3

69 5 0
                                    

Aku berjalan menuju lorong kelas. Kebetulan hari ini aku hanya kuliah pada siang hari, sehingga aku terbebas dari kata telat. Sebenarnya, aku tidak peduli dengan absensi kuliahku. Toh ini baru minggu kedua. Masih ada jatah tiga kali absen tidak mengikuti kuliah, yang bisa kugunakan. Hanya saja, hari ini aku harus mengembalikan buku catatan Indri yang kupinjam beberapa hari lalu.

Dari kejauhan kulihat seorang wanita sedang duduk di kursi yang ada di depan kelas. Tak salah lagi, wanita itu adalah Indri yang dua hari lalu meminjamkanku buku catatannya.

Kulihat ia berdiri dan hendak beranjak pergi, segera aku berlari menghampirinya.

"Indri..."

Ia menoleh dan membalikan badan.

"Ini bukumu yang aku pinjam dua hari lalu"

"Oh, iya Genta. Terimakasih"

Tidak banyak yang ia katakan, Indri berlalu pergi dan masuk ke kelas. Aku mengikutinya karena memang sebentar lagi kelas akan dimulai. Ada yang aneh dalam diriku, mengapa aku merasa kecewa dengan sikapnya yang begitu dingin? Mungkinkah aku sudah jatuh hati padanya? Ah, apa yang aku pikirkan? Mengapa jadi ngaco begini?

Aku menuju jajaran kursi paling belakang di kelas. Sengaja aku selalu duduk di barisan paling belakang, agar bisa tidur saat kelas dimulai. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk memperhatikan materi yang disampaikan dosen. Aku tidak peduli. Sudah hadir kuliah saja merupakan suatu prestasi yang luar biasa bagiku. Kulihat Rendi, Ardi dan Heru sudah duduk di jajaran yang sama. Kami memang sudah sepakat untuk hadir kuliah pada hari ini.

Rencana awalku untuk tidur rupanya gagal, selama kelas berlangsung aku hanya fokus memandangi Indri dari belakang. Pikiranku hanya tertuju pada Indri, seakan-akan ia terus berputar-putar dikepalaku. Kulihat ketiga temanku tengah pulas tertidur dengan kepala yang diletakan pada sandaran kursi yang berada di depannya.

"Genta Cakrawala"

Aku terkejut. Ibu Ria, dosen mata kuliah Politik Pertanian yang sedang memaparkan materi dikelas, memanggilku. Bu Ria memang sudah mengenaliku, karena aku merupakan salah satu anak walinya.

"Iya, bu. Saya" aku menjawab sambil mengacungkan tangan.

"Coba kamu simpulkan kembali apa yang tadi saya sampaikan"

Seketika tubuhku gemetar, aku bingung apa yang harus kukatakan. Sepanjang kuliah berlangsung, aku hanya melamun memikirkan Indri.

"Eee.. simpulkan ya, bu?"

"Iya, simpulkan silahkan"

"Jadi, politik pertanian itu adalah politik di bidang pertanian." Aku menjawab asal

"Benar begitu rekan-rekan?" Bu Ria menanyakan kebenaran jawabanku pada seisi kelas. Seketika seisi kelas menjawab "Tidaaak......."

"Coba, siapa yang bisa menjelaskan?" Bu Ria memberikan kesempatan kepada mahasiswa lain untuk menjawab.

Kulihat Indri mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan Bu Ria dengan lengkap dan benar. Indri memang mahasiswi yang rajin dan pandai. Berbanding terbalik denganku yang memang tak hadir saat pembagian otak di awal kehidupan.

"Tuh makanya, saya ingatkan kepada rekan-rekan, kalo di kelas tuh harus fokus memperhatikan apa yang dosen jelaskan, bukan sibuk memperhatikan gebetan."

Bu Ria meledekku, seisi kelas tertawa mendengar perkataan Bu Ria. Kulihat hanya Indri yang tidak mentertawakanku. Entah dia sadar atau tidak kalau gebetan yang dimaksud Bu Ria adalah dirinya. Tapi aku tidak peduli pada ledekannya. Toh aku memang mengakui bahwa otakku tidak terlalu suka dipakai untuk belajar dan memperhatikan hal yang tidak aku sukai.

Kuliahpun selesai, aku dan ketiga temanku segera meninggalkan kelas. Tak betah rasanya berlama-lama di ruangan yang sudah seperti penjara bagi kami.

"Ke kantin, yuk. Laper, gue." Ajak Rendi

"Ayo. Gue juga laper, nih." Heru mengiyakan

"Tapi makan ikan, yah. Biar nggak bego kaya si koboy" Ardi meledek

Entah mengapa ardi selalu memanggilku dengan sebutan koboy, padahal tidak ada sedikitpun ciri-ciri koboy yang kumiliki dalam diriku.

"Sialan loe, sultan. Dibayarin nggak, nih?" Timpalku

"Tenang, gua bayarin loe semua." Jawab Ardi

"Mie goreng yang biasa aja, deh." sahut Rendi

"Oke. Mie goreng biasa, yah, buat kita berempat" Ardi mengiyakan

Sekedar membayar makanan kami bertiga memang bukan masalah bagi seorang Sultan. Uang jajannya sehari bahkan lebih besar dibandingkan dengan uang bulananku.

Kami segera menuju kantin kampus dan duduk dimeja paling pojok.

"Mbak, mie goreng nya empat yah." Heru memesan makanan untuk kami semua, kebetulan menu paling enak di kantin kampus adalah mie goreng. Entah mengapa rasa mie goreng disini berbeda dengan mie goreng yang dijual di tempat lain. Mbak Ranti, juru masak di kantin pernah bilang bahwa keluarganya memang memiliki resep mie goreng enak yang diwariskan secara turun-temurun dari tujuh generasi.

"Eh, tadi cewek yang jawab pertanyaan dari Bu Ria, pinter banget yah, manis lagi." Rupanya mata playboy Heru sudah sadar akan pesona Indri.

"Indri maksud loe?" Aku bertanya memastikan

"Loe kenal, Ta?"

"Kenal, dia kan calon pacar gue. Awas kalo loe macem-macem." Ancamku

Seketika Rendi dan Ardi yang sedang bermain game di gadget mereka seakan terkejut dengan ucapanku.

"Emang Indri mau sama berandalan kayak loe?" Rendi meledek

Mereka bertiga tertawa meledek ku.
Iya juga, yah. Mana mungkin Indri mau sama laki-laki sepertiku.

Makanan pesanan kami pun tiba, segera kami melahap mie goreng yang sangat nikmat buatan Mbak Ranti.

Setelah selesai makan, kamipun beranjak meninggalkan kantin. Kulihat Indri sedang berjalan melewati gerbang kampus. Akupun berpamitan kepada ketiga temanku untuk pulang lebih dulu.

"Mau kemana, In? Kok jalan kaki?" Aku menyapanya dan memberhentikan sepeda motor tuaku di sampingnya.

"Mau pulang, Ta. Iya jalan kaki."

"Mau aku anter nggak?"

"Nggak usah, Ta. Aku mau mampir dulu ke kosan Anita."

"Oh, yasudah kalau begitu. Aku duluan ya, In."

Aku tidak bisa memaksanya untuk ikut pulang bersamaku, meskinpun hatiku sangat berharap ia akan menerima ajakanku. Aku tak mau terlalu agresif dalam mendekatinya.

"Iya hati-hati, Ta. Terimakasih tawaran nya"

"Hatinya satu aja, In. Aku nggak suka berbagi."

Ia hanya tersenyum mendengar perkataanku. Senyum yang indah terlukis di bibir tipisnya, seakan membentuk bulan sabit paling cantik yang pernah kulihat. Senyum yang tiba-tiba membuat suasana menjadi sejuk di tengah matahari yang bersinar terik. Ahh, ingin rasanya kubungkus dan kubawa pulang senyumnya itu. Akan kujadikan hiasan di dinding kamarku, agar bisa kupandangi setiap waktu.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang