Tidak terasa sudah satu semester aku kuliah, hari ini adalah hari terakhir aku melaksanakan ujian akhir semester. Tentu saja setelah UAS selesai, libur panjang akhir taun sudah menunggu. Kampusku memberikan waktu dua bulan untuk mahasiswa menikmati masa-masa rehatnya.
Entah mengapa aku tidak terlalu senang dengan waktu libur kali ini. Padahal biasanya di SMA, liburan seperti ini adalah waktu yang paling kutunggu-tunggu. Saat-saat dimana aku bisa bebas melakukan semua yang kumau, tanpa gangguan materi-materi pelajaran yang membuat kepalaku pusing. Mungkin aku tidak suka karena akan ada jarak yang memisahkan aku dan Indri.
Hari ini Indri akan pulang ke Purwakarta. Rencananya setelah selesai UAS, akan kuantar ia menuju terminal. Saat-saat terakhir dimana aku bisa bersamanya sebelum liburan. Indri sudah mewanti-wantiku bahwa kalau dirumah ia sangat jarang menggunakan handphone, hal yang sama seperti yang kulakukan saat berada di kampung halamanku. Bukan karena ingin menikmati waktu bersama keluarga seperti yang Indri lakukan, lokasi desaku yang berada di lembah membuat jaringan seluler sangat susah dijangkau. Untuk sekedar mengirim sms saja, biasanya aku harus nangkring di jendela rumah, apalagi untuk mengakses internet.
Lembaran-lembaran soal UAS telah ku isi, semua jawaban yang ditanyakan di soal seakan sudah berada diluar kepalaku. Wajar saja, semalaman aku belajar untuk menghadapi UAS hari ini. Tentu saja bersama Indri yang bertindak sebagai mentorku. Kami belajar di kedai kopi tempat biasa kami nongkrong bersama dengan ketiga temanku.
Kulihat Indri masih fokus memeriksa kembali jawabnnya.
"Waktu mengerjakan tinggal lima menit lagi." Suara Pak Amir membuat beberapa mahasiswa yang masih mengerjakan ujian menjadi panik.
Aku beranjak dari tempat duduk, berjalan kedepan kelas untuk mengumpulkan lembar jawaban yang sudah selesai kukerjakan. Sementara, Rendi, Ardi dan Heru masih terlihat pusing dengan ujiannya. Mereka seperti heran melihatku yang menjadi orang pertama yang selesai mengerjakan soal.
Aku menunggu Indri di tempat parkir, beberapa menit kemudian kulihat ia berjalan menghampiriku, sembari melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Anita dan Putri.
"Cie, jadi yang paling cepet." Indri memberikan pujian yang lebih seperti ledekan.
"Kan udah selesai, mau ngapain lagi?"
"Ya, diperiksa dulu kek."
"Lah, sama saja. Nggak bakalan ngaruh. Jawabanku gak akan berubah."
"Tapi bisa kan, jawab soalnya?"
"Hehe, lumayan bisa kok. Kan semalem diajarin sama ahlinya."
"Bisa aja kamu, yuk berangkat. Ke kosan aku dulu,ya, ambil beberapa barang."
"Dengan senang hati, Tuan Putri."
Tepat jam dua siang, aku mengantarnya ke terminal. Kulihat raut bahagia di wajahnya, seakan ingin segera bertemu keluarganya.
Diperjalanan aku hanya diam dan sesekali memandangi wajahnya dari pantulan kaca spion.
"Betah banget liatin spion."
Rupanya ia menyadari apa yang aku lakukan sedari tadi."Hehe, maaf. Aku hanya ingin memandangimu sebelum kita tidak bisa bertemu."
"Cuma dua bulan kok, Ta."
"Cuma katamu?"
"Iyaa, setelah itu kan kita masih bisa ketemu lagi."
"Hmm. Aku boleh merindukanmu, nggak, In?"
"Kenapa kamu nanya gitu? Ya semua orang bebas dong mau rindu sama siapa."
"Tapi aku nggak punya hak untuk itu, In. Aku siapa? Dan kita ini apa, In?"
Indri menundukan kepalanya. Sebenarnya, aku sedikit tidak tega menanyakan hal itu padanya. Tapi, aku juga punya hati yang sampai saat ini masih menunggu kejelasan darinya.
"Maaf, Ta. Aku masih butuh waktu untuk benar-benar membuka hatiku buat kamu."
"Iya, In." Aku menjawab singkat.
Perasaan yang sama seperti saat aku mengungkapkan peraasaanku pada Indri, kini datang kembali. Rasa sesak itu kembali memenuhi dadaku. Aku memang merasa kecewa, tapi anehnya bukan pada Indri, justru pada diriku sendiri. Aku merasa tidak berguna, karena sampai saat ini, aku masih belum mampu membuat ia yakin padaku.
Tidak ada percakapan lagi yang terjadi setelah itu, kami seakan dua kepala yang sama kerasnya menahan ego masing-masing. Suasana yang semula cair seakan berubah penuh kecanggungan.
Aku ingin sekali menyapanya, tapi rasa sakit didadaku seakan menolak semua itu. Desir angin yang semula sejuk, kini tak bisa lagi kurasakan. Aku hanya sebatang pohon yang menunggu dibasahi hujan musim kemarau. Malang, hujan tak datang, justru layu dibuai harapan.
Kamipun sampai di terminal. Tidak banyak kata terucap. Hanya ucapan terimakasih yang keluar dari mulutnya, sebari beranjak menaiki bis tujuannya. Aku duduk menunggunya di sebuah bangku yang terletak di depan penjual minuman, menunggu sampai bis yang ia naiki memulai perjalanan. Sesekali ia melihat keluar melalui kaca jendela, bibir mungilnya seakan tak kuasa menahan senyuman yang ingin sekali ia tunjukan. Sayang, ego menahan semua itu. Kami seperti dua insan yang berada di satu bumi, namun berbeda arah rotasi.
Bis yang ditumpangi Indri akhirnya memulai perjalanannya. Cuaca berubah seketika, langit menjadi mendung dan gelap. Benar saja, hujan turun bertepatan dengan air mata yang tiba-tiba menetes dipipiku.
Semesta, tolong jaga senyum dan tawanya. Izinkan aku kembali melihatnya, meski saat itu, bukan aku yang menjadi alasannya.