24

26 3 0
                                    

"Dorrr. Ngelamun mulu, ntar kesambet loh" suara Indri mengagetkanku.

"Nggak, kok. Siapa yang ngelamun?" Aku mengelak

"Halah, bohong kamu tuh! Ngelamunin apa sih?"

"Mmm, ngelamunin apa, yah? Mikirin masa depan mungkin lebih tepatnya."

"Mikirin aku dong?"

"Udah bisa ngegombal, ya, sekarang?"

"Jadi mikirin cewek lain?"

"Nggak gitu juga maksudnya. Gini, aku pengen serius sama kamu."

"Aku juga"

"Tapi aku takut, In."

"Takut apalagi, Ta?"

"In, aku takut saat waktunya tiba nanti, aku masih belum siap. In, aku tidak mungkin datang pada keluargamu dengan keadaan seperti saat ini. Aku sadar latar belakang keluargaku dan keluargamu seperti apa. Aku harus mempersiapkan semua itu dari sekarang, In."

"Ta, aku tidak akan menuntut lebih, aku siap menerima kamu sebagaimana dirimu saat ini. Soal masa depan memang perlu di persiapkan, tapi itu bisa kita lakukan sama-sama, Ta. Bukan hanya menjadi tanggung jawabmu saja. Lagian, aku yakin keluargaku juga tidak akan mempermasalahkan itu."

"In, setiap orang tua ingin yang terbaik buat anaknya, dan aku takut, sosok terbaik itu bukan aku."

"Ta, jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Kamu tidak usah sibuk memikirkan yang memang bukan menjadi tugasmu, kita hanya bisa berusaha dan berdoa, kedepannya biar rencana Tuhan yang bekerja."

"Iyaa, In. Aku ngerti.Tapi..."

"Begini saja, nanti kalau orang tuaku ke Tasik, aku kenalin kamu ke mereka."

"Tapi, In. Aku takut."

"Sssttt!! Genta yang ku kenal bukan sosok yang penakut seperti ini. Aku pengen kamu buktiin kalo emang kamu serius sama aku, Ta."

"Iyaa, In. Maap."

"Gapapa kok, Ta. Aku ngerti. Oh, iya. Kamu pasti belum sarapan, ini aku buatin kamu sarapan tadi pagi. Cuma roti, sih. Dimakan, yah, Ta."

"Siap, Tuan puteri. Makasih, ya."

"Sama-sama pangeran kodok. Yaudah, yuk masuk kelas. Bentar lagi Bu Ria pasti dateng."

"Kuyy"

"Oh, iya, Ta. Satu lagi, nanti pulang kuliah, aku mau ke toko buku dulu sama Putri dan Anita."

"Mau aku anter?"

"Nggak usah, aku pake taksi online aja. Kan bertiga, ga enak juga sama yang lain kalo aku pisah kendaraan."

"Okey"

Memang tidak ada perubahan yang signifikan dari caraku berhubungan dengan Indri setelah kami resmi berpacaran. Aku mengerti bahwa Indri bukanlah tipikal wanita yang suka mengumbar kedekatan di depan orang lain. Akupun memang lebih nyaman seperti itu. Gaya pacaran anak muda zaman sekarang yang terlalu lebay bukanlah cara yang kami sukai. Memang semakin bertambahnya usia, kedewasaanpun semakin meningkat. Meskipun tolak ukur kedewasaan tidak sepenuhnya ditentukan dari usia. Kadang, banyak orang yang berusia matang namun tidak diikuti dengan kedewasaan yang matang pula.

Akhirnya, sembilan puluh menit perkuliahan telah selesai. Hari ini memang hanya ada satu jadwal mata kuliah saja.
Aku berjalan menuju tempat parkir, rupanya aku sudah ditunggu oleh tiga makhluk dari dari zaman Me. Ya, siapa lagi kalau bukan Rendi, Heru dan Ardi.

"Tuh si koboy udah keluar kelas." Ujar Heru. Entah mengapa memang akhir-akhir ini mereka memanggilku dengan sebutan koboy. Hal ini berawal setelah kami nonton film koboy kampus yang disutradarai oleh penulis novel terkenal, Pidi baiq. Padahal menurutku mereka yang lebih mirip dengan karakter koboy kampus ketimbang diriku.

"Nongkrong mulu, nggak masuk kelas kalian?" Tanyaku

"Dosennya nggak ada, Boy." Jawab Rendi

"Udah makan siang belum? Ke kantin yuk, gua traktir makan."

"Widihh, tumben si koboy baik gini. Abis menang judi, ya, loe?" Heru meledek

"Sialan, loe. Ya nggak lah, gue traktir kalian pake duit halal, kok. Duit subsidi."

"Subsidi apaan, boy?"

"Subsidi orang tua, ckckck. Udah ah, yuk cabut."

Selesai makan akupun bercerita kepada mereka mengenai progres hubunganku dengan Indri. Tentang kami yang saat ini sudah resmi berpacaran.

"Jadi gimana pas nembak, boy?" Rendi seakan penasaran

"Kepo, loe. Mau tau aja."

"Lahh, ga asik loe, boy!" Rendi terlihat kesal

Akhirnya kuceritakan semua runtutan kejadian saat Indri menerimaku sebagai pacarnya. Merekapun terlihat lega dan ikut bahagia dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Selain itu mereka juga menasihatiku untuk bisa menjaga hubunganku dan Indri. Memang tantangan dalam mempertahankan akan lebih susah ketimbang saat mencoba mendapatkan. Kadang manusia terlena akan pencapaian yang telah diraih tanpa menyadari bahwa perjuangan tetap harus dilanjutkan. Aku dan Indri menyadari bahwa posisi ini justru merupakan awal baru bagi kami, kebahagiaan yang kami dapatkan tentunya sepaket dengan semua rintangan yang menanti dalam perjalanan kedepan. Dan aku sangat siap untuk menjalani semua itu bersamanya. Ya, bersama Indri, wanitaku.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang