11. Menemui Sangga

299 121 14
                                    

Friendship Problems
11. Menemui Sangga

GADIS dengan bola mata berwarna hitam itu berhasil menemui Sangga setelah melalui proses pencarian yang panjang sendirian. Ini terjadi karena Dara tidak pernah mau keluar dari kelas saat jam istirahat kedua. Dara pasti akan memanfaatkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Dia akan tidur siang di dalam kelas. Demi mengisi amunisi agar tidak mengantuk saat begadang di malam hari untuk menamatkan berbagai serial drama Korea. Alhasil Elna mencari Sangga sendirian.

Elna dan Sangga kini sedang duduk di salah satu kursi panjang di dalam gedung besar yang kerap digunakan untuk bermain futsal. Sangga dengan santai duduk di sana sambil mengamati jalannya pertandingan sendirian. Tadinya laki-laki itu di sini bersama dengan teman-temannya. Namun karena kedatangan Elna, teman-teman Sangga pergi dari tempat ini dengan alasan ingin membeli sesuatu di kantin. Mengingat dulu Sangga pernah mengejar Elna dan sekarang Elna mencari Sangga. Tentu saja mereka memberi celah untuk keduanya. Tanpa mengerti lebih dulu apa maksud kedatangan Elna mencari Sangga.

"Sangga." Elna mencoba memanggil Sangga karena sendari tadi cowok itu mendiamkannya. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri.

Mantan pemain futsal yang pernah mewakili sekolah dalam lomba futsal dan menyabet juara, fokus mengamati pertandingan generasi setelahnya. Mengabaikan Elna meskipun dia menyadari kehadiran gadis itu. Berada di dekatnya lagi setelah menjauh darinya dalam kurun waktu yang lumayan lama. Tidak, Elna tidak pernah menjauh darinya. Sanggalah yang mendekati gadis itu lebih dulu dan Sangga pula yang menjauh karena gadis itu menolak pernyataan cintanya.

"Bentar. Gue masih nonton mereka." Tanpa mengalihkan pandangan Sangga menjawabnya. Nada bicaranya terdengar dingin.

Akhirnya hening menyelimuti keduanya. Sampai adik kelas mereka yang bertanding futsal selesai.

"Lo mau ngomong apa?" Lelaki yang baru saja menyibak poni rambutnya hingga memperlihatkan dahinya. Menoleh menatap Elna dengan intens. Baru saja dia menyia-nyiakan banyak waktu untuk berlagak tidak memperhatikan Elna. Maka dari itu, dia menatap gadis yang duduk di sampingnya dengan lamat. Tampaknya dia tadi tidak menyambut kedatangan gadis itu dengan baik.

Elna menarik sesuatu dari saku bajunya dan memperlihatkan pada Sangga. "Lo tahu ini apa?" tanyanya.

"Tahu."

Jawaban Sangga sontak membuat Elna tersenyum senang. Akhirnya, terjawab sudah rasa penasarannya selama ini tentang siapa yang memberinya origami lengkap dengan pesan-pesan singkat.

"Mmm ... ke– ke– kenapa lo ngirim ini ke gue?" Elna segera menarik napas setelah mengatakan hal itu. Sungguh, dia benar-benar merasa grogi. Sampai dia merasakan jari-jarinya yang memegang benda itu bergetar kecil.

Dahi Sangga berkerut. Tampak tidak mengerti apa yang tengah Elna bicarakan. Dia pun balik bertanya, "Maksud lo?"

"Tadi, lo bilang lo tahu ini. Jadi, lo yang ngasih ini ke gue?" tanya Elna hati-hati. Agak takut salah bicara.

Tanpa persetujuan Elna. Sangga merebut origami berbentuk hati dari tangan Elna. Mata lelaki itu mengamati dengan saksama. Membolak-balik berulang kali. Setelah puas, dia kembalikan lagi origami itu pada pemiliknya. Lalu dia menggelengkan kepalanya dan mengatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa mengenai origami itu.

"Lo tadi nanya ke gue begini. Lo tahu ini apa? Gue tahu itu origami, makanya gue jawab tahu. Kalau lo tanya siapa yang ngirim, ya, gue nggak tahu." Sangga menjelaskannya lebih rinci. Melihat Elna tampak belum paham dengan apa yang dia katakan. Bahunya mengendik setelahnya dan menoleh menatap Elna.

"Jadi bukan lo yang ngasih ini ke gue?" Elna memberanikan diri menatap Sangga tepat di manik matanya. Mencoba mencari apakah ada kebohongan di sana. Namun Elna tidak berhasil menemukan kebohongan itu.

"Na, gue ngerti gimana caranya berhenti berjuang." Sangga menatap Elna teduh. Senyum singkat terlukis di bibirnya.

Elna diam. Tidak mengerti harus menjawab apa. Dia memalingkan wajahnya. Topik yang Sangga bawa terlalu jauh. Bahkan Elna sama sekali tidak ingin membahasnya.

"Gue udah pernah lo tolak, Na. Meskipun rasa gue ke lo masih. Gue nggak akan ngejar lo lagi." Sangga masih melihat siluet wajah Elna dari samping. Tidak ada bedanya memang, Elna memang selalu cantik. Entah dilihat dari depan, samping, atau bahkan dari belakang sekalipun. "Buat apa gue ngasih lo origami? Lagian gue juga punya mulut buat ngomong langsung ke lo," imbuhnya.

Sangga memalingkan wajahnya. Menatap lapangan futsal yang sudah kosong. Sama seperti apa yang sedang Elna lakukan. "Gue nggak nyerah, tapi gue tahu batasan. Sampai titik mana gue harus ngejar seseorang yang gue suka. Kalau gue kejar dia terus tanpa ada batasan, gue sendiri yang bakal capek. Apalagi kalau rasa gue nggak dibalas. Udah capek. Sakit juga." Sangga tertawa kecil. Bermaksud menertawai dirinya sendiri.

"Apa lo bakal memperlakukan semua orang yang lo suka kayak gitu? Kalau lo ditolak, lo bakal berhenti ngejar?"

Sangga menghela napasnya pelan. Membiarkan keheningan menyergap untuk beberapa saat. "Syarat dan ketentuan berlaku."

"Gimana maksudnya?" Elna meminta cowok itu menjelaskan yang lebih rinci.

"Gue bakal perjuangin seseorang yang mau gue perjuangin. Sebaliknya, gue nggak bakal berjuang buat seseorang yang nggak mau gue perjuangin. Gue cuman takut. Kalau rasa gue itu bakal nyakitin pihak lain. Gue takut rasa itu bukan cinta lagi tapi malah berubah jadi obsesi."

Elna mengangguk mengerti. "Ya udah kalau lo nggak tahu soal origami ini."

Suara bel masuk membuat Elna berdiri dari duduknya. Dia berpamitan dengan Sangga untuk kembali ke kelasnya. Sangga mengiyakan.

"Lo nggak ke kelas?"

"Gue ntar olahraga. Gurunya nggak ada. Emang jarang ngajar tuh guru kalau siang." Sangga menggerutu. Namun dalam hati diam-diam Sangga juga bersyukur kalau guru itu tidak datang. Artinya, akan ada banyak waktu yang akan dia habiskan bersama teman-temannya di kantin. "Gue juga masih nunggu teman-teman," imbuhnya.

"Gue duluan."

Setelah Sangga mempersilakannya pergi. Elna perlahan menjauhi laki-laki yang masih setia duduk di tempatnya. Sepertinya Sangga memang tidak berniat untuk pindah dari sana. Terbukti karena Sangga malah menyandarkan punggungnya di punggung kursi. Matanya menatap lapangan dengan tatapan kosong.

To be continue

Jangan lupa untuk vote❤
Spam komen juga yaps❤
Rekomendasiin juga cerita ini ke teman-teman kalian biar punya bahan gibah🧚‍♀

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang