Sudah 5 hari Fadil terkurung di gedung putih berbau obat-obatan yang paling dibencinya. Tidak ada hp, tidak ada hiburan, dia sangat bosan tentu saja. Yang ia lihat hanya TV dengan berita yang itu-itu saja, dan tentu saja papanya yang setiap saat keluar masuk ruangan tempatnya di rawat.
Ada kabar baik untuk sore ini dari dokter cantik dan baik yang sepertinya dikagumi papanya. Ia sudah diperbolehkan pulang dengan catatan harus istirahat dulu hingga kondisinya memungkinkan untuk menjalankan aktifitas lagi.
"Aktifitas yang ringan-ringan saja. Jangan bergerak secara tiba-tiba, terutama yang membutuhkan pergerakan bahu dan tubuh bagian atas. Ingat, kamu masih dalam masa pemulihan!"
Meskipun terdengar tegas, namun Fadil diam-diam juga menyukai cara dokter satu ini berbicara. Nadanya lembut dan selalu tersenyum.
"Fadil paham?" tanya Dokter Hani lagi.
"Iya, Dok," jawabnya sembari membalas senyum.
"Silahkan bersiap ya. Papamu sebentar lagi kemungkinan selesai. Saya pamit dulu."
Setelah Dokter Hani keluar, Fadil memutuskan untuk merebahkan diri terlebih dahulu. Sore hari seperti ini godaan tidur semakin menjadi-jadi.
"Nak, nggak jadi pulang?"
Suara Ridwan berhasil mencegah Fadil menyelami mimpi semakin dalam. Dengan mudahnya ia terusik. Dilihatnya Ridwan tengah memindai seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Mau jalan aja, atau pakai kursi roda?"
Fadil memutar atensinya "Fadil bisa jalan kok, Pa."
Dengan dibantu Ridwan, Fadil turun dan berjalan perlahan menuju sofa yang disana sudah ada beberapa tas untuk dibawa pulang.
"Mau ngapain?" cegah Ridwan.
"Bawa tas." Fadil mengerjap tak paham, sudah jelas dia mau mengambil tas.
"Otak kamu kayanya masih nempel di bantal deh. Mau papa ambilin?"
Fadil memilih memutar arah menuju pintu dan keluar. Dia baru ingat pesan Dokter Hani. Baru sebentar diberi petuah saja sudah lupa. Mungkin otaknya memang tertinggal dan menyatu dengan bantal saking lamanya rebahan.
**
Saat sampai rumah yang dilakukan Fadil adalah mengambil laptop dan membawanya ke ruang keluarga. Setidaknya ada satu sosial media yang masih tersambung disana.
"Pulang dari Rumah Sakit itu langsung istirahat, bukan malah mainan laptop," gerutu Ridwan dari arah dapur.
"Minum dulu." Ridwan mengangsurkan segelas air putih yang langsung diterima Fadil dan diminumnya.
"Makasih, Pa." Tak lupa dengan kebiasaan sederhananya, mengucapkan terimakasih.
"Hm. Papa mandi dulu, kalau butuh apa-apa jangan dikerjakan sendiri. Ada Papamu yang sehat walafiat yang siap bantu."
"Iya."
Ridwan mengusak rambut Fadil setelah mendapat jawaban singkat dari putranya. Ia akan membersihkan diri dulu, sebelum menjadi pengawas anaknya malam ini.
Sementara itu Fadil sedang sibuk membuka beberapa aplikasi. Yang paling utama adalah Instagram karena tidak memelurkan konfirmasi apapun ke hpnya. Yang kedua adalah e-mail. Sudah cukup lama tidak membukanya. Fadil khawatir mamanya mengirim sesuatu padanya.
Inbox (1988)
Mengabaikan Instagram miliknya, Fadil lebih memilih membuka terlebih dahulu e-mail yang memiliki pesan lebih banyak. Saat membuka, beberapa pesan berasal dari market place, e-money, e-bangking. Diantara banyaknya pesan, yang sangat menarik perhatiannya adalah email pribadi dari mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...