20

29 2 0
                                    

Sudah dua hari aku dirawat di Klinik, orang tuaku juga sudah tiba sesaat setelah ketiga temanku datang. Selama dua hari ini, Anita terus menemaniku, ia malah menjadi akrab dengan keluargaku, khususnya Ibuku. Bahkan Ibuku mengira, Anita ini adalah pacarku. Tentu saja Anita hanya melongo ketika Ibuku bertanya seperti itu.

Rencananya, sore ini aku akan pulang ke Cilacap. Kondisiku memang sudah membaik dan dokterpun sudah mengizinkannya. Hanya saja aku harus menjaga pola makan dan tetap mengkonsumsi obat untuk beberapa hari kedepan.

Pukul sebelas siang, Anita kembali datang, ia membawakan beberapa jenis buah-buahan untuku. Ia berpamitan untuk pulang ke Bandung. Ia sengaja menunda kepulangannya untuk menemaniku. Memang semua teman kosnya sudah lebih dahulu pulang, dihari terakhir UAS.

"Kapan-kapan ajak pacarmu ini main ke Cilacap, nak." Ceteluk Ibuku

Suasana berubah menjadi canggung, Anita terlihat salah tingkah. Begitu juga denganku, aku bingung harus berkata apa.

"Eee, iya, Bu."

Iyaa? Bodohnya aku malah mengiyakan.

Kulihat Anita seperti kaget mendengar perkataanku.

"Ehh, maksudnya Anita itu bukan pacarku, Bu. Kami hanya teman saja."

"Iya, Bu. Kami cuma temenan." Anita menambahkan

"Yasudah, gapapa gausah pacaran. Nanti kalo Genta udah siap dengan masa depannya, kalian langsung nikah saja."

"Ahh, Ibu. Malah ngawur ngomongnya. Maafin Ibuku, ya, Nit. Ibu emang suka becanda."

"Iyaa, gak apa-apa kok, Ta."

"Ehh, ini anak. Dibantuin malah nolak."

"Ibu, ihh."

Ibuku hanya tertawa sambil berjalan keluar meninggalkan aku dan Anita di dalam ruangan. Ayahku yang sedari tadi sedang mencari warung kopi di luar, belum terlihat kembali lagi sampai sekarang.

"Kamu mau pulang jam berapa, Nit?"

"Agak sore kayaknya, Ta."

"Naik apa pulangnya?"

"Naik bis"

"Ohh"

Pembicaraan kami memang menjadi sedikit canggung gara-gara perkataan Ibuku tadi.

"Kamu jadi pulang ke Cilacap, Ta?"

"Jadi, nanti sore aku pulang untuk dirawat di Cilacap."

"Gimana sekarang kondisimu?"

"Aku udah enakan kok, tinggal mual-mual dikit aja."

"Kamu jaga kesehatan yah, kalo ada apa- apa jangan lupa kabarin aku."

"Iyaa, Nit. Terimakasih."

"Terimakasih buat apa, Ta?"

"Ya buat semuanya. Kamu udah ngerawat aku selama dua hari ini."

"Ahh, jangan sungkan. Kamu, kan, juga pernah bantuin aku pas aku pulang jalan kaki dari mini market."

"Ya ampun, Nit. Itu tuh nggak seberapa dibanding apa yang kamu lakuin."

"Udah, gak baik banding-bandingin kebaikan."

"Makasih, ya, Nit."

"Iya, kembali kasih, Ta."

Kami ngobrol begitu lama, Ibuku pun masih berada diluar. Entah kemana perginya. Mungkin ia sengaja memberikan waktu berdua untuku dan Anita. Jam dua siang Anita berpamitan untuk pulang.

Selang beberapa menit, ketiga temanku datang. Aku mengabari mereka bahwa sore ini, aku akan pulang untuk dirawat di Cilacap.

"Jam berapa pulang, Ta?" Rendi bertanya

"Nggak tau, sore ini kayanya. Setelah waktu ashar."

"Jangan lama-lama, loe di Cilacap. Ga asik gue disini cuma bertiga sama dua cecunguk ini." Heru bergurau

"Sialan loe." Jawab Rendi

"Apalagi sama kutu game, kayak si Sultan." Heru menambahkan

Untung saja Ardi tidak mendengar, ia tengah duduk dan tetap asik dengan kebiasaannya. Sesekali ia berteriak saat mampu menaklukan musuh-musuh di game yang ia mainkan.

"Gue cuma sebentar kok. Kalo udah sembuh juga langsung berangkat ke Tasik lagi. Gak punya temen, gue, di rumah."

"Nanti kalo loe sembuh, gue bawa kambing buat di bakar." Ucap Ardi

"Bener nih, Tan?" Tanya Heru ragu

"Ya, bener, lah."

"Widih, mantep. Kalo gitu, jangan lama-lama loe sakitnya, Ta." Rendi semangat

"Ya mana ada orang yang pengen sakit lama-lama." Jawabku

Satu jam kami ngobrol dan bercanda-ria. Jam setengah lima sore, Ibuku masuk dan mengabari kalau semua urusan administrasi sudah selesai. Aku sudah bisa pulang ke Cilacap.

Rendi dan Heru memapah tubuhku menuju mobil, sementara Ardi membantu membawakan barang-barangku. Setelah berpamitan kepada mereka, aku memulai perjalanan menuju kampung halaman. Memang berat rasanya meninggalkan Tasikmalaya dengan perasaan kesal, resah dan khawatir yang kini begitu terasa setelah kepulangan Indri. Apalagi sampai saat ini ia belum juga memberikan kabar.

Entah sudah lupa atau memang sengaja hendak melupakan, tapi digantung tanpa kepastian lalu dibiarkan, bukanlah cara terbaik untuk meninggalkan.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang