31. Pada Akhirnya

278 77 29
                                    

Friendship Problems
31. Pada Akhirnya

Setelah seminggu nggak update. Akhirnya update lagi. He he. Padahal dulu niatnya bikin cerita ini cuman 30 hari. Ternyata 3 bulan malah belum kelar, ewkekek.

Seperti biasa, follow dulu akun ini bagi yang belum. Bagi yang sudah, saranghaeyo, ehehe.

Vote dulu sebelum baca ya.

Spam komen jan lupa.

Let's read!

***

ENTAH sejak kapan, kehadiran yang tidak dapat diprediksi. Tiba-tiba saja Genta sudah berdiri di belakang Elna tanpa gadis itu sadar akan kedatangannya.

"Mereka benar, Na. Kita harus selesaiin masalah kita." Genta memberanikan diri menepuk bahu kanan Elna. Walaupun dalam hati dia ragu setengah mati. Takut jika membuat Elna semakin marah. "Kita harus bicara."

Elna membalik tubuhnya hingga menghadap langsung pada Genta. Tatapan nyalang dia lemparkan pada laki-laki itu. "Apa yang harus kita omongin, Ta? Gue rasa nggak ada."

"Ada! Tentang perasaan kita," tukas Genta. "Kenapa sih lo, Na? Kenapa setiap gue mau memperbaiki hubungan gue sama lo. Lo malah selalu pengen menghindar. Apa lo udah benar-benar nggak bisa maafin gue, Na?" Genta balas menatap gadis itu tajam. Rahangnya mengeras, dia tidak bisa mengontrol emosi.

"Gue udah bilang ke lo, Ta. Gue nggak mau punya sahabat yang suka nyakitin perasaan perempuan! Gue bakal maafin lo kalau lo udah nggak mainin perasaan cewek lagi."

Kenapa Elna tidak bisa jujur. Seharusnya dia jujur saja bahwa alasannya tidak menyukai Genta memainkan perasaan perempuan lain karena perasaannya sendiri. Elna tahu, sedekat apa pun Genta dengan perempuan lain, dirinya akan tetap Genta nomor satukan dibanding pacar-pacarnya. Namun tetap tidak bisa begitu.

"Gue udah nggak nyakitin perasaan perempuan!" Genta berbicara dengan nada tinggi. Dia lepas kendali soal emosinya.

Elna diam, memandang Genta penuh remeh kemudian berdecih.

"Ta, jangan kasar lo kalau ngomong sama cewek!" Arga, makhluk yang berada di balik pintu menyahut.

"Kontrol emosi lo," timpal Nathan.

Genta menggeram dan menarik napas kasar. Saran dua manusia setengah setan itu memang harus dia lakukan. Genta mencoba menahan emosi sekarang. "Asal lo tahu, Na. Gue udah nggak pacaran lagi sama cewek lain setelah lihat lo balik sama Sanjaya. Dari dulu gue suka sama lo, Na. Tapi gue emang bego karena nggak pernah nembak lo dan malah bikin lo nunggu sampai sekarang. Gue benar-benar nggak tahu kalau lo punya perasaan lebih ke gue, sama kayak apa yang gue rasain ke lo. Entah karena lo selalu menunjukkan perhatian yang sama, atau emang lo nggak pernah nunjukkin ke gue soal perasaan lo.

"Gue suka sama lo, Na. Gue sayang sama lo. Dan yang ngebikin gue nggak berani ungkapin perasaan gue ke lo ternyata sumbernya dari pikiran-pikiran gue sendiri. Gue yang nggak siap nyakitin lo atau emang gue nggak siap dengar jawaban terburuk dari lo dan bikin persahabatan kita hancur. Tanpa sadar, ternyata kelakuan gue sendiri yang bikin persahabatan kita berdua jadi hancur.

"Gue selalu nyakitin lo ya, Na? Gue minta maaf, gue nggak bermaksud buat nyakitin lo." Genta terdiam sebentar dan mengembuskan napasnya pelan.

Genta melihat dengan jelas mata gadis di hadapannya berkaca-kaca. Air mata pun jatuh mengalir melewati pipi Elna. Genta segera menghapusnya menggunakan ibu jari, seolah tidak mengizinkan benda lain menutupi wajah Elna – walaupun air mata sekalipun. Genta tidak tahu apa yang dirasakan gadis itu sekarang. "Jangan nangis," ucapnya pelan. Dia mendekatkan diri pada Elna, mencoba menghapus jarak antara wajahnya dan wajah Elna. Lalu memberikan gadis itu tatapan yang intens. Seperkian detik selanjutnya, Genta menjauhkan wajahnya dari sana.

Genta menarik sesuatu dari saku celananya. Origami berbentuk hati berwarna merah jambu, sedikit terlipat karena tadi dia duduki. "Ini origami terakhir yang janji bakal gue kasih ke lo sendiri. Setelah lama jadi pengecut yang cuman berani ngasih lo semangat lewat origami yang gue titipin sama Pak Ratman. Ini origami ke seribu, yang mungkin lo udah tahu kalau gue bakal kasih ini ke lo dari Pak Ratman." Genta mengulurkan tangan untuk memberikan origami itu pada Elna.

Elna sendari diam dan mencoba menahan tangis ketika menerima origami dari tangan Genta. Apa yang dikatakan Genta pada beberapa waktu yang lalu rupanya benar, laki-laki itu memang mempunyai alasan sendiri untuk memutuskan bermain hati.

Dua manusia ini seolah sama saja, sama-sama menghindar demi melindungi perasaan mereka sendiri. Menjadi egois, tidak ada yang mau mengakui lebih dulu hingga salah satu dari mereka mengutarakan lebih dulu apa yang dipendam diam-diam.

Elna tidak tahu mengapa dia menjadi pengecut saat perasaannya bertumbuh. Bahkan dengan pengakuan Genta, dia masih tetap tidak berani mengatakan soal perasaannya sendiri. Membiarkan laki-laki itu tahu dari sahabat terbaiknya – Dara.

Gadis itu perlahan membuka lipatan-lipatan origami. Dengan penglihatan sedikit kabur Elna berusaha tidak menjatuhkan air mata dari pelupuknya. Hanya ada satu kata di lembaran kertas lipat.

Sorry.

"Udah sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali gue bilang 'maaf' tanpa lo ketahui. Ini permintaan maaf gue yang keseribu."

Elna tidak tahu harus berkata apa. Tangannya tergerak meremas kertas lipat hingga tak berbentuk kemudian menjatuhkan ke tanah. Dia memeluk lelaki itu dengan erat. Menyembunyikan wajah di balik bahu Genta. Menangis di sana hingga Genta merasakan air mata Elna menembus kulit.

Genta sedikit terhuyung kala Elna mendaratkan pelukan padanya. Pelukan yang hadir sekonyong-konyong membuatnya terpaku. Hingga tangannya terangkat untuk membalas pelukan gadis itu.

"Gue maafin lo, Ta." Dengan isak tangis Elna berusaha menguatkan diri untuk mengatakannya.

Senyuman Genta terbit tanpa disadari.

Tak lama waktu berselang dalam keadaan hening. Genta pun mengembuskan napas panjang.

"Gue mau kita lebih serius, Na. Gimana kalau kita nikah?"

Mata Elna melotot seketika. Buru-buru dia melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. "Lo gila?"

Genta terkejut dengan reaksi gadis itu mengerutkan kening. "Gue nggak gila, dan gue serius."

"Lo belum kerja. Kalau gue nikah sama lo, gue mau makan apa? Lagian gue juga mau kuliah di Jogja. Gue keterima SBM."

Genta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Elna benar juga, dia belum kerja. Memangnya bagaimana nanti caranya dia menghidupi Elna beserta anaknya kelak? Cinta saja mana bisa bikin kenyang.

"Kalau pacaran aja gimana?"

Elna menggeleng. "Lo tahu nggak apa ujung dari pacaran? Putus. Entah putus untuk berpisah, atau putus untuk satu rumah. Dan gue nggak mau kalau sampai kita termasuk dalam spesies yang putus untuk berpisah."

"Gimana soal perasaan kita?"

Senyum manis tercetak jelas pada bibir gadis itu. "Biar waktu dan takdir Tuhan yang menjawab itu semua."

Semua kembali baik-baik saja setelah pesta malam kelulusan.

***

To be continue


Tebakan kalian soal apa itu S rupanya tidak ada yang benar. Wahahaha

find me:instagram: @lailaefna_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang