07. Proses Mencari

371 136 23
                                    

Friendship Problems
07. Proses Mencari

LIMA hari sudah berlalu setelah kejadian menemukan empat origami di laci meja. Kertas lipat itu rupanya benar-benar beranak pinak. Jumlah kertas lipat berwarna merah jambu berbentuk hati itu kian bertambah setiap hari. Seolah laci mejanya adalah mesin yang dapat digunakan untuk menggandakan barang.

Di hari-hari sebelumnya Elna mencoba abai dengan kertas-kertas itu. Namun hari ini, dengan paksaan Dara — yang memintanya untuk membuka setiap origami dan membaca setiap kata yang tertulis di dalamnya. Elna memutuskan untuk mencari tahu siapa S sebenarnya. Elna tidak ingin terlalu lama larut dalam rasa penasaran. Sejujurnya, Elna sama sekali tidak terganggu dengan kedatangan origami itu. Dia hanya penasaran dengan siapa pengirimnya.

Elna terlarut dalam lamunannya. Dia berjalan dengan terbengong. Kepalanya sedikit menunduk dan matanya menatap kosong ke lantai. Mengabaikan beberapa orang yang juga berlalu lalang melewati koridor yang tengah dia lewati. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak ke kanan dan ke kiri seiring dengan ayunan langkahnya.

Gadis itu masih memikirkan siapa manusia yang rajin mengiriminya origami-origami bentuk hati hingga tidak sadar bahwa dahinya menabrak sesuatu.

Elna mengaduh sambil memegangi dahinya. Diam-diam menyumpah serapahi badan yang sedang berdiri di depannya. Orang itu berani sekali mengganggu jalannya untuk melewati koridor dengan tenang. Elna mendongakkan kepalanya.

Matanya mendelik setelah mengetahui siapa seseorang yang tengah menghalangi jalannya. Elna pun memberi tatapan sinis dan segera berlalu dari hadapan laki-laki itu.

"Tunggu." Laki-laki itu mencekal pergelangan tangan Elna. Tidak membiarkan Elna berjalan menjauhinya.

"Apaan sih lo?" Elna memberontak. Mencoba melepaskan cekalan tangan laki-laki itu. Namun usahanya sia-sia, tenaga laki-laki itu jauh lebih kuat dibanding tangannya. Cekalan tangannya terlalu kuat hingga terasa sedikit sakit.

"Bengongin apa? Lagi ada masalah?"

"Bukan urusan lo!" ketusnya. Dengan berani Elna menatap tepat manik mata laki-laki itu dengan tatapan tajam, tanpa ada rasa takut sedikit pun.

"Elna Marlina, lo itu jarang ngelamun. Sekalinya ngelamun, pasti lo lagi ada masalah. Iya, kan?" Pemuda itu menaik-turunkan sebelah alisnya, sepertinya dia baru saja mempelajari ilmu perdukunan — sok tahu sekali. Entah apa maksudnya dengan berkata demikian. Dia sedang mengejek atau malah mencoba untuk membantu Elna. Namun Elna dengan jelas menganggap ucapan itu adalah sebuah ejekan.

"Jangan sotoy! Minggir lo!" Elna merasakan cekalan di pergelangan tangannya sedikir mengendur. Ini sebuah kesempatan untuk dia melepaskan tangan laki-laki itu. Setelah cekalan tangan itu berhasil terlepas. Elna buru-buru meninggalkan pemuda yang masih berdiri di tempatnya.

"Genta lo bisa ngejauh nggak?" Elna menghentikan langkahnya kala dia merasakan seseorang terus membutut di belakangnya.

"Nggak." Genta yang berjalan maju sambil membalik badan dengan santai menghentikan langkah kakinya tepat dua langkah di depan Elna. Lalu dia menggeser badannya satu langkah ke kanan agar dapat berhadapan langsung dengan gadis itu. "Ayolah, Na. Gue minta maaf."

Elna dengan tegas menggelengkan kepalanya. "Gue bilang nggak ya nggak!" ujarnya tegas.

Gue nggak pengen lo nyakitin cewek lain karena secara nggak langsung gue juga ikut tersakiti. Setelah membatin Elna menunduk sebentar. Dia menarik napas panjang dengan pelan.

"Genta!"

Keduanya menoleh ke arah suara berat yang baru saja meneriakkan nama Genta. Laki-laki dengan potongan rambut ala idol-idol K-pop itu berjalan mendekati mereka. Tangannya melambai dan dari bibirnya tersungging sebuah senyum. Lelaki berperawakan tinggi jangkung dan berbadan kekar itu tampak mirip dengan artis Korea jika dilihat dari kejauhan. Matanya yang sedikit agak berwarna hitam kecokelatan juga sangat mendukung penampilannya.

"Dicari Nathan, Ta," katanya.

"Ngapain dia nyari gue, Ga?"

"Mau bicara soal pergantian kapten basket. Buruan." Arga merangkul bahu Genta. "Kita duluan, ya, Na."

Genta melotot. Dia seolah tidak setuju dengan perkataan Arga. Ayolah, dia masih ingin berlama-lama dengan Elna di sini. Sampai gadis itu mau memaafkannya. Namun Arga dengan tanpa dosa malah segera menariknya menjauh dari Elna.

Elna mengangguk. Setelah itu dia menyaksikan kepergian dua pemuda yang pelan-pelan menghilang dari pandangannya. Kemudian tangan Elna merogoh saku bajunya. Menarik kertas selebaran yang sengaja dia lipat dua kali hingga berbentuk persegi panjang. Elna membuka kertas itu dan membaca tulisan yang dia tulis saat jam istirahat pertama tadi.

"Sanjaya, Satya, Satria, Sangga, Samudra, Septian, Saputra, Sadewa, Saidan." Elna membaca nama-nama yang dia tulis di dalam daftar dengan pelan.

Sengaja Elna hanya menuliskan nama orang-orang yang pernah menyatakan perasaan padanya. Menurutnya dan menurut Dara juga, mereka dapat dijadikan tersangka atas kejadian ini. Bunyi origami keempat yang terus dia ingat sepertinya menjadi kunci siapa pengirimnya.

Nama Satya sudah dia coret lebih dahulu dengan garis berwarna hitam. Menurutnya dan menurut Dara juga, Satya bukanlah dalang di balik datangnya origami-origami ini. Ketika Satya datang ke sekolah, Elna pasti selalu melihatnya. Elna selalu berangkat ke sekolah lebih awal dibandingkan Satya. Tidak ada kesempatan untuk laki-laki itu meletakkan origami di laci mejanya.

Elna akan beralih ke laki-laki berikutnya yaitu, Sanjaya.

Jujur saja, agak susah menemukan Sanjaya di antara gedung-gedung sekolah yang menjulang tinggi ini. Apalagi sekolahnya juga memiliki ukuran yang luas. Rasanya, benar-benar seperti sedang berolahraga lari untuk membakar lemak. Dari ujung kelas sepuluh sampai kelas dua belas, Elna sama sekali tidak menemukan batang hidung Sanjaya di sana. Ketika bel masuk terdengar. Elna memutuskan untuk menyudahi aksinya dalam pencarian Sanjaya.

Sepulang sekolah Elna menunggu Papanya di gerbang sekolah. Dia beralibi bahwa Genta akan ada pertandingan basket dan laki-laki itu akan pulang sangat petang. Elna tidak mau menunggu karena alasan ada tugas yang harus segera dikerjakan. Mau tidak mau, Arman harus menjemput ke sekolah. Lagipula Elna juga jarang mendapatkan uang tambahan untuk naik taksi atau ojek. Tidak ada pilihan lain lagi selain itu.

Elna berdiri sambil menahan pegal. Kaki-kakinya sepertinya sudah tidak mampu lagi untuk menahan berat badannya. Elna pun mendesah. Lama sekali Papanya. Apakah pesan darinya tidak dibaca? Elna sudah pastikan bahwa pesan itu terkirim sampai ke tujuan. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada tembok. Dia memejamkan matanya. Mencoba menyalurkan berat badannya ke tembok agar kakinya tidak tersakiti sendirian.

Suara deruman motor berhasil membuat mata Elna terbuka. Melihat siapa pengendara sepeda motor yang baru saja melintas melewati pintu gerbang di sampingnya. Itu, seseorang yang dia cari sejak tadi, Sanjaya Danuarta.

"Sanjaya! Sanjaya!" Sepertinya dia tidak mendengar panggilan Elna karena laki-laki itu mengenakan helm di kepalanya.

"Sanjaya!" teriak Elna dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Beberapa orang di depan yang mengetahui Elna memanggil Sanjaya juga ikut membantu meneriakkan nama laki-laki itu agar berhenti.

Dia melambai-lambaikan tangannya untuk menarik perhatian Sanjaya melalui kaca spion. Untungnya apa yang dilakukannya ini membuahkan hasil.

Sanjaya menghentikan motor yang dikendarainya. Dia menoleh ke belakang dan membuka kaca helm. Menatap bingung ke arah gadis yang berdiri di samping jalan raya. Matanya sedikit menyipit untuk memperjelas penglihatannya.

Elna? Ngapain dia? Sanjaya membatin. Lama-lama gadis itu mendekat ke arahnya.

To be continue

Jangan lupa vote
Spam komen juga biar aku cepet update❤

Oh iya, jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke teman-temanmu❤

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang