7

55 2 0
                                    

Selama satu minggu, aku tidak masuk kuliah. Hari-hari itu kuhabiskan untuk mencari tiga puluh ekor kodok, yang kuantarkan setiap pagi kepada Indri, melalui Ibu kosnya. Sengaja dalam seminggu ini aku tidak menemui Indri dan membalas satupun pesan whats app nya. Hal ini kulakukan agar ia tidak cepat merasa bosan, sesuai dengan arahan dari Heru, sang ksatria cinta. Aku memang tidak terlalu pandai dalam mendekati wanita, hal-hal yang kulakukan pada Indri merupakan praktik dari beberapa jurus-jurus menaklukan hati wanita yang Heru ajarkan padaku.

Akhirnya setelah satu minggu pencarian, tiga puluh ekor kodok berhasil kukumpulkan. Kodok-kodok itu kudapatkan dari sawah, rawa dan situ yang ada di sekitar wilayah Tasikmalaya. Ya, sudah pasti Heru yang memberitahuku tentang tempat-tempat itu. Tapi tetap saja dia tidak mau membantuku untuk mencari kodok. Aku curiaga, jangan-jangan ia takut pada kodok. Meskipun perawakannya tinggi kekar, bukan tidak mungkin ia takut pada kodok yang berukuran sangat kecil. Kadang setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing terhadap beberapa jenis hewan, seperti aku yang begitu takut pada kucing. Aku tidak mengerti alasanku takut pada kucing, hanya saja saat anggota tubuhku tidak sengaja menyentuh kucing rasanya geli sekali. Tapi ini masih menjadi rahasiaku dikampus, aku tidak mau orang-orang tahu kalau seorang Genta Cakrawala yang berwibawa, takut pada seekor kucing.

Oke, kita kembali ke kodok. Kodok-kodok yang hasil tangkapanku selama satu minggu kupelihara di tempat kosku untuk menunggu giliran dikumpulkan. Aku menyimpannya dalam sebuah ember, yang atasnya kututup dengan jaring kecil agar tak bisa melompat keluar. Meskipun, sesekali ada yang berhasil meloloskan diri dan melompat-lompat di mukaku saat aku tidur. Sedikit menjijikan memang, tapi apapun akan kulakukan demi Indri meskipun harus tinggal bersama puluhan ekor kodok.

Hari ke delapan, kembali kuantar satu ekor kodok ke tempat kos Indri. Aku agak kesiangan hari ini, rupanya seminggu bangun pagi belum cukup untuk mengubah kebiasaanku. Aku terkejut ketika Indri tengah berdiri di pintu gerbang tempat kos nya, sepertinya sengaja ia menunggu sejak pagi untuk bertemu denganku. Ah, geer sesekali boleh lah.

"Hey!" Indri menyapa dengan senyum manisnya.

Ahh, Semesta. Ini masih pagi. Aku takut diabetes jika terus bersamanya seharian.

"Hai juga, Tuan Putri. Ngapain pagi-pagi nangkring di depan gerbang kosan?"

"Nungguin kamu, kamu kemana aja pangeran kodok? Belalangmu gimana? Kating itu terus nanyain kamu, loh!"

"Aku sibuk mengurusi kerajaanku, maaf tak sempat kubalas pesan-pesan whats app mu. Ah, biarin aja. Lagian aku juga tidak peduli dengan hukumanku. Nggak ada untungnya cari belalang, nggak mendidik!"

"Terus kenapa kamu mau cariin aku kodok? Kan sama-sama nggak mendidik."

"Justru itu mendidik aku agar rela berkorban dan berjuang demi kamu."

"Terimakasih, ya. Rakyatmu sudah menjalankan tugasnya dengan baik, setiap harinya." ia bicara dengan mempertontonkan senyuman manisnya. Pipinya memerah, malu.

"Sesekali, ajak aku ke kerajaanmu, dong, pangeran."

"Pasti, Tuan Putri. Sudah kusiapkan singgasana termegah untukmu."

Ia tidak menjawab dan kembali melemparkan senyuman. Selepas itu kuajak iya berangkat ke kampus bersamaku. Hari ini aku memang berencana masuk kuliah, karena sudah satu minggu penuh aku bolos.

***

Aku berjalan menuju kantin, kebetulan Heru, Rendi dan Ardi sudah menunggu disana. Setelah selesai kuliah tadi, mereka memang langsung pergi ke kantin, sementara aku terlebih dahulu mengantarkan Indri pulang ke tempat kosnya. Ya, hubunganku dan Indri memang menjadi lebih dekat gara-gara kodok.

"Eh, ada pangeran kodok, nih."
Baru saja aku sampai di kantin, Heru sudah meledekku, sementara Ardi sedang sibuk dengan game online di hpnya.

"Sialan, loe. Eh, Rendi kemana?"

"Dia, pulang duluan. Ada kepentingan mendadak katanya tadi." Jawab Ardi dengan mata yang masih fokus pada game yang sedang ia mainkan.

"Pangeran kodok mau pesen apa, nih?  Hari ini gue yang bayarin. Silahkan pangeran kodok pesen sepuasnya."

Tumben sekali Heru meneraktir, padahal biasanya kalo urusan uang, Heru adalah orang yang paling irit dibanding kami semua.

"Abis dapet lotre, loe? Tumben amat?" Ardi yang sedang main game pun seakan tak percaya dengan ucapan Heru.

"Kalo sultan mah, bayar sendiri!" Heru mengelak

"Sialan, loe. Diskriminasi itu namanya." Ardi terlihat kesal

Akhirnya aku memesan mie goreng kesukaanku dan segelas es teh manis untuk menyegarkan tenggorokan yang terasa kering ditengah cuaca yang begitu panas.

Selesai membayar di kasir, tiba-tiba Heru memberikan sebuah dompet kepadaku. Aku sangat familiar dengan dompet itu. Benar saja rupanya itu dompetku. Jadi, justru aku yang membayar makanan yang dimakan Heru. Sial, rupanya dompetku terjatuh di kelas saat kuliah tadi. Tak apa, lah. Itung-itung sedekah, sekaligus membayar jasanya yang telah memberikan semua jurus menaklukan hati wanita, miliknya. Berkat jurus yang ia ajarkan, kini aku bisa lebih dekat dengan Indri. Indri yang membuat hidupku terasa begitu manis akhir-akhir ini. Indri yang telah datang menjadi pelangi tanpa hujan di kehidupanku, yang mengenalkanku pada indahnya dunia  yang berwarna.

"Hey, maba. Mana belalang yang harus loe kumpulin?" Bimo si bedebah itu mengagetkanku.

"Gak ada." Aku menjawab malas

"Loe jangan macem-macem, yah! Loe itu maba, jadi jangan coba-coba cari masalah sama gue." Ia mengancam

"Hey-hey, kalem dong, Boss." Rendi menyela

"Jangan ikut campur loe, gue cuma punya urusan sama dia. Bukan sama loe. Lagian kalian semua, tuh, maba. Jadi harus hormat sama gue, gue senior kalian!" Jawabnya emosi

"Gak sudi gue hormat sama senior belagu kayak loe. Lagian, kalo loe mau macem-macem sama temen gue, berarti loe juga harus berurusan sama gue." Rendi memang seorang pemberani. Wajar saja, ia adalah anak dari ketua persatuan pencak silat se Tasikmalaya. Tentu saja ilmu silatnya juga diatas rata-rata.

"Awas kalian semua!" Bimo berlalu meninggalkan kami, sepertinya ia semakin kesal dengan ucapan Rendi.

"Loe nggak usah khawatir, Ta. Kalo dia macem-macem, kita hajar aja." Rendi menenangkanku

"Makasih, ya, Ren."

"Santai aja, kayak sama siapa aja, loe."

Aku merasa sangat beruntung memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada disaat aku membutuhkan bantuan, bukan hanya saat mereka membutuhkanku. Ya, susah memang mencari teman di usia yang menginjak kepala dua. Biasanya semakin dewasa, manusia akan sangat pemilih dalam menentukan siapa yang benar-benar pantas untuk menjadi sahabatnya, meskipun semakin banyak orang yang akan ia temui.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang