08. Sanjaya Danuarta

327 133 15
                                    

Friendship Problems
08. Sanjaya Danuarta

"ADA apa, Na?" Sanjaya mematikan mesin motornya.

Elna mendadak kikuk dan sedikit menunduk kala dirinya sudah berada di depan lelaki itu. "Mm - i - itu, mm - gu - gue ...."

"Lo kenapa? Lo kok jadi gagap sekarang?" kata Sanjaya dengan kening sedikit berkerut.

Mata Elna seketika menatap tajam pemuda yang tengah duduk di atas motor. "Sembarangan banget lo ngatain gue gagap!" Elna bersungut sebal. Dia berkacak pinggang.

"Ya terus kenapa lo bilangnya kayak orang gagap? Grogi lo deket gue?" selidiknya. Bermaksud menggoda Elna lalu tertawa kecil.

Elna terdiam sebentar sambil menggigit kecil bibir bawahnya. Sedangkan Sanjaya masih setia menatap Elna dengan kening yang berkerut. Baiklah, Elna tengah bimbang sekarang. Dia menimang-nimang apakah ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada Sanjaya mengenai origami itu?

Namun ponsel yang berdering di dalam tas Elna membuat dia sejenak melupakan pertanyaannya. Elna sesegera mungkin memutar tas punggungnya hingga berada di depan. Tangannya buru-buru membuka resleting tas dan mengambil ponsel yang tengah berbunyi berisik dengan nada dering yang cukup mengganggu pendengaran.

Panggilan telepon dari Arman. Elna segera menggeser gambar telepon berwarna hijau ke gambar telepon yang berwarna merah. Raut wajah Elna seketika berubah setelah usai bertelepon dengan Papanya. Gadis itu seperti tampak kebingungan. Dia mengenggam ponselnya dengan erat.

"Na?" Melihat raut wajah Elna yang sedikit cemas membuat Sanjaya teringin mengajukan pertanyaan.

"San. Anterin gue pulang, ya. Please." Elna memohon dengan kedua telapak tangan menyatu di depan hidungnya. Dengan wajah yang sengaja dia buat seimut mungkin dan juga masih ditambah puppy eyes menghiasi kedua matanya. Semoga saja Sanjaya mau berbaik hati untuk mengantarkannya pulang sampai rumah.

"Lo nggak bareng Genta?" Sanjaya bertanya.

Elna menggeleng cepat. "Gue nggak bareng Genta lagi. Dara juga udah pulang duluan tadi. Gue sebenarnya nunggu Papa jemput. Eh, tapi Papa malah masih rapat."

Tanpa pikir panjang Sanjaya meminta Elna untuk segera naik ke atas motornya.

"Serius?" Elna menatap Sanjaya tidak percaya. Elna rasa, Sanjaya akan menolak permohonannya karena rumahnya dan rumah Sanjaya berbeda arah. Namun rupanya malah sebaliknya. Ah, laki-laki ini memang berhati malaikat.

Sanjaya mengangguk dan menyunggingkan sebuah senyum. Lalu dia menyalakan mesin motornya. Suara mesin motor matic itu terdengar lumayan halus di telinga. Sanjaya menunggu Elna naik di jok belakang dengan sabar sembari menunggu mesin motornya kembali
panas.

"Udah," kata Elna setelah dia berhasil duduk di atas motor. Kedua tangannya memegang tali tas punggung yang dia pakai.

Pemuda itu menutup kaca helmnya. Lalu dengan perlahan dia mulai menjalankan kendaraannya. Meskipun Sanjaya tahu sebentar lagi akan turun hujan karena hawa gerah sudah menyerang, serta awan hitam menggantung memenuhi langit. Sanjaya tidak terprovokasi. Dia masih tetap menjalankan kendaraannya dengan kecepatan normal, tidak begitu cepat dan tidak pula begitu lambat. Mendung belum berarti akan turun hujan, kan? Itu menurutnya.

Di antara keheningan yang menyerang keduanya. Elna berusaha membuka suara untuk mencairkan suasana. Dia memanggil nama laki-laki itu berulang kali hingga membuat si pemilik nama berdeham kecil dan membuka lagi kaca helmnya.

Sanjaya sedikit menoleh ke belakang sekilas. "Sorry, gue kalau pakai helm jadi agak budek." Lelaki itu sedikit berteriak.

Seketika Elna terkekeh menanggapi perkataan Sanjaya. "Tumben lo pakai motor matic. Motor lo yang gede di mana?" Motor gede yang dimaksud oleh Elna adalah motor sport kebanggaan milik laki-laki itu. Setahu Elna, Sanjaya memiliki motor sport yang warnanya sama dengan motor sport milik Genta yaitu, warna hitam. Setiap bertemu Sanjaya sedang menaiki sepeda motor, Elna pasti selalu melihat motor itu yang menjadi kuda balap kebanggaan Sanjaya.

Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah menjadi muram. Namun Elna tidak melihat ekspresi itu karena sebagian wajah Sanjaya tertutup oleh helm. Sanjaya mengembuskan napasnya pelan. "Motornya gue gadai."

Elna terkejut mendengarnya. Setahunya, Sanjaya Danuarta terlahir dari orang tua yang mampu dalam hal finansial. Pernyataan seorang Sanjaya menggadai sepeda motor benar-benar membuatnya hampir tidak percaya. "Kenapa kok lo gadai?"

Laki-laki itu menggeleng. Merasa belum siap untuk menceritakan kisah hidupnya kepada Elna. Untungnya Elna mau mengerti akan hal itu dan dirinya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"San. Sebenarnya ... gue manggil lo tadi karena gue pengen tanya sesuatu," kata Elna sambil menengok ke kanan. Menyaksikan kendaraan-kendaraan yang melewati mereka dengan tenang. Namun ada juga yang tergesa-gesa.

"Mau tanya apa?"

"Akhir-akhir ini gue selalu dapat kiriman origami bentuk hati di laci meja. Terus di ujung kertas pasti si pengirim selalu ngasih tulisan S. Gue pikir itu nama pengirimnya. Jadi, gue berusaha nyari tahu lewat petunjuk itu."

"Bukan gue." Seolah tahu apa yang akan dikatakan Elna. Sanjaya menjawabnya terlebih dahulu. "Gue nggak ada waktu buat mikirin cewek lagi sekarang."

"Kenapa?" Elna penasaran. Dia melirik Sanjaya melalui kaca spion.

"Mikirin cewek nggak bisa ngedatangin duit. Bokap gue lagi sakit. Toko bokap bangkrut gara-gara modalnya habis buat bayar biaya rumah sakit. Duit tabungan bokap masih ada, sih, tapi masih sisa dikit. Jadi mau nggak mau, gue harus kerja paruh waktu dulu sekarang."

Elna merasa prihatin. "Mama lo, nggak kerja, San?"

"Nggak. Nyokap dari dulu cuman bantuin Bokap ngurus toko. Sekarang modalnya aja nggak ada. Jadi Nyokap nganggur dan nemenin Bokap di rumah sakit."

"Gue jadi ikut sedih, San." Elna berkata lirih. Tidak menyangka bahwa Sanjaya harus menanggung beban seperti itu.

"Nggak papa. Udah takdirnya begini." Sanjaya tersenyum walaupun Elna tidak melihat senyum itu.

Sanjaya Danuarta, dalam kacamata penglihatan Elna. Laki-laki itu bukanlah laki-laki yang nakal. Dia baik ke semua orang. Dia juga bukan tipe orang yang suka menjual masa depannya hanya untuk kesenangan sesaat. Misalnya, membolos jam pelajaran demi mengisi perut di kantin. Sanjaya belum pernah melakukan hal itu. Sanjaya juga bukan seorang perokok. Dia juga bukan seorang yang suka telat masuk sekolah. Kartu Pelanggaran Siswanya sampai sekarang belum terisi sama sekali karena ketertiban laki-laki itu. Namun, Sanjaya selalu memilih-milih teman dalam pergaulannya. Laki-laki itu selalu menolak jika diajak bermain oleh manusia yang sekiranya masuk ke dalam kategori nakal. Perlu diingat juga bahwa Sanjaya tidak termasuk ke dalam kategori cowok tampan dalam kacamata penglihatan Elna. Kulitnya yang sawo matang menambah kesan eksotis laki-laki berperawakan tinggi besar itu.

"Sanjaya. Sorry banget, ya. Gue jadi ngerepotin lo gini."

Sanjaya segera berkata. "Nggak, kok. Gue sama sekali nggak ngerasa direpotin."

To be continue

Jangan lupa vote❤
Spam komen juga biar aku cepet update❤

Oh iya, jangan lupa rekomendasikan cerita ini keteman-temanmu. Biar ada yang diajak gibah soal keseruan cerita Elna✨🧚‍♀

find me:
instagram: @lailaefna_

Friendship Problems [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang