15

24 1 0
                                    

Rasa sesak masih bersemayam dalam dadaku. Tidak bisa aku pungkiri, hatiku memang merasakan sakit dan kecewa. Aku sebenarnya mengira bahwa Indri akan langsung menerima cintaku, tapi rupanya semesta memberikanku tambahan waktu untuk menikmati masa-masa memperjuangkan harapan.

Malam ini, aku sedikit membutuhkan udara segar. Aku memutuskan untuk pergi ke kampusku. Ya, memang fakultasku adalah tempat yang paling sejuk di kampus. Pepohonan yang tinggi menjulang serta daunnya yang rimbun menaungi beberapa sudut kampusku.

Suasana kampus begitu sepi malam ini, aneh sekali. Padahal, biasanya banyak kakak tingkat yang berada di kampus untuk sekedar nongkrong dan mengobrol. Mungkin semesta tahu bahwa malam ini aku sedang tidak ingin terganggu, sehingga ia menyediakan tempat untuku menyendiri.

Aku duduk di kursi yang berada di tempat pakir dan mengeluarkan rokok dari saku celanaku.

Maafkan aku, Tuan Putri. Bukan aku tak mendengarkan nasihatmu, izinkan rokok memberikanku ketenangan hanya untuk malam ini saja.

Beberapa batang rokok sudah kuhabiskan, kulihat cahaya lampu motor mulai mendekat dari kejauhan.

"Eh, koboy. Lagi ngapin loe malem-malem di kampus?" Suara Ardi mengagetkanku. Ia datang bersama Heru.

"Tau darimana, loe, kalo gue ada di kampus?" Aku balik bertanya

"Eh, ditanya malah balik nanya. Tadi gue ke kosan loe, terus si Indra bilang katanya loe pergi ke kampus dan keliatan kayak orang yang lagi banyak masalah. Makanya gua sama Heru kesini."

Aku memang sempat berpapasan dengan Indra saat menuju ke kampus tadi, rupanya ia bisa membaca raut wajahku yang memang sedang tidak baik-baik saja.

"Gue gak kenapa-napa kok, cuma mau cari angin aja. Tumben berdua, Rendi kemana?"

"Udah jangan bohong, Ta. Gua sama Ardi juga tau kali, kalo loe lagi ada masalah. Kegambar jelas di.muka loe tuh. Si Rendi lagi nongkrong sama temen SMAnya."

Sial, sulit memang menyembunyikan masalah dari mereka. Dari raut muka dan gelagatku saja, mereka sudah bisa menebaknya. Aku memang bukan orang yang pandai berpura-pura, apalagi di depan mereka.

"Gue udah nembak Indri, Her."

"Terus gimana?" Wajah kedua temanku berubah menjadi serius.

"Aku masih digantung, dia tidak menolak juga belum menerimaku. Alasannya, sih, karena masih trauma akan luka masa lalunya. Dia masih belum bisa membuka hati pada laki-laki lain, meskipun katanya dia nyaman deket sama gue."

"Lah, itu mah akal-akalan dia aja biar bisa manfaatin loe." Ardi menanggapi dengan kesal. Ia memang sudah sering sekali dimanfaatkan oleh perempuan.

"Huss, loe gak boleh buruk sangka gitu sama orang." Heru menegur

"Gue cuma bingung gimana caranya ngeyakinin Indri."

"Udah tinggalin aja, lah. Cari yang lain aja, Boy. Cewek mah banyak." Ardi kembali menunjukan ketidaksukaannya.

"Kalo menurut gue, ya, mending loe sabar dulu, Ta. Kalo loe bener-bener suka sama Indri, loe kejar dia terus. Jangan sampe loe nyesel nantinya kalo memutuskan sesuatu berdasarkan emosi kayak si Sultan, tuh."

"Lah kok, gue? Emang bener kan, kalo cewek udah gamau ya tinggalin aja. Toh banyak cewek yang lain juga." Ardi menyanggah

"Nggak gitu, Sultan. Kalo masalah rasa mah, beda." Heru kembali menyanggah perkataan Ardi.

"Lah, Playboy kayak loe, masih mentingin rasa juga?"

"Sialan, loe, Sultan."

Mereka malah asik berdebat dengan keyakinan masing-masing. Tapi syukurlah, dari perdebatan mereka, aku bisa mengambil hikmah yang bisa sedikit membuatku tenang. Cinta memang menyuguhkan berbagai risiko yang harus dihadapi, pahit, manis, sedih dan bahagia menjadi suatu hal yang harus diterima dalam memperjuangkan cinta. Cinta memang bisa menguatkan siapa saja, juga bisa melemahkan siapa saja. Bukan masalah siapa yang paling kuat dalam memperjuangakan cinta, melainkan siapa yang lebih siap bertahan dalam masa-masa yang menguras perasaan. Mencintai memang membutuhkan keberanian dan tekad yang luar biasa, maka dari itu, kebahagiaan atas cinta menjadi nikmat yang luar biasa apabila dapat dirasakan oleh insan yang berjuang dijalan cinta.

Aku memang merasa kecewa, tapi aku tidak bisa menyalahkan Indri. Justru, harusnya hal ini menjadi motivasi bagiku untuk lebih bisa meyakinkan Indri. Masih ada secerca harapan, cahaya masih terlihat meski langit begitu gelap.

Ya, memang kudengar ada beberapa laki-laki yang sedang mencoba masuk ke kehidupan Indri. Diantaranya yaitu Yuda dan Andre, kakak tingkatku dari jurusan agroteknologi, serta Gian dan Reza, teman satu angkatanku.

Aku tidak pernah merasa memiliki saingan. Karena, sejak pertama kali bertemu dengannya, aku percaya Indri adalah takdirku. Bahkan semestapun takan mampu mengingkari semua itu. Hanya masalah waktu saja ia akan menjadi miliku. Ya, Tuan Putri jelita itu akan menjadi Ratuku, Ratu kerajaan kodok. Aku hanya harus berusaha lebih keras dalam meyakinkan Indri. Aku harus bisa membuktikan bahwa akulah laki-laki yang tepat untuknya menitipkan hati, yang akan menjaganya, dan tak akan membiarkan setetes air matapun jatuh di pipinya.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang