Hari ini kuliahku libur, hanya saja aku harus tetap berangkat ke kampus untuk mengikuti acara masa bimbingan. Di kampusku ini memang aneh, banyak sekali kegiatan kemahasiswaan yang harus diikuti. Jujur saja, malas sekali rasanya mengikuti kegiatan seperti ini. Datang seperti bebek yang dibariskan rapi, di tambah lagi dengan bentakan-bentakan yang akan tetap terdengar dari mulut senior bahkan meskipun tidak ada kesalahan yang kami para mahasiswa baru lakukan. Kalau saja sertifikat kelulusan masa bimbingan ini bukan menjadi syarat kelulusan di sidang tugas akhir, pasti aku tidak akan pernah mengikuti acara seperti ini. Terpaksa harus aku ikuti masa bimbingan ini, aku tidak mau sampai tidak bisa lulus gara-gara tidak mempunyai sertifikat masa bimbingan dan harus mengulang bersama adik-adik tingkat nantinya. Aku tidak mau berlama-lama di tempat yang sudah ku anggap sebagai penjara ini.
Mungkin hal yang aku suka dari tempat ini hanyalah Indri dan teman-temanku yaitu Heru, Ardi dan Rendi. Kalau tempat ini ku ibaratkan sebagai penjara, Indri adalah sipir cantiknya dan teman-temanku adalah rekan tahanan yang berada pada sel yang sama denganku.
Aku berangkat jam tujuh pagi. Ya, sudah pasti kesiangan karena memang acara dimulai sejak jam enam. Tak masalah bagiku, sudah bisa bangun sepagi ini merupakan kemajuan yang sangat luar biasa dalam hidupku. Baru saja sampai gerbang fakultas, tiga orang senior sudah menghadangku.
"Jam berapa sekarang?" Tanya salah satu senior yang memiliki tampang sangar, dengan rambut gondrong tak tertata dan celana yang robek dari paha sampai betis.
"Jam tujuh lebih, Kang." Aku menjawab dengan kepala tertunduk. Akang adalah panggilan kepada kakak tingkat laki-laki di kampusku, sementara kami memanggil kakak tingkat perempuan dengan sebuta Eceu.
"Acara mulai jam berapa, hah?"
"Jam enam, Kang." Aku tetap saja menunduk dan tak mau memandang wajahnya.
"Hey!!! Lihat mata saya kalo saya lagi ngomong."
"Iya, Kang. Maaf."
"Gak ada maaf buat orang yang nggak disiplin kayak kamu. Orang kaya kamu harus dikasih hukuman biar ada efek jera. Sekarang kamu ke kebun percobaan, tangkap seratus ekor belalang. Setelah itu kamu berikan ke saya. Baru kamu saya izinkan mengikuti acara. Ngerti, kamu?"
"Siap. Ngerti, Kang." Sebenarnya aku sama sekali tidak takut pada mereka, aku hanya malas berdebat. Lagipula, aku tidak akan mencari seratus ekor belalang seperti yang mereka suruh. Apa-apaan, memberi hukuman seenaknya, mending kalo hukuman yang mendidik.
Baru saja aku hendak berlari menuju kebun percobaan yang biasa digunakan oleh mahasiswa untuk kegiatan praktik dan penelitian, seorang wanita berlari menuju gerbang fakultas. Rupanya Indri, tumben sekali dia terlambat? Padahal biasanya ia adalah mahasiswi yang paling rajin dalam kegiatan seperti ini.
"Maaf Kang saya terlambat. Tadi saya....." Belum juga Indri selesai berbicara dengan nafas yang masih ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran diwajahnya, perkataannya diserobot begitu saja oleh si senior culas yang tadi membentakku.
"Ini lagi, cewek tapi nggak disiplin. Gausah banyak alasan, kamu! Sekarang kamu ikut sama dia ke kebun percobaan dan cari sepuluh ekor kodok." Kakak tingkat yang memarahiku terlihat kesal dan menghukum Indri dengan hukuman yang menurutku lebih sulit dari hukumanku. Ya, aku lebih baik mencari seratus ekor belalang daripada mencari sepuluh ekor kodok di kebun percobaan yang gersang karena kemarau. Ini tidak bisa dibiarkan, kasihan Indri harus menerima hukuman yang tidak mendidik seperti ini.
"Maaf, kang. Kenapa hukumannya nggak masuk akal dan lebih susah daripada saya? Dia kan cewek, Kang. Kasihan, lah. Lagian mana ada kodok di lahan gersang kayak gitu!" Aku berusaha membela Indri.
"Apalagi, kamu? Mau sok jadi pahlawan kesiangan, kamu?" Ia terlihat emosi
"Sudah, Ta. Gak papa. Aku salah, kok." Indri terlihat takut
"Gak bisa, In. Hukuman itu harus yang mendidik, kalo kayak gini perpeloncoan namanya." Aku masih bersikeras
"Ngelawan, kamu, yah? Saya, tuh, senior disini. Kamu cuma anak baru, jadi diem!! gak usah banyak tingkah!" Ia menarik kerah bajuku, dengan wajah seperti singa yang siap menerkam.
"Siapapun anda, saya nggak takut! Dasar senior gila hormat." Aku melawan
Bukk..... Sebuah kepalan tangan mendarat tepat di wajahku, akupun tak terima dan berusaha membalas pukulannya.
"Anjing! Bangsat, loe! Sini loe maju anjing!" Aku sudah tak kuasa menahan amarah, darahku mendidih dan emosiku sudah tidak bisa ditahan lagi.
Sementara itu, dua orang senior yang lain berusaha melerai perkelahian kami. Kulihat Indri juga ketakutan dan berteriak sekencang-kencangnya, memintaku untuk berhenti dan lebih tenang.
"Sudah, Ta. Berhenti, Ta." Rengek Indri
Darah menetes dari sudut bibirku, mengotori kemeja putih yang kupakai. Kulihat seseorang berlari ke arah kami dan berusaha untuk ikut menghentikan perkelahian yang terjadi.
"Apa-apaan ini? Kalian mau ngerusak acara saya?" Kulihat seseorang bernama Anton membentak kami yang sedah baku hantam. Sepertinya ia adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM di Fakultasku, sesuai dengan identitas yang tertera di id card yang terpasang di bajunya.
"Ini, kang. Maba tidak bisa diatur dan malah melawan kami." Si Bangsat yang justru menyalahkanku padahal dia yang jelas salah dan semena-mena.
"Saya melawan karena dia sudah semena-mena, Kang. Dia yang mukul saya duluan." Belaku
"Kenapa kamu mukul dia, Bimo?" Tanya Kang Anton kepada si bedebah yang rupanya bernama Bimo.
"Dia telat, Kang. Tapi dia tidak mau dihukum dan malah melawan dan berbicara tidak sopan." Bimo kembali memojokan ku
"Dia yang seenaknya menarik kerah baju saya, Kang. Dia mukul saya. Apa pantas orang seperti itu saya hargai?" Aku terus saja melawan karena merasa apa yang aku lakukan ini sudah benar.
"Bohong, kang. Dia bohong, nggak seperti itu kejadiannya." Bimo terus mengelak
"Sudah-sudah, cukup. Kalo gitu sekarang bersihin luka kamu, dan kerjakan hukuman kalian. Kamu, Bimo, ikut saya!"
"Loh? Nggak bisa gitu, dong, Kang!" Aku masih tidak terima.
"Kamu mau nurut apa kata saya, atau nggak usah ikut acara mabim ini sampai selesai? dan kamu dipastikan tidak lulus mabim."
Akupun terpaksa mengikuti apa yang diperintahkan kang Anton. Mahasiswa baru memang tidak berdaya, di masa-masa awal kuliah seperti ini. Senior selalu merasa paling benar dan kami seolah domba-domba yang bisa seenaknya mereka tindas.