01. Usai

1.3K 305 128
                                    

Friendship Problems
01. Usai

ELNA memecah paksa barisan anak-anak yang menyemuti lapangan basket. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri untuk menemukan seseorang yang sedang dia cari. Beberapa saat kemudian Elna menemukan sosok itu tengah melakukan lay up, dan bola basketnya berhasil masuk ke dalam ring dengan sempurna. Terlihat baju jersey tanpa lengan yang dia kenakan basah kuyup akibat guyuran rintik hujan.

Sebentar lagi waktunya istirahat. Ini kesempatan bagi Elna untuk menghampirinya. Namun, terlihat seorang gadis menghampiri laki-laki itu lebih dulu dibanding dirinya dengan membawa botol berisi air di tangan kanan, dan handuk kecil berwarna biru muda di tangan kiri.

Siapa lagi tuh cewek? Alfi? Anak kelas sebelas? Elna membatin dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia jelas tak habis pikir dengan kelakuan laki-laki yang sedang duduk di kursi panjang, letaknya agak jauh dari posisinya berdiri. Elna pun memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke sana.

"Genta!" panggil Elna dengan suara yang agak keras hingga membuat beberapa pasang mata ikut menoleh ke arahnya. Namun Elna mengabaikan hal itu dan tetap berjalan ke tempat Genta.

Laki-laki yang bernama Genta itu menoleh. Menatap Elna dengan dahi mengerut. Dia memegang tangan gadis yang tengah mengelap pelipisnya dengan handuk, mengode agar gadis itu berhenti.

Genta berdiri dari duduknya. Elna saat ini terlihat tidak seperti Elna yang kemarin. Gadis yang berdiri di depannya itu seolah sedang menahan amarahnya. Genta dapat melihat itu dengan jelas dari sorot mata Elna.

"Apa?"

Tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi kiri Genta. Sekarang semua orang benar-benar menatap ke arah Elna. Bahkan teman-teman Genta yang menduduki kursi yang sama dengan Genta sampai ikut berdiri. Mengurumuni keduanya, dan berniat memisah. Namun Elna lebih dulu berteriak, "Nggak usah ikut campur lo pada!"

Genta mengusap pipi kanannya yang memanas. Ingin sekali rasanya dia membentak gadis itu. Namun dia mengurungkan niatnya. Karena dia tahu, yang tengah berdiri di hadapannya sekarang ini adalah Elna, sahabatnya sejak kecil. Perempuan yang selalu ada si sampingnya setelah Mama, dalam keadaan sedih maupun senang. Jadi dia tidak bisa memperlakukan Elna seenak yang dia mau tanpa memikirkan perasaan gadis itu. "Ada apa, Na? Lo kenapa?" Genta mencoba bertanya dengan lembut.

Elna berdecih. "Kurang ajar banget sih lo jadi cowok!" Elna menatap Genta tepat di manik mata laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu menatap dirinya dengan tatapan yang sering dia berikan, tatapan teduh yang kerap menyejukkan hati Elna.

"Gue kenapa? Lo bisa bicara pelan-pelan, kan? Nggak enak dilihatin orang, Na."

"Cewek mana lagi yang mau lo sakitin? Hah?" Elna tidak menghiraukan ucapan Genta. Dia tetap berbicara dengan nada keras. Dia juga mengabaikan air hujan yang perlahan membasahi baju seragamnya. Untuk saat ini, dia ingin emosinya tersalurkan tepat pada orang yang berhasil membuat emosinya naik.

"Elna." Bukan Genta yang berbicara, melainkan Vito, teman sekelasnya yang juga mengikuti ekstrakurikuler basket. Laki-laki itu mencoba melerai.

"Diem lo! Ini urusan gue sama Genta." Elna menoleh dan memberi Vito tatapan tidak suka.

"Selagi yang gue sakitin itu bukan lo. Lo nggak berhak protes, Na." Mata Genta memicing. Kekalahan timnya di babak pertama sudah cukup membuatnya emosi, meskipun lawannya adalah anak-anak dari kelas Elna, yang bernotabene masih sesekolah dengan dirinya. Lalu sekarang, Elna datang kepadanya dengan menyuarakan protes dari bibir mungilnya.

Elna tahu bahwa Genta bukanlah orang yang suka jika tingkah lakunya dikomentari. Menurut Genta, selagi apa yang dia lakukan tidak merugikan pihak itu, maka pihak itu sama sekali tidak berhak protes atas tindakan apa yang sudah dia lakukan.

"Gue berhak protes karena gue cewek, Ta! Cewek! Gue tahu rasanya! Gue tahu gimana perasaan mereka!"

"Tahu rasanya?" Genta sedikit membeo ucapan Elna. "Seumur-umur gue lihat lo pacaran aja belum pernah, Na. Gimana lo bisa ngerasain hal yang dirasain cewek lain?"

Elna mengembuskan napasnya pelan. Bagaimana bisa Genta tidak mengerti maksudnya? Apa merasakan hal yang sama seperti manusia lain juga harus sudah pernah mengalaminya? Lalu, untuk apa sebenarnya rasa simpati itu diciptakan?

"Na." Masih dengan nada lembut Genta mencoba menenangkan Elna.

"Gue nggak mau sahabatan sama cowok yang sukanya nyakitin hati cewek!" ucap Elna lugas.

Semua orang tiba-tiba terdiam. Terkejut dengan pernyataan yang Elna buat. Pasalnya, mereka semua tahu bahwa Elna dan Genta sudah bersahabat sejak kecil. Detik selanjutnya, mereka menunggu jawaban apa yang akan diberikan Genta untuk Elna.

"Gue juga nggak mau sahabatan sama cewek yang sok jual mahal!" Telapak tangan Genta terkepal kuat. Dia benar-benar sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi.

Mata Elna seketika melotot. Masih tak percaya bahwa Genta, sahabat dari oroknya berani mengatainya sok jual mahal.

Sudah dapat dipastikan bahwa persahabatan antara dia dan Genta benar-benar berakhir hari ini. Di bawah guyuran rintik hujan yang jatuhnya pelan-pelan. Sesak di dadanya tiba-tiba meradang. Untung hujan mampu melindungi air matanya agar tampak kasat.

Tidak berhenti di situ. Genta masih bersuara hingga ucapannya berhasil menohok hati Elna sampai rongga-rongganya. "Lo siapa, sih? Cantik lo? Berapa banyak cowok yang udah nembak lo, Na? Tapi semuanya lo tolak, kan? Lo juga nggak mikirin gimana perasaan mereka!" Suara Genta meninggi. Memberi jeda pada ucapannya yang selanjutnya. "Kita itu sama, Na. Sama-sama suka nyakitin perasaan orang lain."

Elna tidak bersuara lagi. Keadaan masih hening, semua enggan berbicara. Yang terdengar di gendang telinga hanyalah suara rintik milik air hujan.

"Elna!" Seorang gadis yang berdiri di pinggiran lapangan berhasil menjadi pusat perhatian setelah meneriakkan nama Elna. Dari raut wajahnya dapat dibaca dengan jelas bahwa gadis itu tengah bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya sedang ada apa ini? Maklum, dia baru saja sampai di sini setelah tersadar dari tidur siangnya di ruang kelas. Pelajaran sejarah Indonesia berhasil membuat rasa kantuknya meningkat dengan pesat. Ditambah suasana gerimis juga mendukungnya untuk tertidur saja dibandingkan mendengarkan penjelasan yang diberikan gurunya.

"Dara, sini!" Vito melambai ke arah Dara, sesosok manusia yang baru saja memanggil nama Elna mempercepat langkah kakinya.

"Ada apa, nih?"

"Lo mending bawa Elna balik ke kelas sekarang."

"Ada apa?" Dara masih setia pada pertanyaannya yang belum mendapatkan jawaban.

"Ntar gue ceritain."

Dara mengangguk lalu berkata, "Oke."

Dara menghampiri Elna. Mencoba meraih tangan gadis itu. Sekujur tubuh Elna yang kaku membuat Dara sedikit kesusahan untuk membawa gadis itu pergi keluar lapangan. Hingga akhirnya, sosok laki-laki bernama Aldi yang baru saja menghampiri mereka memudahkan tugas Dara.

"Satu menit lagi babak kedua dimulai."

Mendengar itu. Elna berbalik. Pegangan tangan Dara di lengannya terlepas begitu saja. Dara yang menyadari akan hal itu segera menyusul Elna.

"Na, lo baik?"

Elna menggelengkan kepalanya. Apa gue sama Genta udah selesai hari ini? Tangan gadis itu terulur mengusap air matanya yang bergulir membasahi pipinya. Walaupun air hujan dapat menyembunyikan tangis itu. Namun Elna rasa, air matanya masih terlihat.

Melihat Elna mengusap pipinya membuat Genta bertanya dalam hati. Elna nangis?

To be continue

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang