikap seolah semua baik-baik saja. Hal itu ia lakukan bukan tanpa tujuan. Ia hanya tidak ingin kejadian canggung seperti ini terjadi dan berakhir dengan ridwan yang akan memintanya bercerita.
Fadil merasa, papanya menginginkan itu sekarang.
"Pa.."
Baru saja Fadil ingin mengatakan sesuatu, namun melihat Ridwan mengangkat sebelah tangannya ia urungkan kembali. Itu tandanya Ridwan menyuruhnya untuk tidak berbicara dulu.
Fadil semakin gusar. Dia tidak terbiasa dengan situasi seperti ini, terutama dengan papanya. Bagaimanapun hanya Ridwan yang ia miliki sekarang. Jika terus seperti ini maka Fadil tidak ada pilihan lain selain jujur.
Semakin berpikir, membuat Fadil mual dan pusing. Ah..payah. Pikirnya.
Hanya 2 suapan pertama yang bisa masuk ke pencernaan Fadil. Selebihnya ia tidak mampu lagi. Bisa-bisa dia muntah dan malah memperkeruh suasana. Membereskan satu masalah saja belum kelar, bisa panjang penyelesaiannya jika dia malah sakit.
Gerak-gerik Fadil sebenarnya tidak luput dari pengawasan Ridwan. Hanya saja, ia sedang ingin memberikan pelajaran pada anaknya. Dia hanya ingin Fadil jujur dengan apa yang selama ini terjadi antara anaknya itu dengan mantan istrinya. Walaupun sebenarnya dia juga tidak tega, apalagi melihat Fadil beberapa kali memejamkan mata. Pasti ada yang tidak beres.
"Do, motor kamu udah dibenerin?" tanya Ridwan tiba-tiba.
Edo sempat melirik Fadil, merasa tidak enak karena merasa Fadil telah diabaikan dan justru dirinya yang diajak berbicara.
"Udah kok, Om."
"Habis ini Om ganti ya?"
"Ganti apanya, Om?" tanya Edo bingung.
"Ya uang perbaikan motornya lah."
"Nggak usah, Om. Itu kan salah Edo sendiri yang kurang hati-hati."
"Tapi kan boncengan berdua. Om ganti sebagian deh kalau gitu."
"Cuma lecet Om. Nggak sampai habis banyak, orang ngerjainnya dibengkel Omnya Edo sendiri," Edo masih berusaha menolak. Semakin sungkan dengan Fadil sebenarnya karena dia terus diajak ngobrol sementara Fadil tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...