Sayup-sayup Fadil dapat menangkap kebisingan yang berasal dari dapur pagi ini. Pasti ARTnya sudah datang untuk memasak sarapan pagi dan membersihkan rumah.
Selama tinggal dengan papanya di rumah baru, Fadil tidak pernah berinteraksi begitu dekat dengan Bu Dini. Wanita itu juga pendiam, hanya sesekali tersenyum saat melayaninya dan juga melayani papanya. Sebenarnya Fadil agak takut sih. Tapi kata papanya, jadi bocah nggak boleh suudzon.
Fadil sudah rapi dengan seragamnya pagi ini, tasnya agak besar karena harus membawa laptop dan beberapa buku. Hari ini hari Jum’at. Sore nanti sepulang sekolah Mama Gina akan menjemputnya untuk menginap. Nasib anak ganteng, jadi rebutan sana-sini.
“Selamat pagi cik gu Ridwan,” sapa Fadil ala Upin-Ipin.
Papa Ridwan yang tengah membaca koran di tangannya hanya melirik sekilas. Tak heran lagi dengan kelakuan anaknya yang super absurd.
“Kebiasaan. Anaknya nyapa dianggurin. Ntar malem aja bobok sendiri pake acara nelvonin segala, bilang kangen.”
Lagi-lagi Ridwan hanya melirik, kemudian terdengar suara kekehan. Ridwan memang gampang sekali rindu dengan anak semata wayangnya itu.
“Rumah sepi kalau nggak ada kamu.”
“Ada yang lain tau. Di kamar bawah itu ada, sama di atas juga, di balkon kamar aku kalau Papa mau lihat.”
Ridwan refleks menutup koran yang ia baca. Agak ngeri dengan sesuatu yang diucapkan Fadil. Anaknya itu memang agak peka. Dari kecil suka nunjuk-nunjuk sesuatu yang tidak ada bentuknya. Ia pikir anak itu udah lupa dengan kebiasaan anehnya.
“Nggak usah nakutin Papa deh. Sebelum kita resmi nempatin rumah ini kan udah ada pengajian dulu.”
Mereka berdua tersenyum saat Bu Dini meletakkan sarapan pagi di atas meja.
“Tidak semudah itu ferguso. Yang di bawah itu udah permanen. Kalau yang di kamar aku suka ngikutin aku dari dulu. Eh di rumah baru juga ikut,” sahut Fadil begitu ringan. Ia tidak tau saja kalau papanya sudah merinding tidak karuan sejak tadi.
“Papa merinding?” Fadil tersenyum.
“Udah deh, ntar malem papa nginep di rumah Mas Fatih aja. Punya anak kok mulutnya licin amat kalau ngomongin memedi.”
Fadil terbahak. Fatih itu kakak kandung Papanya. Kasian Om Fatih selalu menjadi pelarian saat papanya takut di rumah sendiri.
“Fadil berangkat ya, Pa. udah di jemput Edo di depan,” pamit Fadil sambil menyalami tangan papanya.
“Baru makan sedikit. Kebiasaan kamu tuh.”
Fadil hanya membalasnya dengan cengiran. Sarapan itu baginya hanya sebatas memenuhi kewajiban saja daripada perut kosong. Fadil itu tipe orang yang gampang sakit perut dan mual kalau sarapan pagi terlalu banyak dan berat.
“Itu kuat bawa tasnya. Papa ngeri deh, Nak.” Ridwan bangkit turut mengantar anaknya sampai ke depan rumah.
“Dih, cuma bawa buku sama laptop doang kok, Pa. Siapa tau habis ini lengan Fadil jadi berotot kan.”
“Buku berapa lusin kamu bawa?”.
“Adalah beberapa. Fadil berangkat, assalamualaikum. Jangan kangen.”
“Waalaikumsalam, jangan lupa makan ya. Jangan takut minta apa-apa sama mama. Kalau sungkan pesen grabfood aja.”
“Siap Pak Ridwan.”
Berat bagi Ridwan melepas anaknya. Walaupun hanya 3 malam, rasanya sangat lama. Apalagi anaknya itu tidak begitu dekat dengan mantan istrinya. Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
FADIL
Teen FictionFadil itu pintar tapi standar menurut Papanya. Mereka sudah seperti anjing dan kucing pokoknya. Tidak ada yang pernah mau mengalah. Tapi Papanya cukup menyenangkan. Mama Fadil itu tegas sekali, kadang Fadil sampai canggung dengan Mamanya sendiri. Me...