2

78 4 0
                                    

Udara Kota Tasikmalaya menjadi begitu dingin malam ini. Desir angin yang berhembus, rasanya seperti menusuk sampai ketulang. Waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi, dengan sebatang rokok sebagai penghangat malam. Aku duduk di teras kosan sambil memandang langit dengan hiasan bitang-bintang yang berkedip genit melihatku.

Rokok memang sudah menjadi kebutuhan bagiku, aku sudah merokok sejak masih duduk di bangku SMP. Sampai sekarang, sulit rasanya untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Aku pernah mencoba berhenti merokok saat duduk di kelas satu SMA. Tapi percuma saja, itu tak bertahan lama. Faktor pergaulan dan lingkungan, membuatku kembali terjebak dalam pekatnya dunia asap rokok. Bahkan dalam waktu sehari, satu sampai dua bungkus rokok bisa kuhabiskan. Tergantung seperti apa kondisi moodku saat itu. Biasanya saat sedang stres dan mengalami masalah, mulutku sudah seperti cerobong kereta api uap yang tak henti-hentinya mengeluarkan asap.

Tiba-tiba teringat dikepalaku sosok wanita yang tadi siang meminjamkanku catatan materi kuliahnya. Aku semakin penasaran dan bertanya-tanya mengapa ada wanita yang seunik itu? Ahh, aku benar-benar telah dibuat kagum oleh sifatnya. Bagaimana bisa ia peduli dengan orang yang bahkan belum ia kenal? Bahkan teman-teman wanita di SMAku dulu tak pernah melakukan hal seperti itu.

Saat SMA, aku memang orang yang tak dianggap keberadaannya. Sifaku yang urakan dan nakal membuatku diasingkan oleh siswa lain. Tak heran bila saat SMA aku hanya memiliki satu orang sahabat yang kini tengah mengadu nasib di negeri samurai. Aku sebenarnya berharap ia bisa ikut kuliah bersamaku, tapi orang tuanya memintanya untuk langsung bekerja. Ahh, menyenangkan sekali hidupnya. Andai saja takdirku bisa ditukar, mungkin sudah kutukarkan dengan takdir sahabatku itu.

***

Aku terbangun saat cahaya matahari sudah begitu terang menembus celah-celah jendela. Jam dinding tak henti-hentinya berputar mencari angka tiga belas. Sial, waktu sudah menunjukan jam sepuluh. Ahh, rupanya aku kembali terlambat kuliah, bahkan mungkin kelas sudah selesai karena dimulai sejak jam delapan.

Aku beranjak meninggalkan tempat tidur, mencari handphoneku yang semalam kuletakan di atas meja. Aku terkejut melihat sebuah buku yang tergeletak di samping handphoneku.
"Ya ampun, gue lupa harus ngembaliin bukunya Indri."

Segera kubuka handphoneku untuk menghubunginya. Untunglah aku sempat ditambahkan kedalam grup whats app angkatan oleh Heru, jadi aku tidak kesulitan untuk mencari kontak Indri.

Aku mengirimnya pesan singkat melalui aplikasi whats app.

Selamat pagi, Indri.
Maaf, catatanmu tidak aku kembalikan hari ini. Aku terlambat kuliah, dunia mimpi terlalu indah untuk kutinggalkan.

Genta

Indri tidak membalas pesanku, namun kulihat ia sudah membacanya. Itu terbukti dengan dua centang biru di tampilan kolom pesannya. Mungkin ia kesal denganku yang tidak menepati janji. Sudahlah, aku memang salah, wajar saja apabila Indri marah padaku.

Seharian aku hanya berdiam diri di kosan. Sebuah kamar kecil berukuran 4x4 meter dengan beberapa barang dan buku-buku tergeletak berantakan. Aku mengoleksi beberapa buku puisi dan novel, yang biasa kubaca saat jenuh dengan rutinitas hidup. Kosanku terletak tidak jauh dari kampus. Aku sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampus, agar waktu tempuh ke kampus tidak terlalu lama.

Sesekali aku gunakan waktu untuk melanjutkan beberapa gambar sketsa wajah yang dipesan pelanggan melalui akun instagramku. Sejak kecil aku memang memiliki kemampuan lebih dalam menggambar. Darisanalah aku mendapatkan tambahan biaya untuk keperluanku sehari-hari, Khususnya untuk membeli rokok. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli rokok memang sangat besar, ditengah harga rokok yang semakin meningkat setiap tahunnya. Pemerintah memang terlalu kejam pada perokok. Mereka menaikan pajak cukai rokok hampir setiap tahun tanpa mempedulikan para pecandu sepertiku yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Sore hari berlalu. Senja tiba mengakhiri hari, kemudian disambut gelap malam yang menyelimuti. Tiba-tiba, muncul notifikasi pesan masuk di handphoneku. Rupanya dari Indri. Aku sangat bersemangat membaca pesannya.

"Tidak apa-apa, Ta. Simpan saja dulu bukunyal. Ini kukirimkan foto materi kuliah tadi pagi. Maaf, aku baru membalas pesanmu."

Ahh, manusia sejenis apa dia? Ia bahkan tidak marah dan justru mengirimkanku foto materi kuliah yang tadi pagi tidak aku ikuti. Aku benar-benar tak percaya kalau ada wanita yang memperlakukanku sebagai manusia, disaat keberadaanku saja bahkan tak dihiraukan oleh perempuan-perempuan lain.

Aku duduk di depan kamar kos sambil menghisap sebatang rokok yang teselip diantara telunjuk dan jari tengahku. Masih dengan rasa penasaran yang sama akan wanita yang begitu baik padaku beberapa hari ini. Kudengar suara motor mendekat, rupanya Heru. Ia datang bersama Ardi dan Rendi yang menyusul dibelakangnya.

"Woy, ngelamun mulu? Ntar kesambet loe." Heru mengagetkanku

"Lagi mikirin hutang, loe?" Rendi meledek

"Butuh uang berapa? Loe tenang aja, ada sultan nih yang siap bayar" Heru meledek sambil menunjuk Ardi yang baru saja bersiap bermain game online yang ada di gadgetnya. Ardi memang berasal dari keluarga berada, barang-barang yang ia kenakanpun serba mewah dari brand terkenal. Itulah mengapa kami biasanya memanggilnya dengan sebutan Sultan.

"Nggak, lah. Ngaco kalian. Gue cuma lagi mikirin masa depan." Aku mengelak

"Seorang Genta, lagi mikirin masa depan, nggak salah?" Ardi meledek dengan ekspresi seolah tak percaya sambil menghentikan game yang sedang ia mainkan.

Heru dan Rendi tertawa meledekku. Malam itu kami hanya ngobrol sambil menikmati martabak yang dibawa si Sultan. Aku tidak membahas tentang Indri dalam pembicaraan kami. Aku tidak ingin mereka tahu terlebih dahulu sebelum aku dekat dengan Indri. Namun tetap saja pikiranku masih tertuju kepada Indri, wanita yang membuatku ingin naik kelangit dan memetik semua bintang yang ada untuk kuberikan padanya.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang