Frienship Problems
04. Hening di Antara BisingLAKI-LAKI yang memakai pelindung kepala berwarna hitam itu sesekali melirik kaca spionnya. Melihat gadis berambut lurus sepunggung yang duduk di jok belakang motor hanya diam membuat suasana menjadi canggung. Hening di antara keramaian yang menyeruak di jalanan. Hanya suara bising kendaraan yang terdengar memekakkan telinga. Ingin rasanya dia memanggil nama gadis itu. Namun, Genta mengurungkan niat.
Sejak tadi, sejak keberangkatan mereka dari rumah. Belum ada satupun yang berani mengawali percakapan. Biasanya, entah Elna maupun Genta, mereka akan menceritakan apa pun, tentang segala hal yang sudah mereka lalui. Berbagi kisah agar sama-sama saling didengar.
Tampaknya, mereka di hari ini memanglah berbeda dengan mereka di hari-hari sebelumnya.
Ini kali pertama Genta memboncengkan Elna lagi ke sekolah setelah kejadian di lapangan basket beberapa waktu yang lalu. Akhir-akhir ini Elna memilih berangkat dan pulang sekolah bersama Dara, manusia yang dekat dengan Elna setelah Genta.
"Elna?" Genta mencoba memanggil Elna tetapi tidak ada sahutan. Gadis yang duduk di belakangnya itu malah asyik memandangi gedung-gedung tinggi dan mengabaikannya.
"Na?" Lagi-lagi tidak ada sahutan dari Elna.
"Gue minta maaf, Na."
Elna pura-pura tuli. Dia tidak memedulikan apa yang dikatakan Genta. Meskipun aslinya degup jantungnya tiba-tiba bergemuruh. Namun, ini belum saatnya memaafkan Genta. Dia akan menunggu sampai Genta memang layak untuk dimaafkan.
"Elna ... gue minta maaf, Na. Gue nggak bisa kayak gini terus. Gue kangen lo, Na." Tangan Genta terulur, mengubah posisi spion motornya agar memantulkan bayangan Elna sepenuhnya. Rupanya, Elna juga tengah memandang ke arah Genta. Hingga akhirnya tatapan mereka beradu walaupun hanya melalui kaca spion.
"Ngomong, Na." Genta mengembuskan napasnya panjang. Dia terlihat pasrah sekarang.
Kata maaf darinya kini seolah tak berharga sama sekali.
Menyadari bahwa tatapan mereka beradu melalui perantara. Elna segera memalingkan wajah. Elna masih enggan membuka suara.
Gue juga kangen lo, Ta. Dia membatin dalam hatinya.
Tiba-tiba Genta menepikan motornya. Lalu tangannya tergerak untuk memutar kunci. Akhirnya mesin motor itu mati seketika di pinggiran jalan raya. Lumayan banyak orang yang berlalu lalang melewati mereka. Namun abai dengan keadaan. Tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan dua insan di tepi jalan.
Elna melihat laki-laki itu dengan dahi berkerut heran. Sekolah mereka letaknya masih agak jauh dari sini. Dalam hatinya Elna bertanya-tanya. Kenapa berhenti di sini?
Genta melepas helmnya. Meletakkan helm itu di depannya. Dia menoleh ke belakang, menatap Elna dengan tatapan teduh yang biasa dia berikan. Lalu turun dari motornya dan bersedekap.
Tanya, kenapa berhenti, kek. Genta membatin, dia menahan kesal.
Keinginan Genta tidak terpenuhi. Elna masih setia diam dan malah menundukkan kepalanya. Dia sepertinya memang tidak pernah menginginkan memandang wajah Genta lagi.
"Gue udah berhenti, dan lo masih nggak mau ngomong, Na? Lo nggak penasaran gitu kenapa gue berhenti di sini?"
Elna sibuk memainkan kuku-kuku jarinya. Matanya kemudian mengerling.
Genta mengangkat dagu Elna menggunakan jari telunjuknya. Dia menatap tepat di manik mata gadis itu. Elna seketika tersentak dengan perlakuan Genta barusan.
"Apaan sih lo?" Elna menepis kasar tangan Genta. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Gue minta maaf, Na." Genta berusaha meraih kedua tangan Elna. Namun lagi-lagi Elna menepis tangannya.
Gadis itu turun dari motor. Berjalan menjauhi tempat Genta memberhentikan motornya. Mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Lalu jari-jarinya menari di atas layar dengan lihai.
Genta yang melihat itu jelas tidak tinggal diam. Dia mengejar Elna. Meninggalkan motor kesayangannya sendirian di bawah terik matahari yang mulai menyengat.
Lo kenapa sih, Na? Genta menatap sendu punggung Elna. Dia hanya merindukan gadis itu, sudah, itu saja. Akhir-akhir ini Elna menjauhi dirinya. Saat itu juga, dia merasa seolah kehilangan separuh oksigen di dunia. Rongga dadanya selalu sesak ketika tidak menemukan gadis itu berada di dalam radarnya.
Genta mempercepat langkahnya untuk menyamai langkah Elna. "Mau sampai kapan, Na?" tanyanya. Matanya tertuju pada wajah Elna yang berwarna kuning langsat.
Elna tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke arah Genta yang juga ikut berhenti melangkah. Elna lalu bertanya, "Apa?" Suaranya terdengar dingin.
"Mau sampai kapan lo marah sama gue?" tanyanya lugas. Tanpa mengalihkan pandangan dari gadis itu walaupun hanya sedetik.
"Sampai lo berhenti mainin perasaan cewek." Elna masih terfokus pada ponselnya. Acuh dengan keberadaan Genta di sampingnya.
Bibir laki-laki itu terkunci rapat. Dia diam seribu bahasa meskipun detik jarum jam terus berjalan. Otaknya tidak memiliki jawaban yang tepat untuk merespon ucapan Elna.
"Kenapa diam? Lo nggak bisa?"
"Gue ...."
Elna menyunggingkan senyum miring, walaupun Genta tidak melihat senyumnya. "Gue udah bilang, kan? Gue nggak mau sahabatan sama cowok yang suka nyakitin perasaan cewek?"
"Gue kayak gitu juga ada alasannya, Na." Suaranya sedikit meninggi dari sebelumnya. Hampir saja Genta kehilangan kesabarannya. Untunglah dia masih bisa mengontrol.
"Alasan?" Dahi Elna mengernyit. "Alasan apa? Bilang ke gue sekarang, apa alasannya?" katanya seperti Ibu-Ibu kosan yang meminta tagihan uang bulanan.
"Gue nggak bisa bilang ke lo apa alasannya."
"Ya udah." Elna memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Genta. Tangannya terulur menunjukkan layar ponselnya pada Genta. "Gue udah pesan ojek online. Lo berangkat aja duluan," sambungnya. Lalu memasukkan ponselnya dalam saku baju.
Genta mengehela napasnya. Berurusan dengan gadis keras kepala seperti Elna memang tidak semudah yang dia bayangkan. Apalagi ini pertama kalinya Elna marah kepadanya sampai semarah ini. Tentunya Genta masih bergeming di tempat. Mencoba mencerna semua hal yang sudah dia lakukan sehingga membangunkan sisi monster Elna yang belum pernah dia hadapi.
Dia tidak memiliki niatan untuk meninggalkan Elna sendirian di sini karena dia tidak tega. Genta pun menemani Elna sampai ojek yang dipesan Elna datang menghampiri mereka. Dan akhirnya, Genta berangkat dengan mengekor di belakang ojek yang membawa sahabatnya.
Genta memandangi punggung gadis itu dengan lekat. Seolah dia tidak ingin mengalihkan pandangannya meskipun hanya sebentar. Karena Elna adalah ciptaan indah Tuhan yang tidak seharusnya dia lewatkan begitu saja.
Elna, gue kangen lo. Serius.
To be continue
808 kata. Sorry, ya, part ini pendek. Gue udah ngantuk soalnya. Sorry for typo, kalau kalian nemu, tandain dulu, ya. Biar gue perbaiki secepatnya.
find me:
instagram: @lailaefna_
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendship Problems [✓]
Teen Fiction[Follow dulu baru bisa dibaca] ❝ Nggak ada persahabatan yang tulus antara cowok sama cewek. Pasti bakal ada salah satu atau malah dua-duanya saling jatuh cinta ❞ Setelah bertikai dengan Genta, yang bernotabene sebagai sahabat karibnya. Elna jadi ser...