Tak terasa sebulan sudah aku menjadi pengantar kodok untuk Indri dan selama sebulan itu tak pernah kurasakan tidur nyenyak. Kodok-kodok selalu mengganggu tidurku entah dengan suaranya ataupun beberapa yang keluar dari ember dan melompat-lompat dimukaku.
Hari ini kuliah selesai lebih cepat dari biasanya. Pak Amir, dosen mata kuliah perlindungan tanaman di kampusku hanya memberikan beberapa materi perkuliahan dan langsung izin untuk pulang. Rupanya pagi ini ia mendapat kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit. Namun ia tak melupakan tanggung jawabnya sebagai dosen untuk sekedar memberikan bahan materi, yang harus kami pelajari sendiri. Sial, kalo tau begini, lebih baik aku tidak berangkat kuliah saja tadi.
Terbersit dalam pikiranku untuk mengajak Indri jalan-jalan. Tapi kemana, ya? Ahh, kerajaan kodok.
Akupun segera menghampiri Indri.
"In, kamu sibuk nggak?"
"Nggak kok, Ta. Kenapa?"
"Aku mau ngajak kamu ke kerajaan kodok, kamu mau nggak?"
Indripun tersenyum mengangguk, rupanya ia masih ingat dengan kerajaan kodok yang pernah kubicarakan. Kulihat dua teman Indri seakan kebingungan setelah mendengarkan kalimat kerajaan kodok. Biarlah, lebih baik hanya kami yang tahu mengenai hal ini. Toh ini kisah kami berdua, bukan kisah kami semua.
Sekitar jam 3 sore kami berangkat dari kampus, diperjalanan kulihat Indri tak henti-hentinya tersenyum. Aku sedikit kesulitan untuk membagi fokus melihat jalan dan melihat wajah Indri yang terpantulkan kaca spion.
"Kerajaan kodokmu itu dimana, Ta?"
"Nanti juga kamu tau, In."
Ia hanya menjawab dengan senyuman. Rambutnya yang terurai sesekali tesapukan angin menutupi sebagian wajahnya.
Ahh, sungguh pemandangan yang indah sekali, Semesta. Kurasa doaku kini semakin mantap, tolong dia saja. Jangan yang lain, Semesta.
Akhirnya kami sampai di tepian sawah tempat aku mencari kodok satu bulan lalu. Akupun memesan dua buah kelapa muda di sebuah warung yang terletak di sebrang jalan.
Aku mengajak Indri ke tengah pesawahan melalui pematang-pematang sawah. Kulihat ia sedikit kesulitan untuk berjalan diatas pematang. Berbeda denganku yang sudah biasa main di sawah saat kecil dulu.
Aku memberhentikan langkahku di sebuah gubuk kecil di tengah sawah sambil meletakan dua buah kelapa muda pada sebuah batu besar di pinggir gubuk. Kami duduk di sebuah kursi yang mengarah langsung pada hamparan sawah yang luas.
"Jadi ini kerajaanmu, Pangeran?" Ia bertanya dengan pandangan yang tertuju pada hamparan sawah.
"Iya, Tuan Putri. Ini kerajaan kodok yang aku ceritakan padamu."
"Tenang sekali disini, Pangeran. Aku betah disini."
Aku melihat hal yang tak biasa di wajahnya, kulihat wajahnya penuh ketenangan. Ia seakan terlihat bahagia lebih dari biasanya. Rupanya ini pertama kalinya indri menginjakan kaki di sawah. Aneh memang, mahasiswa Fakultas Pertanian justru belum pernah sekalipun pergi ke sawah. Mungkin karena Indri berasal dari kota, berbeda denganku yang memang berasal dari daerah kaki gunung yang tak asing dengan sawah dan ladang.
Ia bercerita bahwa meskipun ia berasal dari Indramayu, namun sejak kecil ia sudah tinggal di Purwakarta karena bisnis keluarganya memang berpusat disana. Purwakarta memang terkenal sebagai kota industri. Meskipun ada beberapa lahan sawah di Purwakarta, namun letaknya cukup jauh dari pusat kota. Ayahnya tidak pernah mengizinkannya untuk main terlalu jauh dari rumah, wajar saja kalau baru kali ini ia menginjakan kaki di sawah.
Kami berbincang-bincang menceritakan banyak hal. Dari mulai pengalaman masa SMA, hobby, bahkan sampai latar belakang keluarga. Rupanya Indri berasal dari keluarga berada, Ayahnya seorang pengusaha meuble terkenal di Jawa Barat dan memiliki puluhan hektar perkebunan mangga sebagai usahanya.
Jujur saja hal ini sempat membuatku minder, hanya saja Indri berkata bahwa ia tidak pernah membeda-bedakan manusia hanya dari keadaan ekonominya. Ia lebih suka hidup dalam kesederhanaan. Memang hal itu terlihat dari kesehariannya yang sederhana dan tak menunjukan dari kalangan mana dia berasal. Berbeda dengan beberpa mahasiswa lain yang seolah bangga dengan harta yang dimiliki keluarganya dan berusaha menonjolkan hal itu.
Hal ini berbanding terbalik denganku yang hanya berasal dari keluarga sederhana. Orang tuaku hanya mengandalkan hasil menggarap beberapa petak sawah warisan dari kakekku sebagai sumber mata pencaharian.
"Oh, iya, Tuan Putri. Sebentar" aku mengeluarkan selembar kertas dan pensil gambarku dari tas.
"Kamu mau ngapain, Ta?"
"Kamu diam saja, tetap pada posisi itu."
Ia tetap diam menghadap kearahaku. Akupun mulai menggambar sketsa wajahnya.
"Maaf, Tuan Putri. Ini agak lama."
"Tapi, boleh sambil ngomong kan?"
"Tentu saja boleh, itu kamu sudah melakukannya."
Ia pun tertawa. Lima belas menit berselang, gambar sketsa wajahnya sudah selesai dengan tulisan namaku di pojok bawah kertasnya.
"Ini visa kunjunganmu, Tuan Putri. Kamu harus bawa ini tiap kali kamu kesini."
"Terimakasih, Genta." Hanya kata itu yang terucap, matanya berkaca-kaca seakan tak kuat membendung air mata yang sudah bersiap-siap untuk jatuh membasahi pipinya.
"Kamu kenapa, In? Aku salah, yah?" Aku khawatir dan bingung, jujur saja baru kali ini aku melihat wanita yang tiba-tiba menangis di depanku. Aku bingung harus melakukan apa.
"Aku nggak apa-apa, Ta. Aku cuma bahagia. Makasih yah, Ta."
Lega sekali mendengarnya, akupun hanya tersenyum mengangguk sebari kuhapus air mata dipipinya.
"Kamu pantas mendapatkannya, Tuan Putri. Kebahagiaan sudah menjadi milikmu sejak kamu memutuskan untuk meminjamkan buku catatanmu padaku."
Kupalingkan pandanganku ke hamparan sawah dengan senja yang mulai muncul di langitnya. Ada getaran hebat dihatiku, getaran yang bahkan seismograf pun takan mampu mengukur besarannya.
Semesta, mulai hari ini aku resmi jatuh cinta padanya. Hanya padanya.