Satu minggu menjalani masa-masa berpacaran dengan Indri sangatlah manis. Namun semanis apapun sebuah hubungan, pasti tak luput dari terpaan badai masalah. Begitupun hubungan kami. Entah mengapa aku menjadi sering cemburu dengan sikap Indri yang terlalu baik kepada semua orang. Termasuk kepada Riza. Riza adalah teman seangkatan kami yang sudah sejak lama menyukai Indri. Bahkan Indri dan Riza sudah lebih dahulu saling mengenal sebelum Indri mengenalku. Mereka berkenalan ketika tidak sengaja duduk bersebelahan pada saat daftar ulang untuk masuk ke kampus kami. Dari situlah Indri dan Riza mulai dekat dan berteman. Bahkan Riza sempat menembak Indri sebelum Indri berpacaran denganku. Namun Indri tidak menerima Riza karena merasa bahwa ia tidak ingin hubungannya lebih dari sahabat. Selain itu, ada beberapa alasan yang membuat Indri tidak bisa menerima Riza. Indri tidak suka dengan sikap Riza yang kadang seolah merasa paling tau dan mengerti semua hal tentang Indri. Entahlah, aku tidak bertanya terlalu jauh mengenai Riza saat beberapa minggu lalu Indri memberitahuku mengenai hal itu. Yang pasti, sampai saat ini aku tahu kalau Riza masih menyimpan perasaan pada Indri.
Aku memang sangat percaya kepada Indri. Akan tetapi aku tidak suka kalau nantinya Riza menganggap bahwa Indri seolah masih memberikan harapan kepadanya. Selain itu, sampai saat ini Riza pun belum mengetahui kalau Indri sudah resmi menjadi pacarku. Indri memang tidak ingin hubungan kami menjadi konsumsi publik. Bagi Indri, hubungan yang kami jalani hanyalah milik kami berdua dan biarkan itu berjalan dengan semestinya tanpa perlu diumbar.
"Dra, gue berangkat ke kampus dulu, ya. Nitip jemuran, kalau ujan tolong angkatin!"
"Oke, siap"
Akhir-akhir ini memang cuaca tidak menentu. Padahal sejak tadi pagi matahari bersinar cukup terik. Entah mengapa tiba-tiba mendung datang begitu cepat. Aku yang hari ini harus kuliah di siang hari segera berangkat ke kampus setelah sebelunya menitipkan jemuranku pada Indra.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa dilorong kampus, memang aku berangkat sedikit terlambat. Aku tidak berangkat bersama Indri seperti biasanya. Indri sudah terlebih dahulu berangkat sejak sebelum waktu dzuhur untuk mengembalikan buku ke perpustakaan. Aku segera masuk ke kelas. Untunglah dosenku belum tiba saat aku masuk ke kelas. Kulihat Indri sudah duduk dijajaran bangku bagian depan. Tapi tiba-tiba hatiku bergetar ketik melihat sosok yang duduk disebelahnya. Tidak salah lagi, itu Riza. Akupun duduk di bangku paling belakang yang posisinya menyilang dari tempat mereka agar bisa memperhatikan Riza. Aku yakin ada maksud tertentu mengapa Riza duduk tepat disebelah Indri.
Benar saja dugaanku. Sepanjang kelas berlangsung, Riza terus berusaha untuk mendapatkan perhatian Indri. Ia seolah-olah berdiskusi mengenai mata kuliah yang sedang berlangsung, berpura-pura meminjam bolpoin dan berbagai cara lain agar bisa terus berkomunikasi dengan Indri. Selain itu Riza sering sekali menggoda Indri dengan mengajak makan bersama atau ke perpustakaan dan ke tempat-tempat lain bahkan ketika Indri sedang bersamaku. Puncak kekesalanku adalah ketika kuliah telah selesai, dan Indri sedang membereskan alat tulisnya. Riza dengan seenaknya merapihkan rambut Indri yang menutupi matanya, memegang tangan Indri dan mengajaknya pulang bersama. Muak sekali rasanya aku melihatnya. Ingin sekali rasanya kuhampiri dia dan memberikan kenang-kenangan warna biru lebam di wajahnya. Tapi semua itu tidak bisa kulakukan, aku tidak mungkin mempermalukan diriku sendiri dengan ceroboh di depan kelas.
Aku langsung berjalan keluar kelas tanpa terlebih dahulu menghampiri Indri. Saat berada di lorong, tiba-tiba ada suara memanggilku dari arah belakang. Ya, sudah pasti itu Indri.
"Taa..., Genta. Tunggu!"
"Iyaa, kenapa, In?" Aku membalikan badan
"Kamu kenapa? Kok buru-buru begitu. Mau kemana?"
Ahh, semakin kesal rasanya saat Indri tak menyadari apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Harusnya dia tau kalau aku sedang cemburu.
"Oh. nggak, kok,In. Aku ga mau kemana-mana."
"Oh, iya deh. Aku kira mau kemana. Temenin makan yuk, aku belum makan nih. Laper"
"Yaudah, ayo. Mau makan dimana?"
"Kok yaudah sih? Kaya kepaksa gitu jawabnya."
"Nggak kok, yuk aku temenin kamu makan. Sekalian mau ada sesuatu yang pengen aku obrolin."
"Sesuatu apa?"
"Nanti aja di tempat makan."
"Yaudah, yuk. Makan di tempat biasa aja, depan kampus."
Aku memang tidak bisa berlama-lama untuk bersikap dingin kepada Indri. Lagipula, ini bukan salah Indri. Hanya saja memang ada sesuatu yang harus Indri pahami mengenai perasaanku yang tidak suka dengan caranya merespon Riza.
"Kamu mau pesen apa? Apa samain sama aku?" Indri bertanya
"Aku udah makan tadi, In."
"Bener udah makan?"
"Iya, In. Aku pesan minum saja. Es jeruk, yah!"
"Yaudah deh kalo gitu"
Kami duduk di meja paling pojok. Sengaja aku yang memilih duduk disitu agar bisa lama mengobrol setelah Indri selesai makan.
"In, aku mau ngomong sesuatu. Tapi sebelumnya aku minta maaf bila nanti kamu merasa tidak nyaman dengan apa yang aku bicarakan dan apa yang aku rasakan."
"Soal apa, Ta?"
"Ini soal Riza, In. Aku tau dia masih menyimpan perasaan suka sama kamu. Dari caranya bersikap sangat jelas menunjukan kalau dia masih berusaha mendekatimu. Aku tidak suka melihatnya, In."
"Tapi aku rasa Riza sudah mengerti bahwa aku memang tidak mau hubunganku dengannya lebih dari sekedar teman. Aku juga sudah bilang hal itu berkali-kali padanya dan akupun bersikap seperti kepada teman bisa. Tidak lebih."
"Tapi cara kamu membiarkan dia terlalu jauh dan tidak memberikan batasan kepadanya yang justru akan membuat Riza masih merasa memiliki harapan, In. Apalagi dia tidak mengetahui kalau kamu sekarang sama aku. Bukan hal yang wajar apabila dia sudah berani menyentuh kamu, pegang-pegang tangan yang bahkan aku saja tidak berani berbuat seperti itu sama kamu."
"Ta, kamu percaya yah sama aku. Aku gamungkin kok khianatin kamu dan berpaling sama Riza. Aku minta maaf bila caraku salah. Makasih kamu udah mau cerita soal ketidaknyamanan kamu."
"Aku percaya sama kamu In. Tapi Riza gabisa dibiarin kaya gitu terus." Aku berbicara dengan nada yang sedikit naik.
"Iya, Ta. Nanti aku yang jaga jarak dengan Riza. Maaf yah, Ta."
Seperti yang sedari tadi ku katakan, aku tidak bisa beralam-lama marah atau kesal terhadap Indri. Sikap manisnya membuat hatiku luluh seketika. Aku tidak tega bila harus terus berbicara dengan nada kesal padanya. Mungkin ada beberapa dari kalian yang bisa marah dan kesal kepada pasangan kalian untuk waktu yang cukup lama. Tapi yang kurasakan ini berbeda. Indri tidak sama dengan wanita-wanita lainnya. Maka jika ada satu hal yang dapat menjadi alasan kekesalanku padanya, ia akan selalu memberiku seribu alasan untuk luluh dan semakin mencintainya. Itu terjadi setiap harinya. Ya, setiap hari.