17. Nathan

221 102 16
                                    

Friendship Problems
17. Nathan

DARA mengendik. "Satu semester udah berlalu, dan lo masih belum nemuin Saidan?" tanya Dara tak menyangka.

Bisa-bisanya satu sekolah tapi tidak pernah bertemu selama satu semester. Sungguh suatu ketidakmungkinan yang benar-benar menimpa hidup Elna.

Elna mengangguk. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit sedih. Dia menyangga kepalanya menggunakan tangan. Melamun sambil menatap papan tulis yang bersih dari tinta.

"Tenang. Lo udah nyoba nyari dia di ruang catur? Saidan 'kan suka main catur." Dara memegang bahu Elna. Menoba menenangkan agar gadis itu tidak bersedih.

"Udah lima kali gue ke sana. Gue selalu tanya keteman-temannya, dan mereka pasti selalu bilang kalau dia nggak ada di sana," jelasnya.

Dara mengetuk dagunya menggunakan jari telunjuk. "Pasti mereka sekongkol. Semakin memperkuat bukti kalau Saidan emang yang ngirim origami-origami ini. Atau ...." Dara menjeda ucapannya dan menatap Elna dengan saksama. Berusaha meyakini dirinya sendiri bahwa dia boleh mengatakan ini di depan Elna. Karena dia rasa, perkataannya ini cukup menyakitkan untuk didengarkan.

"Atau apa?"

"Atau karena dia emang nggak pengen lihat lo. Jadi dia nyuruh temannya buat bilang ke lo kalau dia nggak ada di sana."

Elna terdiam. Perkataan Dara ada benarnya juga. Siapa tahu Saidan sakit hati kala itu dan tidak ingin melihat wajahnya lagi. Elna mendesah lalu membenturkan dahinya ke meja. Sungguh persoalan yang rumit sekali.

Semoga saja Saidan tidak sakit hati padanya. Tidak mungkin, saat manusia ditolak pernyataan cintanya. Mereka pasti akan patah hati, kehilangan semangat hidup, dan merasa tidak ingin hidup lagi. Elna berharap, semoga Saidan bukanlah laki-laki yang seperti itu. Namun jika Saidan adalah lelaki yang demikian. Habislah sudah secercah cahaya yang akan dia temukan dalam gelap selama mencari tahu siapa S sebenarnya.

Elna mengangkat kepalanya. "Gue mau ketemu Saidan."

***

KEPUTUSANNYA mencari Saidan sendirian rupanya merupakan keputusan yang salah. Seharusnya dia mengajak Dara untuk menemui lelaki itu. Bukannya bertemu dengan Saidan, Elna malah bertemu dengan Nathan di pertengahan jalan. Ini sungguh mengesalkan. Jika hanya sebuah pertemuan saja, mungkin dia tidak akan merasa kesal pada Nathan.

Langkah Elna terhenti di tengah-tengah koridor yang sepi ketika seseorang menepuk bahunya. Dia membalikkan tubuh dan melihat siapa pelakunya. Seolah tanpa dosa lelaki itu memamerkan senyumnya yang manis dengan kedua tangan bersembunyi di balik punggung. Elna sedikit mendongak karena tingginya hanya sebahu Nathan. Dia memberi tatapan bingung. Masih belum mengerti mengapa laki-laki dengan perawakan jangkung menghentikannya.

"Ada apa?" Dia sedikit menundukkan kepalanya. Predikat playboy cap badak yang menjadi gelar kebangsaan Nathan membuatnya menjadi sedikit ngeri jika harus berhadapan dengannya.

Seketika Nathan menjadi kikuk. Elna memiliki energi yang berbeda jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan yang pernah dia hadapi sebelumnya. Nathan menundukkan kepala dalam-dalam dan melihat ke ujung sepatunya. Mencoba menetralisir semu merah yang sebentar lagi mungin akan mewarnai pipinya.

Elna tambah bingung kala Nathan masih tetap diam dalam kurun waktu yang lama. Pemuda dengan rambut hitam yang dibiarkan panjang sekerah baju itu masih setia menundukkan kepalanya. Tidak berbicara sepatah kata pun. Hanya senyum yang terlukis di bibirnya.

Elna berbalik dan ingin melenggang pergi. Namun Nathan lebih dulu menahan tangannya.

"Gue lagi buru-buru," ujarnya. Tangan kirinya terulur melepaskan tangan Nathan yang memegang tangan kanannya.

"Gue boleh ngomong?" Nathan memegang tangan Elna. Menarik gadis itu hingga kembali menghadapnya.

Elna menghela napasnya panjang. Susah payah menahan sabar demi meladeni sesosok yang berdiri di hadapannya. Elna melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya seketika berubah menjadi judes. Tatapannya menajam telak seolah bisa menghancurkan iris mata Nathan.

"Gue suka sama lo. Lo mau jadi pacar gue nggak?"

"Nggak." Elna menjawab tanpa mengalihkan pandangan. Tanpa menunggu waktu yang lama pula untuk memutuskan. Setelahnya, dia segera pergi dari sana. Membiarkan Nathan berdiri mematung.

Nathan tidak percaya. Menatap kepergian Elna dengan tatapan cengo. Masih mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Dia, Nathan Adittya Paradipta, sama sekali belum pernah ditolak oleh cewek-cewek. Elna menjadi yang pertama. Menolak pernyataannya cintanya dengan mudah tanpa berpikir dua kali.

Ganteng? Iya. Macho? Tentu saja. Tinggi? Jelas tinggi karena dia juga salah seorang pemain basket. Berduit? Jangan ditanya karena Nathan juga anak orang berada. Apa yang kurang dari dirinya? Apakah rambut yang sengaja dia biarkan panjang kini menutup ketampanannya sehingga kekuatannya merayu wanita menjadi pudar? Yang benar saja, itu tidak mungkin terjadi. Penggemar di Instagramnya saja sering memuja karena rambut panjangnya.

Lantas, Elna kenapa?

Sadar Elna menjauh dari radarnya. Nathan berniat ingin mengejarnya. Baru dua langkah dia melangkahkan kaki. Namun seseorang menarik kerah bajunya. Membuatnya susah berjalan saat itu juga. Tubuhnya dipaksa berbalik oleh seseorang yang mencengkeram kuat kerah bajunya.

To be continue

Jangan lupa vote dan komen, ya

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang