Pukul tujuh belas, aku berangkat menjemput Indri. Kami memang sengaja berangkat lebih cepat, agar tidak terlambat dan bisa melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu di masjid yang ada di Asia Plaza.
"Tuan Putri, aku sudah di depan kosanmu." Aku mengiriminya pesan singkat melalui whats app.
"Okey" ia hanya membalas singkat.
Kulihat Indri keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua tempat kosnya. Ia pun berjalan menuruni tangga menghampiriku dengan senyum indah terlukis di wajahnya. Senyum yang selalu memikatku dan membuatku merasa ingin selalu berada di dekatnya.
"Sudah siap?" Tanyaku
"Kalau belum siap, aku pasti masih ada di kamar." Jawabnya sedikit meledek.
Kamipun berangkat menaiki kuda besiku, bak pangeran dan putri yang telah ditakdirkan bersama bahkan sebelum diturunkan ke bumi.
"Sudah pernah nonton di bioskop, sebelumnya, In?"
"Sudah, sama keluargaku. Kalau kamu?"
"Aku baru kali ini."
"Yang bener?" Ia seolah tidak percaya.
"Ya, benar. Sengaja kusimpan pengalaman pertama ini untukmu."
"Kalo pengalaman kedua, ketiga?"
"Oh iya, aku lupa. Pengalaman pertama dan seterusnya kusimpan untukmu, Tuan Putri."
"Gombal, kamu." Ia tertawa.
Aku hanya tersenyum melihat riang sikapnya.
Kamipun sampai di Asia Plaza. Aku memarkirkan motorku di ujung tempat parkir motor.
"Kenapa jauh sekali parkirnya?"
"Tidak apa-apa."
"Pasti ada alasannya, dong."
"Biar lebih jauh, hehe."
"Kok gitu?"
"Ya, aku ingin lebih lama bersamamu."
Ia tidak menjawab, hanya sebuah senyum yang ia lontarkan. Pipinya memerah seolah malu.
Kami berjalan keluar dari tempat parkir. Suara adzan maghrib pun terdengar.
"Aku sholat dulu, kamu sholat nggak?"
"Aku lagi nggak sholat."
"Oke, kamu mau nunggu dimana?"
"Di depan masjid aja, Ta."
"Yasudah, tunggu dulu. Jangan kemana-mana. Aku mau menemui Penciptamu dulu, mau minta."
"Minta apa?"
"Minta supaya kamu bahagia."
"Aku kan udah baghagia."
"Bagus kalo gitu, berarti tugasku menjadi sedikit lebih ringan."
Aku berlalu meninggalkannya yang duduk menunggu di depan masjid dan segera menuju tempat wudhu.
Selesai sholat aku berjalan keluar menghampiri Indri yang kulihat masih duduk di tempat yang sama. Waktu sudah menunjukan pukul delapan belas lebih lima belas menit.
"Yuk, udah lebih lima belas menit nih." Ajakku.
"Santai saja, nggak langsung mulai kok." Jawabnya menenangkan.
Kami berjalan menaiki eskalator menuju bioskop yang berada di lantai empat Plaza.
Sial, aku lupa posisi kursiku.
Jantungku berdetak tidak beraturan, aku bingung harus bagaimana. Aku takut nanti salah duduk dan justru bertingkah memalukan di depan Indri.
Kami masuk menuju ruangan yang bertuliskan Teater 2 di atasnya. Ya, kata penjaga loket tiket, film bumi manusia memang diputar di Teater 2.
Jantungku semakin cepat berdetak, aku benar-benar lupa dimana posisi kursi yang tadi siang kupesan.
"Nomor berapa a? Coba saya lihat tiketnya." Tiba-tiba suara perempuan mengagetkanku. Rupanya petugas pemeriksa tiket.
"B13 sama 14, teh."
"Mari saya antar."
Ah, lega sekali rasanya. Untung saja aku telat. Kalau tidak, mungkin aku tidak mendapatkan layanan antar dan ditunjukan tempat duduk oleh petugas bioskop.
Akhirnya kami duduk di kursi yang ditunjukan oleh petugas bioskop tadi. Benar kata Indri, rupanya filmnya memang tidak langsung dimulai. Sebuah pengetahuan baru yang kudapatkan setelah lebih dari lima bulan tinggal dikota.
Sebenarnya aku tidak terlalu fokus menonton filmnya, aku lebih senang melihat ekspresi Indri yang begitu serius menonton. Kadang ia tertawa, kadang juga ia menangis sedih terbawa alur cerita.
Film Bumi Manusia memang menceritakan seorang pria yang harus dipisahkan dengan kekasihnya, tentu saja alur ceritanya sedikit menguras air mata.
Tidak terasa film yang kami tonton sudah selesai. Orang-orang pun terlihat beranjak keluar dari ruangan. Kulihat Indri masih saja sibuk menghapus air matanya dengan tisyu yang sudah basah.
"Hhmm, kebawa cerita yah?"
"Iyaa, sedih banget ceritanya."
"Yasudah, hapus dulu air matamu. Kita keluarnya belakangan saja."
"Hehe, iya. Maaf yah, aku malu-maluin kamu aja."
"Kata siapa? Aku tidak pernah merasa malu bersamamu. Bahkan tidak akan pernah."
"Aku emang suka gini, kebawa perasaan kalo nonton film."
"Gapapa, untuk kali ini aku izinkan kamu menangis."
"Kalo nanti-nanti?"
"Tergantung apa penyebab kamu menangis, kalu cuma gara-gara film, sih, nggak apa-apa."
"Terus yang gak boleh, tuh kalo gimana?"
"Kalau ada yang melukaimu. Nggak akan aku biarin."
"Emang berani?"
"Indri" kutatap matanya dengan serius.
"Ya" jawabnya.
"Mencintaimu adalah keberanian terbesarku. Kau tau, seisi semesta akan cemburu padaku."
Ia pun tersenyum malu. Aku mengajaknya keluar dari ruangan bioskop. Kami berjalan beriringan. Meskipun begitu, aku tidak pernah sekalipun menggandeng tangannya. Jujur saja, aku tidak berani. Bagiku mencintai seorang wanita itu dengan cara menjaganya. Bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diriku sendiri.