22. Kesaksian

208 90 28
                                    

Friendship Problems
22. Kesaksian

Oke, siapa yang udah baca sampai sejauh ini tapi masih belum follow akun penulisnya? Wahhhh, yuk, segera follow biar nggak banyak ketinggalan info.

Sebelumnya, vote dulu dong.

Jangan lupa buat spam komen, ya♡

Let's read!

***

SEUSAI kenyang, mereka berdua segera kembali ke kelas. Suasana kelas sepi, tetapi masih ada beberapa orang di dalam sana. Kebanyakan manusia sepertinya lebih memilih menghabiskan waktu di luar kelas dengan kepentingannya masing-masing.

Mencari keberadaan laki-laki bernama Dodit untuk dimintai keterangan lebih lanjut tidak begitu sulit. Laki-laki culun yang kerap berangkat sekolah paling pagi menjadi tersangka atas kasus origami ini. Semoga saja Dodit dapat memberi petunjuk untuk Elna tentang siapa pengirim origami itu.

Pas sekali, orang yang mereka cari tengah duduk anteng di bangkunya sambil menikmati buku bacaannya. Bukan membaca buku novel atau semacamnya, tetapi dia membaca buku yang isisnya penuh dengan rumus-rumus kimia lengkap dengan soal serta pembahasannya. Culun-culun begitu, Dodit tetap meraih peringkat tiga besar di dalam kelas. Elna sama Dara saja masih kalah sama Dodit kalau dalam bidang akademik. Sesekali laki-laki itu membetulkan posisi kacamata bundarnya yang melorot akibat dia memiliki hidung pesek.

Elna dan Dara segera menghampirinya.

Dodit awalnya tidak peduli dengan kedatangan dua gadis itu. Karena letak bangkunya di ujung belakang dekat dengan sapu-sapu yang tertata tidak rapi di pojok kelas hingga menjadi sarang nyamuk. Dia mengira bahwa Elna dan Dara berjalan ke mari untuk mengambil sapu. Rupanya praduganya salah, dua gadis itu benar-benar menghampirinya. Berjalan santai dan semakin dekat dengan bangku tempatnya duduk.

"Dodit."

Sebagai manusia yang jarang bersosialisasi dengan seorang perempuan. Dua tangan Dodit yang tengah memegang buku mendadak bergetar kecil. Dia grogi kala Dara memanggil namanya dengan lembut. Kaum berjenis kelamin perempuan di kelas ini jarang sekali memanggil namanya, apalagi berbicara dengannya. Selain Dodit orangnya tertutup, nggak ada juga yang tertarik buat ngedekatin dia selain anak-anak cowok yang sering minta sontekan. Mau nggak dikasih, ntar Dodit makin nggak punya teman lagi di kelas.

"K-kamu manggil aku, Dar?" tanya Dodit untuk memastikan. Takutnya dia salah dengar. Padahal aslinya cuman dia yang lagi duduk di barisan bangku paling belakang.

"Bukan." Dara mendengus setelahnya. "Ya iyalah gue manggil lo. Manggil siapa lagi coba," ucapnya kesal.

Elna dan Dara menjatuhkan pantat mereka pada masing-masing kursi yang terletak di depan bangku Dodit. Kemudian memandang Dodit dengan tatapan menyelidik.

"Ada perlu apa manggil aku, Dar?" tanyanya dengan kepala sedikit tertunduk. Tidak berani menatap lawan bicaranya. Apalagi dia dihadiahi tatapan yang seolah-olah mengatakan bahwa dia pernah melakukan suatu kasus yang menimbulkan dosa besar.

"Jadi, gue tuh mau nanya, Dit. Lo 'kan sering berangkat pagi, nih, ya. Lo tahu nggak sih siapa yang naruh origami di laci gue?" Bukan Dara yang bersuara, melainkan Elna. Sepasang matanya menatap Dodit dengan penuh harap. Berharap bahwa Dodit memiliki petunjuk untuk ini. Ayolah, Elna benar-benar penasaran dengan siapa makhluk hidup yang tidak bosan memberinya origami sampai berjumlah lebih dari sembilan ratus buah.

Dilihat dari raut wajahnya. Dodit tampak berpikir hingga dahinya mengernyit. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah. Iya, dia tahu siapa orang yang selalu datang pagi-pagi dan berjalan menuju ke bangku Elna. Menaruh sesuatu di sana hingga menimbulkan suatu kecurigaan di benaknya.

Hingga pada akhirnya dia memberanikan diri untuk mengecek laci meja Elna dan menemukan origami berbentuk hati berwarna merah jambu. Dalam jangka waktu seminggu Dodit melakukan hal itu, terus memastikan barang apa yang diberikan orang itu pada Elna. Melihat barangnya tidak berubah sama sekali. Namun terkadang jumlahnya saja yang berbeda. Dodit tidak jadi was-wasm karena barangnya tidak terlalu berbahaya menurutnya.

Dia juga merasa bahwa dia tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan ini karena tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Bukan berarti dia ingin bersikap apatis, bukan, dia hanya membatasi diri saja sampai mana dia harus ikut masuk dalam hidup orang lain. Makanya dia tidak pernah memberitahu Elna apa pun soal origami-origami itu. Lagipula Elna juga tidak terlihat mencari siapa yang memberikannya. Jadi Dodit merasa bahwa ada kemungkinan Elna sudah tahu siapa pengirimnya dan membiarkan saja.

"Kok lo bengong sih, Dit?"

Lamunan Dodit pun terbuyarkan kala Dara melambaikan tangannya berulang kali di depan wajahnya.

"Kamu emang belum tahu, Na?" Dodit bertanya dengan hati-hati.

Elna menggeleng cepat. "Lo tahu, kan?"

Laki-laki itu mengangguk. Ada pancaran keraguan terlihat dari wajahnya. Dia merasa Elna akan terkejut setelah ini.

Elna dan Dara tampak tersenyum senang. Keduanya saling pandang lalu mengalihkan pandangannya pada Dodit. Mereka berdua terlihat tidak sabar dengan apa yang akan diucapkan Dodit selanjutnya. Akhirnya, terungkap sudah.

"Siapa yang ngirim?" Dara yang sudah tidak sabar sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengikis jarak dan menatap Dodit dengan intens. Berupaya mendesak Dodit agar segera mengatakannya.

"Yang ngirim ... Pak kebun."

Suara gebrakan meja mengejutkan Dodit hingga membuatnya tersentak. Elna yang bibirnya tengah menganga lebar tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dodit. Lantas keduanya menatap Dara yang berdiri dari duduknya. Gadis itu sama terkejutnya seperti Elna.

Suara keras yang terdengar akibat gebrakan meja tadi berasal dari Dara. Gadis itu terlalu syok. "Heh, jangan bercanda dong, Dit! Jangan bohong lo!" Dara kembali dusuk. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dodit barusan.

To be continue

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang