"Astaga, telat kuliah lagi nih!!" Aku segera berlari menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk kuliah. Kaos lusuh dan celana penuh robekan dilutut sudah ku kenakan. Segera ku tancap motor tuaku menuju kampus. Bangun kesiangan memang sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini. Entahlah, gravitasi di kasur rasanya begitu kuat, apalagi di kota yang memiliki cuaca yang dingin seperti Tasikmalaya.
"Eh, tunggu. Mau apa kamu?"
Pak Amir terlihat kesal dengan sikapku yang seenaknya nyelonong masuk ke kelas."Mau kuliah, Pak." Dengan polosnya aku menjawab pertanyaan Pak Amir.
"Jam berapa sekerang? Lima belas menit lagi kuliah selesai dan kamu baru datang? Seenaknya saja nyelonong. Celana sobek-sobek, kuliah pake kaos, lagi."
"Maaf, Pak. Tadi di jalan saya nabrak bebek. Jadinya harus tanggung jawab dulu, Pak. Kebetulan bebek yang saya tabrak punya anak-anak yang masih kecil. Terus, ini celana saya robek gara-gara tadi jatuh pas nabrak."
"Terus gimana respon anak bebeknya, pas tau orang tuanya meninggal?"
"Dia syok, Pak. Tapi saya sudah bawa mereka ke panti asuhan supaya ada yang mengurus."
"Baik sekali ya, kamu. Karena kamu sudah peduli sama anak bebek itu, kamu saya kasih hadiah untuk berdiri didepan kelas sampai mata kuliah saya selesai. Oh iya, satu lagi. Tolong kamu buat makalah tentang beternak bebek dan dikumpulkan di meja saya minggu depan."
"Yah, Pak. Kok gitu?"
Seketika semua mahasiswa di kelas tertawa. Sial, baru minggu kedua kuliah aku sudah dihukum dan dipermalukan di depan kelas. Tapi, ya sudahlah. Aku tidak peduli dengan mereka. Toh akupun belum mengenal mereka semua. Selain itu aku rasa merekapun belum mengenalku, karena aku tidak mengikuti masa orientasi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan ospek. Bagiku acara seperti itu hanya membuang-buang waktu, aku lebih suka berdiam diri di tempat kos dan menghabiskan waktu dengan kertas dan pensil untuk menambah koleksi gambar-gambarku. Sejak SMA aku memang sedikit acuh dengan acara-acara di sekolah. Tak heran, kebiasaan itu terbawa sampai sekarang aku kuliah.
Kuliahpun selesai, aku segera beranjak keluar dan duduk di kursi yang berada di
samping tempat parkir kampusku. Kulihat seorang wanita dengan rambut yang terurai sebahu, alis mata yang tebal dan bola mata yang indah, datang menghampiriku."Nih, catatan materi kuliah tadi. Kamu fotokopi terus besok kembaliin lagi ke aku. Oh, iya. Kenalin, nama aku Indri. Renjana Senja Indriani."
Aku hanya bengong memasang ekspresi datar dan sedikit bingung dengan apa yang ia lakukan. Jujur saja baru kali ini aku menemukan wanita seperti dia, yang mau peduli pada orang yang bahkan belum ia kenal.
"Hallo" ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
"Ehh, iya. Aku Genta Cakrawala, panggil aja Genta. Gapapa ini, bukunya aku pinjam?"
"Bawa aja, asal jangan lupa dikembaliin. Aku duluan ya, Genta."
Ia berlalu pergi dengan santainya meninggalkan aku yang masih terheran-heran dengan sikapnya.
Aku sebenarnya tidak berniat untuk memfotokopi catatannya. Percuma saja, aku pasti tidak akan pernah membacanya. Dalam hal belajar, aku memang tergolong mahasiswa yang malas. Aku melanjutkan pendidikan ke bangku kuliahpun karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka ingin melihatku sukses dan bisa memperbaiki perekonomian keluarga.
***
Di kampusku aku tidak banyak memiliki teman. Sebagian besar teman SMAku melanjutkan kuliah di kampus-kampus ternama yang ada di Jawa Tengah. Akulah satu-satunya alumni dari SMAku yang merantau ke Tasikmalaya dan berkuliah di Universitas Harapan Bangsa. Memang, kampusku ini belum begitu terkenal karena baru tiga tahun statusnya berubah menjadi kampus negeri. Tentu saja, ketenarannya belum seperti kampus-kampus negeri lainnya yang ada di Indonesia. Mahasiswa yang berkuliah disini juga masih didominasi oleh warga pribumi serta beberapa daerah-daerah lain yang berada di Jawa barat. Hanya sedikit yang berasal dari provinsi lain sepertiku.
Aku sedikit kesulitan beradaptasi dengan mahasiswa lain karena terkendala bahasa. Aku yang sehari-hari menggunakan bahasa jawa, merasa cukup kesulitan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa lain yang menggunakan bahasa sunda. Maka dari itu aku hanya menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan mereka, itupun jarang sekali kulakukan. Aku memang malas untuk basa-basi membicarakan hal yang tidak penting. Selain itu aku juga tidak terlalu pandai dalam bergaul dengan orang asing, kecuali dengan orang yang sudah kupercaya.
Di Kampus, aku memiliki tiga orang teman yang aku kenal saat mengikuti tes pendaftaran kuliah. Mereka adalah Heru, Ardi dan Rendi. Entah mengapa dengan mereka aku lebih cepat akrab. Aku rasa, hal itu dikarenakan mereka memiliki sifat dan jalan hidup yang hampir sama sepertiku. Awalnya mereka juga tidak ingin melanjutkan kuliah. Hanya saja, paksaan orang tua mengharuskan mereka untuk menurut dan patuh. Bahkan hari ini saja aku tidak melihat mereka di kelas. Dalam hal kuliah memang kemalasan mereka lebih parah dariku.