14

23 1 0
                                    

Entah mengapa langit Tasikmalaya begitu indah pagi hari ini, tidak biasanya. Warna biru luas dihiasi awan-awan putih yang indah bak kapas yang melayang di angkasa.

Aku duduk di kursi yang ada di parkiran kampus, sambil menunggu jam masuk kuliahku. Hari aku begitu bersemangat, bahkan aku sudah di kampus satu jam sebelum kuliah dimulai. Aku ingin memperbaiki kebiasaanku, seperti yang sudah kujanjikan pada Indri dua minggu lalu.

Kulihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi berdatangan untuk kuliah. Tiba-tiba pandanganku teralihkan oleh sosok wanita yang datang diantarkan oleh ojek online.

Indri kah itu? Semesta, apakah memang itu benar Indri? Pelangiku yang telah kembali pada cakrawalanya.

Rupanya benar Indri

"Heyy, Genta." ia melambaikan tangannya sambil menyapaku

Angin berhembus membelai rambutnya, sorot matanya yang indah terlihat berkilau memancar.

"Hai, Tuan Putri. Kapan sampai di Tasik? Gimana ayahmu, sudah sehat?"
Aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.

"Kemarin malam, Ta. Ayahku sudah sehat dan bisa pulang dari rumah sakit sejak dua hari lalu."

Memang selama Indri di Purwakarta, aku sengaja tidak menghubunginya. Aku tidak mau mengganggu waktunya. Apalagi ketika ia sedang merawat ayahnya yang sedang sakit. Bagiku, waktunya bersama keluarga lebih penting daripada rasa rinduku.

"In, nanti sore ada waktu nggak?"

"Kenapa, Ta?"

"Aku mau ngajak kamu ke kerajaan kodok, mau nggak?"

"Aku mau, Pangeran." Ia tersenyum manis.

Ahh, lagi-lagi aku meleleh melihat indah senyumnya. Senyun yang selalu aku sukai, yang selama satu minggu ini membuatku susah tidur karena mengingatnya.

Selama kuliah berlangsung, aku benar-benar kesulitan untuk fokus pada materi yang disampaikan dosen. Rasanya aku ingin waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Ya, hari ini aku akan menyatakan perasaanku pada Indri, setelah hal itu batal kulakukan di minggu lalu.

Beberapa kalimat sudah kurangkai dan kusiapkan sejak minggu lalu sebagai amunisi untuk menembak Indri nanti. Buku-buku puisi dan novel-novel bertemakan percintaan sudah kubaca untuk menambah pembendaharaan kataku. Mental dan keberanian sudah ku tempa, aku yakin akan mudah menyatakan rasa ini padanya. Toh Heru sudah melatihku dengan semua jurus yang ia bisa.

Akhirnya, tiga mata kuliah telah berlalu. Lima jam kuliah cukup membuatku kesal untuk menunggu waktu sore tiba. Waktu telah menunjukan jam dua siang. Semua mahasiswa telah berhamburan keluar meninggalkan kelas. Aku segera menghampiri Indri untuk mengajaknya ke kerajaanku, lebih tepatnya untuk melantik dan meresmikannya sebagai Ratu.

Kamipun berangkat menuju kerajaan kodok, diperjalanan kami mampir sebentar untuk membeli makanan yang akan kami makan di kerajaan nanti. Kebetulan dayang-dayangku di kerajaan sedang mengambil cuti.

Akhirnya kami tiba di kerajaan, prajurit-prajurit berbaris menyambut kedatangan calon Ratunya. Rakyat kerajaan kodok menyanyi dengan riangnya. Angin berhembus membuat suasana menjadi lebih sejuk. Semesta seakan sangat mendukung dan merestui apa yang kurencanakan.

"Makan dulu, Tuan Putri. Kamu belum makan siang, kasihan cacing-cacing di perutmu."

"Huss, sembarangan. Emangnya aku cacingan."

"Ckckck, maaf, Tuan Putri. Aku hanya becanda."

Kamipun segera menyantap makan siang yang kubeli tadi. Sengaja aku membelikan makanan kesukaannya, ia pasti sudah merindukan ayam geprek depan kampus yang merupakan salah satu makanan favoritnya di Tasikmalaya.

"In, aku boleh ngomong sesuatu nggak sama kamu?"

"Ngomong apa, Ta? Kok pake minta izin segala?" Ia mengarahkan pandangannya kepadaku. Raut wajahnya berubah menjadi serius.

"Aa aku, aku..."

Ahh, susah sekali rasanya mulutku berkata-kata. Semesta, tolong bantu aku.
Sial, lidahku kaku dan sulit sekali berucap, semua kalimat yang sudah kurangkai seakam lenyap dari otakku.

"Aku apaan, Ta?"

"Aku sayang sama kamu, In. Tiap kali deket kamu, ada debar yang berbeda dalam hatiku. Aku sudah jatuh hati padamu sejak saat pertama kita ketemu. Sejak kamu meminjamkan buku catatanmu pada orang yang belum kamu kenal ini. Aku mau hubungan kita lebih dekat daripada saat ini. Aku mau kamu jadi Ratuku, In. Ratu kerajaan kodok."

Anehnya, Indri seakan biasa saja mendengar perkataanku. Ia seakan sudah tahu apa yang aku rasakan selama bersamanya.

"Sebenernya aku sudah tahu tentang hal ini, Ta. Bahkan aku sudah tau meskipun kamu tidak mengatakannya. Aku juga merasakan hal yang sama, Ta. Jujur aku merasa sangat nyaman bersamamu."

"Lalu?" Aku menyela

"Begini, Ta. Aku pernah patah hati karena seorang laki-laki. Sulit rasanya membuka hati kepada laki-laki lain. Tapi, denganmu hal itu tak kurasakan. Diantara beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku, kamu yang paling bisa membuatku lupa akan trauma yang kualami. Tapi aku masih belum yakin dengan perasaanku, Ta. Jadi aku perlu waktu untuk menjawab pertanyaanmu. Aku harap kamu bisa mengerti."

Tiba-tiba kurasakan sesuatu menghempas dadaku, entah apa itu. Perasaan sesak terasa memenuhi rongga dadaku. Jantungku seakan berhenti berdetak, aliran darahku terhenti dan nadiku pun seakan tak berdenyut lagi.

Semesta, sedang bermimpikah aku saat ini? Apakah semua ini nyata? Mengapa sakit sekali rasanya, semesta?

"Ta, kamu pasti marah yah? Pasti kamu kecewa ya, sama aku?" Indri membuyarkan lamunanku.

"Nggak kok, In. Aku mengerti. Aku akan sabar nunggu jawaban kamu, In."

"Jangan berubah, ya, Ta."

"Nggak akan pernah, Tuan Putri. Aku akan tetap menjadi Pangeran kodokmu. Bahkan semestapun takan mampu merubahnya."

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang