Hari ini kembali ada jadwal acara masa bimbingan, jujur saja itu sangat berpengaruh terhadap moodku pagi ini. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman yang diberikan Bimo, kemarin. Heru, Rendi dan Ardi sudah sepakat untuk datang di acara ini. Kami memang berencana melawan kesewenang-wenangan senior terhadap kami.
Pukul enam pagi kami berempat sudah ada di kampus, sengaja kami datang lebih awal dari acara yang dimulai pada pukul tujuh. Kami duduk di kursi yang berada di tempat parkir. Kulihat belum ada mahasiwa baru yang datang. Sementara itu, para panitia yang terdiri dari mahasiswa tingkat dua dan tingkat tiga sepertinya sudah tiba. Beberapa sepeda motornya sudah berjajar rapih terparkir di parkiran kampus.
Suara langkah kaki dari lorong mulai terdengar, sepertinya ada yang datang menuju parkiran dari dalam gedung kampus.
"Heh, maba. Ngapain kalian jam segini udah dateng?" Suara Bimo sontak mengagetkan kami.
Kami hanya diam dan asik mengobrol tanpa menghiraukan pertanyaan dari Bimo. Malas sekali rasanya menanggapi orang yang menyebalkan seperti dia.
"Kalian ini, tuli, yah? Apa gagu?" Suaranya semakin keras, urat-urat dilehernya mulai terlihat.
"Loe maunya apa, sih? Gua telat, loe hukum. Sekarang gue sama temen-temen gue datang lebih awal, loe marah. Maunya apa, loe? Jangan mentang-mentang senior, loe bisa bertingkah seenak jidat loe itu." Aku berdiri dan menjawab dengan nada kesal.
"Loe jaga, yah, tingkah laku, loe! Loe itu cuma maba. Gue disini senior. Jadi loe harus hormat sama gue. Dan kalian harusnya datang bersama-sama dengan maba yang lain. Kalian harus kompak!"
"Lah apa urusannya, gue sama maba yang lain. Nanti juga gue masuk nya bareng-bareng pas acara mau mulai. Lagian definisi kompak menurut loe tuh aneh."
"Nyari gara-gara, yah, loe?" Ia meraih kerah bajuku
"Eitss..... santai, boss!" Rendi beranjak berdiri diikuti Heru dan Ardi
"Mau main keroyokan, kalian?" Tanya Bimo yang sepertinya takut karena dia hanya seorang diri.
"Lepasin nggak itu tangan loe dari kerah baju gue? Kalo nggak gue hajar, loe." Aku semakin emosi, darahku serasa sudah mendidih dan naik memenuhi ubun-ubunku.
"Udah, sikat aja, Ta."
"Bugg......"
Suara kepalan tangan Rendi yang tepat mendarat di wajah Bimo. Perkelahian pun tak bisa dihindari lagi. Kudengar beberapa langkah kaki berlarian menuju kami.
"Apa- apaan kalian?" Kang Anton dan beberapa senior lain datang melerai.
"Mereka ngeroyok saya, Kang!" Bimo mengadu
"Bohong, Kang! Dia yang lebih dulu cari masalah sama kami." Elak Rendi
"Bener, Kang! Dia menarik kerah baju saya." Tambahku
"Sudah, cukup. Kalian semua sama saja. Sekarang kalian semua ikut saya ke ruang sekretariat BEM."
Kang Anton menggiring kami berlima menuju ruang sekretariat BEM. Kami berjalan berjauhan dengan Bimo yang wajahnya sudah bonyok akibat beberapa pukulan yang bersarang diwajahnya.
"Duduk kalian!" Kang Anton masih terlihat marah.
Kamipun duduk di kursi yang tersedia di ruang sekretariat BEM.
"Saya nggak habis fikir sama kalian, kalian itu adik dan kakak, tapi ribut terus kerjaannya. Fakultas kita ini terkenal dengan budaya kekeluargaannya, jadi jangan sampai budaya kita ini luntur hanya gara-gara tingkah bodoh kalian."
Kami hanya menunduk mendengarkan omelan dan nasihat dari Kang Anton. Tak biasanya, Bimo pun hanya tertunduk mendengarkan tanpa berkata sedikitpun.
"Karena kalian sudah kelewatan, saya harus menghukum kalian semua. Bimo, kamu saya keluarkan dari kepanitiaan mabim. Dan kalian berempat, sanya nyatakan kalian tidak lulus dalam mabim tahun ini."
"Yahh, Kang. Gabisa gitu dong!" Heru tak terima
"Kenapa? Kalian jelas-jelas salah dan tindakan kalian ini sudah keterlaluan."
"Tapi kan nggak kaya gini juga hukumannya, Kang." Ardi menambahkan
"Sudah! Keputusan saya sudah bulat. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan ini." Kang Anton berdiri dan menunjuk ke arah pintu. Sepertinya ia memang sangat marah kepada kami semua.
Kami semua keluar dari ruangan sekretariat BEM. Bimo terlihat melotot ke arah kami, kamipun memandanginya balik.
Kami pulang menuju tempat kosku dan tidak mengikuti acara mabim hari ini, untuk apalagi? Kami sudah divonis tidak lulus masa bimbingan tahun ini. Entah bagaimana konsekwensinya nanti, kami tidak peduli.
"Ini semua gara-gara si Bimo sialan itu." Rendi masih bicara dengan nada kesal
"Lagian, loe pake belaga nolongin si Indri sih pas kemarin dia dihukum. Jadi panjang gini kan masalahnya." Heru yang masih tidak terima malah terkesan menyalahkanku.
"Loh, kok loe nyalahin gue? Emang siapa yang suruh kalian ikut-ikutan masalah gue." Aku menyangkal kesal
"Udah-udah, kalian malah ribut kayak anak kecil. Yang udah, ya, udah. Lagian kita ini sahabat, sakit satu, sakit semua. Kalo satu kena masalah, yang lain membantu." Ardi menengahi
Aku dan Heru masih diam dan saling memalingkan pandangan, aku masih kesal dengan sikapnya yang justru menyalahkanku atas kejadian hari ini.
