13

19 1 0
                                    

Dua hari berlalu setelah Indri menghilang tanpa sebab dan masih tak kudengar pula kabarnya. Ia masih tak membalas pesanku, juga pesan dari teman-temannya. Aku sudah mulai putus asa dan kehilangan harapan. Seakan pelangi yang selama dua bulan ini menemani duniaku, kini hilang dan terhapus waktu.

Dua hari ini aktivitasku hanyalah melamun dan merokok, semua gairah dan semangat terasa hilang seiring dengan kepergian Indri yang tak tau rimbanya. Kehadiran Indri memang sanggup merubah dan menata kembali hidupku, namun kepergiannya juga sanggup membuat semua itu lebih hancur dari sebelumnya.

"Loe kenapa, Ta?" Suara Indra membuyarkan lamunanku, Indra adalah teman satu tempat kos denganku. Mahasiswa tingkat dua jurusan Manajemen di kampusku. Kamar kami bersebelahan. Kalau tidak dengan Rendi, Heru dan Ardi, Indralah yang menjadi teman ngobrolku.

"Gapapa, Ndra. Gue cuma lagi ngelamun biasa aja."

"Loe jangan bohong deh, jelas-jelas dari raut muka loe, tuh, udah kegambar kalo yang loe lamunin itu bukan masalah yang biasa."

"Ngaco, loe."

"Pasti cewek, yah?"

Aku hanya mengangguk dengan tatapan kosong ke arah depan

"Yah, seorang Genta Cakrawala akhirnya bisa takluk juga sama cewek."

"Gue juga manusia kali, Ndra."

"Tapi udah kaya manusia belum?"

"Sialan loe, Ndra."

"Berurusan sama cewek tuh bukan hal yang mudah, Ta. Sama aja kaya pas loe nyeduh kopi sama gula. Loe harus siap akan manis dan pahitnya, bukan manisnya doang."

"So bijak loe, Ndra. Lagian kalo gue ngopi juga ngga pernah pake gula Ndra."

Ia pun hanya tertawa kecil sambil ikut menghisap sebatang rokok yang ia bawa. Kami hanya duduk memandangi langit sebari mengepulkan asap dari rokok yang kami hisap. Ya, dibalik semua peringatan yang tertulis di bungkusnya, rokok menawarkan sejuta ketenangan bagi para penikmatnya.

Indrapun pergi untuk kuliah, sementara aku lebih memilih untuk berdiam diri di kamar sambil merenung dan mengingat waktu-waktu yang pernah kulewati bersama Indri.

Di pekatnya asap rokok yang memenuhi ruangan kamarku, kulihat notifikasi chat masuk, muncul di handphoneku, dengan dering khas suara kodok yang di kirim Indri beberapa waktu lalu. Ia sengaja mengunduh ringtone suara kodok dan mengirimkannya padaku. Bergegas kubuka pesannya. Siapa tahu, itu dari Indri.

Maaf, Genta. Aku tak bermaksud membuatmu cemas. Aku pulang ke Purwakarta, Ayahku sedang dirawat dirumah sakit. Penyakit jantungnya kambuh lagi karena merokok, itulah sebabnya aku tak suka melihatmu menghisap racun itu.

Seketika kupatahkan sebatang rokok yang terselip di antara jari tanganku. Dalam keadaannya yang seperti inipun, ia masih sempat untuk menasehatiku. Aku harus bisa keluar dari jerat pekat asap rokok. Ya, demi Indri dan demi diriku sendiri.

Rasanya lega sekali setelah menerima kabarnya. Aku tak perlu lagi berpikaran macam-macam tentangnya. Pelangi yang semula hendak beranjak pergi, kini terlihat muncul kembali.

***

Saat Indri berada di Purwakarta, aku hanya menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-temanku. Mau apa lagi? Tidak ada aktivitas lain yang bisa kulakukan, temanku di Tasik pun tidak banyak. Lingkup pergaulanku memang tak terlalu luas. Aku memang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang baru. Aku lebih nyaman berada diantara orang-orang yang memang sudah ku percaya.

"Eh, gimana Indri, Ta? Udah ada kabar belum?" Rendi bertaya

"Udah, Ren. Dia pulang ke Purwakarta. Ayahnya sakit dan harus dirawat dirumah sakit."

"Mau sampai kapan dia disana?" Ardi menambahkan

"Nggak tau, Di. Ya, paling sampe ayahnya sembuh."

"Nggak kangen, loe? Ckckck" Heru meledek

"Apaan kangen, dia juga bukan siapa-siapa gue."

"Jadi loe belum nembak juga, Ta?" Heru seolah kaget

"Kan Indri nya keburu pulang."

"Dasar siput, loe. Lambat kalo masalah cewek." Ardi meledek sambil fokus dengan game yang biasa ia mainkan.

"Kan gue bukan fuckboy kaya yang itu tuh." Aku meledek sambil menunjuk Heru.

"Sialan, loe. Gini-gini juga kan pengalaman gue kepake buat nuntun pemula kayak loe." Ia mengelak dengan nada kesal

"Kalem dong, Boss. Ngegas aja, ckckck." Kami pun tertawa bersama, meledek Heru yang memang sering tidak terima apabila disebut fuckboy.

Aku memang tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku benar-benar merindukan Indri. Dalam lima hari ini isi pikiranku hanya Indri, selalu saja Indri. Setiap tempat yang aku lewati seakan membangkitkan semua kenangan-kenangan yang pernah kulalui bersamanya. Dalam dua bulan ini memang banyak momen yang tercipta dari kedekatan kami.

Waktu terasa berjalan begitu lama saat Indri tiada. Aku mulai jenuh dengan rutinitas kampus dan nongkrong di kedai kopi. Ketidakhadiran Indri memang benar-benar membuatku bosan.

Kata Heru, memang beginilah yang dirasakan oleh orang yang sedang dilanda rindu. Kegelisahan tiba-tiba datang sewaktu-waktu, tanpa sebab dan tanpa permisi terlebih dahulu.

Aku beranjak pulang dari tongkrongan, kulihat dari kejauhan seorang wanita tengah berjalan seorang diri, menenteng keresek yang cukup besar. Tampangnya tidak terlalu asing. Kanyanya aku kenal,deh.

"Ehh, Anita. Darimana?"

"Ehh, Genta. Aku dari mini market, ini. Kamu darimana?"

"Biasa, aku abis nongkrong sama anak-anak. Pulangnya aku anterin aja, berat itu pasti belanjaanmu."

"Nggak usah, Ta. Nanti malah ngerepotin."

"Udah, ayoo! Kaya sama siapa aja."

"Beneran, nggak ngerepotin?"

"Iyaa, bener."

"Makasih, ya, Ta."

"Nanti aja makasihnya kalo udah nyampe."

"Hemm, iya, Genta Cakrawala."

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang