Senin pagi yang mendung, Edo dan Fadil sudah bersiap dengan seragam mereka. Minggu kemarin Fadil memutuskan untuk menginap tanpa memberitahu Papanya. Ia juga tidak mengatakan bahwa sempat sakit hingga tumbang di malam minggu kemarin.
Orang tua Edo belum pulang dan ART di rumahnya juga belum kembali, alhasil mereka memutuskan untuk sarapan selembar roti dan susu hangat buatan Edo. Fadil sebagai tamu tentu tidak masalah, dengan itu,saja dia sudah merasa sangat kenyang.
"Jadi mampir ke minimarket?" tanya Edo yang sudah bersiap memanasi mesin mobilnya, mendapatkan balasan berupa anggukan dari Fadil.
"Cari yang agak sepi aja deket perempatan sebelum sekolah."
"Siap!"
Mobil putih itu perlahan melaju, membelah jalanan yang pagi ini lumayan dingin dari biasanya. Cuaca yang bagus untuk menghadapi hari Senin yang melelahkan karena harus mengikuti Upacara Bendera dan berdiri kurang lebih satu jam.
Beberapa waktu kemudian sampailah keduanya di minimarket. Rencananya Fadil ingin membeli beberapa permen dan coklat. Antisipasi jika hipoglikemianya kembali berulah. Edo sendiri sudah menghilang di bagian rak camilan. Penggila micin itu pasti akan memborong hampir semua merk camilan yang ada.
"Cuma itu?" tanya Edo memastikan ketika keduanya sampai di kasir.
"Ini udah banyak kali," ujar Fadil. Ia membeli 5 batang coklat ukuran kecil dan sebungkus permen. Berbeda dengan Edo yang keranjangnya sudah menggunung dengan beberapa camilan.
Kasir di minimarket sampai tersenyum ketika melihat perbedaan keduanya.
"Makanan manis bisa buat tinggi ya, Dek?" tanya kasir itu. Ia sempat kaget saat dilihatnya ada siswa yang masih menggunakan seragam SMA namun tingginya sudah menjulang seperti itu.
"Bisa kalau mbak makannya sambil kayang."
Edo berusaha menahan tawanya agar tidak meledak mendengar jawaban Fadil. Fadil itu gampang tersinggung jika menyangkut tinggi badannya.
Setelah selesai membayar, Fadil dengan entengnya berujar, "Bilangin ke atasan mbak, raknya kurang tinggi, saya capek nunduk terus." Setelahnya remaja tinggi itu keluar begitu saja dari minimarket.
"Dek kembaliannya," ujar kasir itu, namun Fadil sudah menghilang.
"Temen saya lagi sedekah tuh mbak, udah buat mbak aja." Edo memberikan penjelasan dari raut bingung mbak kasir yang ia ketahui bernama Lia dari name tag yang dipakainnya.
"Aduh saya jadi nggak enak. Adek yang tadi pasti marah," ujarnya tak enak hati.
"Temen saya suka gitu mbak. Hati-hati aja ntar mbak dimarahin lho sama gebetannya." Edo berujar cekikikan. Ia mengangsurkan beberapa lembar uang 50 ribuan ke kasir.
"Gebentannya disini?" tanya mbak kasir penasaran.
"Itu di belakang mbak. Dadah mbak, kembaliannya buat mbak aja." Dengan cepat Edo berjalan keluar dari minimarket. Meninggalkan kasir yang kebingungan, karena tidak ada orang dibelakangnya. Dia sedang seorang diri sekarang, jangan salahkan bulu kuduknya yang tiba-tiba meremang. Diam-diam kasir itu berujar dalam hatinya untuk tidak lagi bertemu dengan 2 remaja SMA tadi.
--
Fadil, Edo, Nino dan Nia berjalan bersama setelah upacara selesai. Beberapa pasang mata menatap mereka heran. Pasalnya yang mereka tau keempat orang itu terbiasa adu mulut, tapi sekarang terlihat begitu akrab. Bahkan Nino sesekali tertawa, tidak seperti biasa yang selalu tampak menyeramkan.
"Berani taruhan, anak-anak pada heran lihat Nino jadi anak baik dan murah senyum hari ini," celetuk Nia sembari memaikan topinya.
"Iyalah, biasanya kan PMS mulu. Dikit-dikit marah, dikit-dikit berantem." Kali ini Edo yang menimpali, selanjutnya ia beringsut bersembunyi di belakang Fadil begitu Nino akan memukulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...