Aku dan Indri berjalan menuju kebun percobaan untuk mencari belalang dan kodok, yang harus kami kumpulkan dalam waktu dua jam. Kulihat wajahnya masih menyimpan ketakutan akibat kejadian yang baru saja terjadi.
"Kamu kok telat, In?" Aku mencoba mencairkan suasana.
Ia hanya diam dan sibuk mencari kodok dengan wajah yang masih terlihat pucat.
"Maaf kalo aku membuatmu takut."
"Aku nggak suka kamu berantem kayak gitu, Ta." Ia membentak.
"Tapi dia yang mulai duluan, In. Dia yang semena-mena sama kamu. Aku nggak mungkin diem aja."
"Harusnya kamu lebih bisa mengontrol emosimu, Ta."
"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, In. Bisa-bisanya kamu malah nyalahin aku." Aku berbalik meninggalkannya menuju sisi kebun yang berlawanan. Aku sedikit kesal dengannya yang justru menyalahkanku.
"Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Ta."
Langkahku tiba-tiba terhenti, aku kembali berbalik dan berjalan menghampirinya dan meminta maaf padanya. Ia membersihkan luka di bibirku dengan selembar tisyu yang ia bawa.
"Aww, pelan-pelan." Aku merengek
"Sakit, yah, Ta? Maaf-maaf"
"Nggak kok, biar makin lama aja. Kan jarang-jarang dapet momen kayak gini."
"Apaan sih, Ta." Ia melemparkan tisyunya padaku. Pipinya berubah memerah
"Eh, ngomong-ngomong kamu belum jawab pertanyaan aku loh."
"Oh, iya. Aku tadi harus nganter temen kosku dulu ke klinik, kebetulan ia sedang sakit dan tidak ada yang bisa mengantarnya. Kalo kamu kenapa, Ta?"
"Kamu sudah tahu jawaban nya, In. Seperti yang pernah kutuliskan dalam pesanku, mimpiku kadang terlalu indah untuk diakhiri dengan kedatangan pagi."
"Mimpi apa emangnya?"
"Mimpi jadi pangeran kodok"
"Kamu ngeledek aku, ya?" Tanya nya dengan memasang wajah cemberut.
Oh Semesta, sisakan satu saja wanita yang seperti Indri, untukku. Kalau Kau repot memilihnya, biar ia saja, Semesta.
"Hey! Malah bengong, cepet tuh tangkepin belalang nya"
"Aku sih gampang cuma belalang, kalo kamu kan harus nangkep kodok yang lebih susah. Mana ada kodok dimusim kemarau gini"
"Kamu panggil aja rakyat-rakyatmu, kan katanya kamu itu pangeran kodok."
"Gamau, kasian rakyatku ditangkep cuma buat dikasih sama manusia brengsek kaya si Bimo"
"Huu, ngeles aja kamu. Dasar pangeran kodok gadungan!"
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Sungguh menyenangkan sekali hari ini bisa berbincang dengan Indri ditemani belalang-belalang yang melompat kesana kemari.
Setelah dua jam proses perburuan, hanya lima puluh ekor belalang bisa kutangkap. Tentunya dengan bantuan Indri, ia tidak berusaha mencari kodok karena memang susah untuk mendapatkan kodok di lingkungan seperti ini. Sebenarnya aku berniat untuk tidak menangkap belalang sama sekali, agar tidak hanya Indri yang nantinya kena marah. Tapi Indri melarangku, ia tidak ingin ada perkelahian yang terjadi lagi antara aku dan kakak tingkatku. Akhirnya Kang Anton memanggil kami, kami disuruh masuk dan mengikiti jalannya acara di dalam ruangan pengap, yang berisikan 275 orang mahasiswa. Sebagai konsekuensinya, Indri diminta untuk mengumpulkan kodok, satu ekor setiap harinya selama sebulan, sementara aku diminta mengumpulkan 5 ekor belalang setiap hari selama sebulan pula. Kulihat wajah Indri tampak begitu kesal. Bahkan manusia sebaik Indripun bisa kesal dengan hukuman yang tidak mendidik seperti ini.
Acara mabim pun selesai, hari sudah menjelang sore, senja hampir tiba dilangit Tasikmalaya. Semua mahasiswa beranjak pulang ke rumah dan tempat kosnya masing-masing. Aku duduk menunggu indri di parkiran kampus. Kulihat ia berjalan keluar bersama kedua temannya yaitu Putri dan Anita. Meskipun mudah bergaul dengan siapa saja, Indri mempunyai dua teman dekat yang selalu bersamanya. Aku memberanikan diri untuk menawarinya tumpangan pulang.
"Hai, In. Mau ku antar pulang, nggak?"
Ia terlihat tidak enak untuk menerima tawaranku dan meninggakan teman-temannya untuk pulang terlebih dahulu. Akupun tak kehabisan akal, kugunakan beberapa jurus yang sudah kupelajari dari Heru. Ya, si Playboy itu memang sudah memberikan beberapa jurus andalannya padaku beberapa hari lalu.
"Kamu kelelahan, In. Energimu sudah kamu habiskan untuk berlari dan mencari kodok tadi pagi, kasihan kakimu masih harus digunakan melangkah esok hari"
"Bener tuh, In. Kamu pulang sama Genta saja" perkataan Putri seakan memberikan angin segar padaku.
"Tapi aku harus nganterin makanan dulu ke Klinik, temen kosanku kan lagi dirawat disana."
"Aku akan mengantarmu, In."
Indri pun bersedia menerima tawaranku, kamipun berangkat dari tempat parkir kampus menuju Klinik yang tidak jauh dari kampusku. Setelah penantian yang sangat lama, akhirnya jok belakang motorku bisa berfungsi. Aku sempat berfikir untuk memotong jok motorku karena memang tidak pernah ada wanita yang mau kuberi tumpangan.
"Ta, nanti beli bubur dulu, yah, di dekat lampu merah."
"Siap, Tuan Putri."
"Apaan sih, Ta. Aku Indri bukan Putri"
"Itu panggilan khusus untukmu, aku akan memanggilmu Tuan Putri mulai hari ini."
"Kenapa Tuan Putri?"
"Karena aku pangeran nya"
"Pangeran kodok maksudmu?"
Kamipun tertawa bersama, angin yang berhembus terasa begitu sejuk. Senja yang mulai muncul menambah keindahan momen yang tercipta. Meskipun sejak tadi pagi aku sudah melihat indahnya senja di merah matanya.
Setelah membeli bubur ayam, kuantar Indri menuju Klinik. Tidak sulit memang mencari Bubur ayam di Tasikmalaya. Dari pagi sampai sore ada saja penjual Bubur ayam yang masih buka. Selain nasi Tutug Oncom atau sering disebut TO, Bubur ayam menjadi makanan yang banyak di gemari di wilayah Tasikmalaya, khususnya di kalangan mahasiswa.
"Ta, kamu pulang duluan saja. Aku mau nunggu temenku dulu sampai orang tuanya kesini nanti malam."
"Aku disini saja menemanimu, Tuan Putri"
"Tapi masih lama, Ta."
"Ya berarti selama itu juga aku akan nunggu kamu."
Aku dan Indri duduk di bangku yang ada di teras Klinik, untuk menunggu orang tua dari Linda, teman kos Indri yang sedang sakit.
"Ta, darimana ya aku dapetin kodok setiap harinya?" Indri kembali terlihat bingung dan cemas.
"Aku kan pangeran kodok. Kamu tenang saja, besok akan kusuruh salah satu rakyatku untuk datang padamu."
"Aku serius, Ta."
"Aku juga tidak pernah se serius ini, Tuan Putri."
Ia hanya terdiam memandangi langit yang mulai gelap. Senja kini mulai tak terlihat dimatanya. Kemilau sinar jingga semula indah kini berubah menjadi gelap dan penuh kecemasan.
