19

20 2 0
                                    

Hujan turun semakin deras, namun, aku memaksakan untuk pulang dan menerobos hujan. Rasanya tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Entahlah, sesak sekali melihatnya pergi tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ego memang terkadang mengalahkan segala waras yang dimiliki manusia.

Sesampainya di kosan aku segera mengeringkan badanku yang basah kuyup. Kepalaku terasa sangat pusing, badanku menggigil, sepertinya karena hujan-hujanan pulang dari terminal.
Akupun merebahkan badanku, menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.

Tiba-tiba handphoneku berdering, segera kuambil dan kulihat siapa yang menelepon, siapa tahu itu dari Indri. Rupanya dugaanku salah, telepon itu dari Ibuku. Beliau menelepon untuk bertanya kapan aku akan pulang. Memang selama satu semester ini, aku belum pulang. Padahal jarak Tasikmalaya dan Cilacap tidak terlalu jauh, hanya dua setengah jam perjalanan. Tapi kesibukan kuliah selama ini membuat waktuku tersita dan tidak ada waktu yang pas untuk pulang. Aku memang berencana untuk pulang ke Cilacap esok hari. Setelah selesai UAS seperti ini memang hanya tinggal menunggu nilai keluar.

Hari semakin gelap, hujan pun tak kunjung reda. Tubuhku semakin menggigil, badanku pegal dan kepalaku semakin pusing. Aku sadar bahwa sejak tadi pagi aku belum makan sama sekali. Akhir-akhir ini pola makanku memang menjadi kacau. Akupun menepon Indra untuk minta tolong membelikanku makanan. Meskipun kamar kami bersebelahan, rasanya tubuhku terlalu lemas bahkan untuk sekedar bangun dan berjalan menuju kamar Indra.

"Halo, Ndra, beliin gue makan dong. Gue lagi ga enak badan, nih."

"Loe lagi ngimpi, ya? Gue kan udah pulang dari tadi pagi."

"Ya ampun, gue lupa, Ndra. Yaudah deh kalo gitu, gue minta tolong yang lain aja."

"Ehh, sakit apa emang, loe?"

"Gatau, pala gue pusing banget, mana demam juga, ini. Udah dulu, ya. Gue mau telepon yang lain dulu."

"Iya, oke. Kalo kenapa-napa telepon gue aja."

"Okee"

Akupun segera menghubungi Heru, Rendi dan Ardi. Ternyata Heru sedang dalam perjalanan ke Bandung mengantar ayahnya, sementara kontak Ardi dan Rendi sedang tidak aktif.

Malam semakin larut, kini suhu tubuhku terasa semakin panas. Ditambah lagi perutku yang mulai terasa sakit dan mual. Aku mencoba memaksakan diri untuk tidur, tapi rasanya susah sekali. Semalaman aku tidak juga memejamkan mata. Badanku terasa sangat lemas sekali.

Pagi-pagi sekali Heru menelepon, menanyakan kondisiku saat ini, sedangkan kontak Rendi dan Ardi masih saja tidak aktif. Heru sepertinya khawatir dengan keadaanku yang belum makan sejak kemarin, ditambah lagi dengan demamku yang semakin parah.

Heru mengirim pesan di grup kelas, meminta teman-teman kelas untuk membantu membelikanku makanan dan obat. Namun, tidak ada yang mersepon. Ia akhirnya kesal dan marah-marah di grup kelas. Selang beberapa menit, muncul notifikasi pesan masuk di handphoneku. Anita?
Tumben sekali dia mengirim pesan, ada apa?

"Ta, tempat kosmu sebelah mana. Coba kirim alamatnya."

"Sebentar, Anita."

Akupun mengirimkan alamat kosanku pada Anita. Beberapa saat kemudian, ia mengirimi pesan kembali bahwa ia sudah sampai di kosanku. Aku memberi tahu nomor kamarku dan menyuruhnya untuk langsung masuk saja. Kamarku memang tidak aku kunci, tubuhku juga terlalu lemas untuk sekedar membukakan pintu.

"Ya ampun, Genta. Kamu pucet banget. Ini aku bawain kamu makanan, kamu makan, yah. Biar aku suapin."

"Iya, terimakasih, Nit."

Baru saja beberapa suap makanan masuk ke mulutku, aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa perih di lambungku. Anita pun berhenti untuk menyuapiku. Ia menawarkan untuk mengantarku berobat ke Klinik. Aku hanya mengangguk karena sudah tidak kuat lagi menahan sakit. Ia memesan taksi online dan kami berangkat menuju Klinik kampusku.

Setelah diperiksa, rupanya aku menderita infeksi pada lambung. Dokterpun menyarankan agar aku dirawat di Klinik. Aku hanya mengangguk.

Akupun dipindahkan ke ruang perawatan, kulihat Anita tengah berada di bagian administrasi untuk mengurus administrasiku. Baik sekali wanita ini, padahal ia belum terlalu mengenalku.

Saharian ini iya menemaniku di Klinik, ia juga sudah menelepon orang tuaku, mengabari kalau anaknya kini tengah sakit. Rencananya, orang tuaku akan menjemputku ke Tasikmalaya agar aku bisa dirawat di Cilacap dan dekat dengan keluarga.

"Ta, aku pamit pulang ke kosan sebentar yah, setelah mandi dan ganti baju, aku langsung kesini lagi."

"Gak usah repot-repot, Nit. Sebentar lagi orang tuaku pasti sampai."

"Udah gak apa-apa, aku nggak ngerasa direpotin, kok."

Iapun berlalu meninggalkan ruang perawatanku.

Semesta, kenapa bukan Indri yang berada disaat-saat seperti ini? Kenapa wanita yang justru belum terlalu mengenalku, malah lebih peduli padaku daripada Indri yang bahkan tidak berusaha untuk menghubungiku? Padahal aku yakin ia sudah tahu kabar tentangku dari grup whats app kelas.

Perasaanku sungguh berkecamuk. Rasa kesal, khawatir dan rindu bercampur dalam diriku. Aku sungguh berharap Indri ada untukku disaat-saat seperti ini, meskipun hanya melalui telepon.

Tidak lama, Anita kembali datang, sementara orang tuaku masih belum juga tiba. Mereka juga belum membalas pesanku yang menanyakan sudah sampai dimana perjalanan mereka.

Lima menit berselang, datang seorang petugas yang mengantarkan makanan. Anita lalu menyuapiku makan.

"Kamu, kok, bisa sampe infeksi lambung kayak gini, sih, Ta?" Anita membuka pembicaraan

"Akhir-akhir ini pola makanku memang tidak teratur, Nit. Aku sering lupa makan."

"Aneh, kamu. Masa makan saja lupa?"

"Iya, Nit. Aku emang spesies langka dibumi."

"Makanya banyak yang tertarik sama kamu, Ta."

"Maksudnya gimana, Nit?"

"Ehh, nggak, Ta. Kamu seret, yah? Nih minum dulu." Tingkah Anita terlihat aneh

Ia kembali menyuapiku makan. Aku sebenarnya sudah menolak dan tidak mau menghabiskan makananku. Tapi Anita memaksanya.

Hemm, manis juga, yah, Anita ini. Adem lagi, diliatnya. Duh, apa yang kupikirkan? Aku tidak boleh mengecewakan Indri dengan tertarik pada wanita lain, apalagi sahabatnya sendiri. Bodoh sekali, sampai terlintas hal seperti itu dipikiranku.

"Ta, kok bengong gitu liatnya?"

"Ehh, nggak, kok. Hehe."

"Sebentar" ia mengambil selembar tisyu dan mengelap sudut bibirku.

Ahh, sial. Perlakuan Anita justru semakin membuatku kecewa pada keadaan. Kenapa bukan Indri yang berada di posisi ini, semesta? Kenapa?

Tokk tokk tokk...

Untunglah Rendi, Ardi dan Heru datang, aku takut hatiku akan luluh apabila terlalu lama beduaan dengan Anita. Apalagi perhatian dan perlakuan spesial yang ia berikan, belum pernah aku rasakan sebelumnya.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang