Satu minggu pun berlalu, masa Ujian Tengah Semester telah selesai. Berkat Indri, aku jadi tidak begitu kesulitan dalam mengerjakan beberapa soal ujian. Oh, iya. Mengenai masalah rokok, Indri sudah memaafkanku. Aku sudah berjanji untuk tidak merokok lagi saat bersamanya. Memang akhir-akhir ini kebiasaanku mulai berubah. Adanya Indri membuat hidupku semakin tertata. Aku menjadi lebih sering bangun pagi, karena setiap pagi ia selalu membangunkanku melalui telepon. Indri memang begitu peduli dengan duniaku. Hal itulah yang membuat aku semakin menyayanginya.
Aku duduk di depan pintu kosanku, memandangi langit yang mulai beranjak ditinggalkan sang mentari. Kudengar suara motor datang mendekat, rupanya Heru. Kebetulan sekali ia datang, aku memang sedang membutuhkan saran-sarannya. Ya, aku berencana untuk menyatakan cinta pada Indri dalam waktu dekat ini.
"Ngapain loe, sore-sore gini bengong? Ntar kesambet, loh"
"Gua lagi bingung, Her. Kira-kira tepat nggak, kalo dalam waktu deket ini gue nembak Indri?"
"Jadi loe sama Indri belum jadian? Gilaa, loe. Nunggu apalagi sih, Ta? Ntar keburu diambil orang, loh."
"Kalo udah jadian, ya pasti gua juga bilang sama kalian. Gue takut Indri nggak nerima cinta gue, Her."
"Cemen loe, Ta. Cinta loe nggak tulus kalo kaya gitu. Gini ya, Genta Cakrawala, gue kasih tau sama loe. Yang namanya mencintai itu, bukan tentang gimana si orang yang loe cintai itu harus jadi milik loe, Ta. Tapi mencintai itu ketika loe bisa jujur sama diri loe, loe bisa jujur sama orang yang loe cintai dan loe juga nggak mengaharap balasan dari dia. Kalo loe masih itung-itungan kaya gitu, mending loe gausah jatuh cinta deh, dagang aja sana biar dapet kembalian."
"Siap, suhu. Emang cocok loe gantiin Mario Lawalata!!!"
"Ehh, loe malah becanda. Gini, Ta. Cinta tuh tentang bagaimana loe bisa buat Indri bahagia, bukan gimana caranya Indri bisa jadi milik loe. Tugas loe cuma bikin dia bahagia, Ta. Loe nyatain perasaan loe, masalah dia ngebales perasaan loe atau nggak ya itu bukan urusan loe, Ta."
"Iya, Her. Loe bener, gue emang harus segera ngomong sama Indri mengenai perasaan gue ini."
"Ya iya, lah. Makanya jangan itungan kalo soal rasa"
Apa yang dikatakan Heru memang benar, aku memang harus berani menyatakan perasaanku pada Indri. Apapun nanti hasilnya, aku tidak peduli. Setidaknya aku sudah berani jujur tentang perasaanku padanya. Kalaupun nanti ia tak menerima cintaku, maka cinta ini akan kembali padaku, utuh tak kurang sedikitpun.
***
Aku menyalakan mesin sepeda motorku, celana dengan robekan di lutut, kaos oblong dan hoodie berwarna hitam sudah kukenakan. Aku berangkat menuju kampus. Semangat sekali rasanya, hari ini tekadku sudah bulat untuk menyatakan perasaanku pada Indri. Ya, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Aku tak ingin penyesalan hadir dan mengisi jalan cerita hidupku. Indri harus tau perihal rasa yang kusimpan ini, perasaan yang sudah muncul sejak sebuah buku catatan dipinjamkan padaku.
Sesampainya di kampus, aku bergegas menuju kelas. Tumben sekali Indri belum hadir, ah mungkin ia sedang ada kepentingan dulu, pikirku. Aku terus menunggunya, barangkali sebentar lagi ia datang.
Sampai kuliah selesai, Indri tidak juga terlihat. Kemana dia? Masa seorang Indri bisa bolos kuliah?
Akupun bertanya kepada Anita dan Putri, tapi mereka juga tidak mengetahui kemana Indri pergi sampai tidak masuk kuliah. Akupun semakin khawatir saat pesan singkat yang kukirimkan padanya tak ada satupun yang ia balas. Bahkan saat ku telepon, nomornya saja tidak aktif.
Perasaan khawatir sudah tak bisa kutahan lagi, aku bergegas menuju tempat kos Indri. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
"Permisi, Bu. Maaf, saya mau tanya, Bu. Ibu tau nggak Indri kemana? Soalnya dia nggak masuk kuliah hari ini, Bu."
"Maaf saya kurang tau, Dek. Tadi pagi-pagi sekali Indri sudah pergi naik ojeg online. Saya kurang tau dia mau pergi kemana." Jawab Ibu kos nya.
"Oh, iya, Bu. Terimakasih kalau begitu. Permisi, Bu."
"Iya, sama-sama, Dek."
Indri kamu dimana? Kemana kamu pergi?
Perasaanku sungguh tidak tenang. Sampai larut malam, Indri belum juga membalas satupun pesanku. Nomor teleponnya pun masih belum aktif. Teman-temannya pun masih belum mengetahui kabar mengenai keberadaan Indri.
Apakah mungkin ini adalah jawaban dari Tuhan perihal perasaanku padanya? Apakah semesta memang tak mengizinkanku memiliki Indri?
Ahh, pemikiran-pemikiran liar semakin bermunculan di pikiranku.
Semalaman aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan Indri. Aku cemas dan takut sesuatu hal terjadi pada Indri, dan aku juga cemas sesuatu hal juga akan terjadi pada diriku.
Rencanaku untuk menyatakan cinta pada Indri hari ini gagal, Indri pergi entah kemana dan sepertinya Tuhan memang tidak mengizinkanku untuk berterus terang pada Indri mengenai perasaanku itu.
Perasaan kesal, khawatir, cemas dan marah seakan menyatu dalam diriku. Malam itupun kuhabiskan hanya dengan merokok hingga fajar tiba, seiring habisnya dua bungkus rokok yang telah menemaniku bertahan dalam kecemasan.
Tuan Putri, kamu dimana?
Kamu tahu aku hanya pangeran kodok, bukan peramal yang bisa mengetahui dimana keberadaanmu. Jadi, tolong jangan menyiksaku dengan kecemasan.