Sepulang dari mengantar Indri, aku tidak langsung pulang ke tempat kos. Tiga puluh ekor kodok yang harus Indri kumpulkan seakan menjadi beban yang menari-nari dipikiranku. Itu memang tugas Indri, tapi aku tak tega melihatnya harus kesusahan mencari kodok sendirian. Apalagi satu ekor kodok sudah harus mulai dikumpulkan besok pagi, darimana ia dapatkan kodok malam-malam begini?
Aku menghubungi temanku Heru, yang memang penduduk asli Tasikmalaya, barangkali ia bisa membantuku. Kami janjian untuk ketemu di kedai kopi di depan kampus. Lima belas menit berselang, Heru datang menghampiriku.
"Ada apa, Ta. Malam-malam gini ngajak ketemu? Terus itu kok loe masih pake setelan oreo? Belum pulang?" Bukannya mau iklan, pakaian kemaja putih dan celana hitam sering disebut setelan oreo di kalangan mahasiswa di kampusku. Mungkin karena kemiripan dari dua warnanya.
"Temenin gue nyari kodok, Ru."
"Nyari kodok? Buat apaan?" Heru terlihat heran
"Udah, panjang ceritanya. Loe tau gak tempat dimana gua bisa nemuin kodok malem-malem gini?"
"Bentar, gue mikir dulu. Emm... biasanya sih di sawah deket rumah gue ada suara kodok. Cuma, ya, loe harus mau kotor-kotoran buat nyemplung kesawah."
"Yuk, cabut sekarang!" Aku bergegas menuju ke kasir dan membayar kopi pesananku. Setelah itu langsung ku tancap motor tua ku menuju sawah yang Heru ceritakan.
Akhirnya kami sampai di sawah, aku segera melepas kemeja putihku dan turun ke sawah yang ketinggian lumpurnya pun hampir menyentuh lututku.
Tiga jam pencarian, tidak kudapatkan satu ekor kodokpun. Aku hampir putus asa. Rasa kesal juga muncul karena Heru hanya mentertawakanku tanpa mau membantu. Tapi saat terbayang wajah Indri, muncul perasaan tidak tega dalam diriku. Aku saja yang sudah tiga jam mandi lumpur di sawah, tidak bisa menemukan satu ekor kodokpun. Apalagi Indri yang seorang wanita.
Saat sedang duduk istirahat, sambil mengisap sebatang rokok di pematang sawah, tiba-tiba seekor kodok melintas seenaknya dengan wajah tanpa dosa di hadapanku. Segera kutangkap dan kumasukan kedalam kantong plastik yang ku lubangi di bagian ujungnya sebagai tempat keluar masuknya udara.
"Bagus.... iya.... di cariin nggak muncul-muncul. Pas nggak dicari malah nyelonong seenaknya." Aku kesal dan malah membentak-bentak kodok yang barusaja kutangkap.
"Ngomong sama kodok, loe? Idih baru tiga jam disawah, udah gila aja, loe." Heru meledek
"Kesel, gue. Lagian, kenapa coba, ini si kodok nggak muncul dari tadi?"
"Kenapa loe nanya sama gue, tanya aja sama kodoknya. Udah, ahh. Yuk pulang, dingin gua."
Sebelum pulang aku mampir dulu ke rumah Heru untuk membersihkan badanku yang penuh dengan lumpur sawah. Heru menyuguhkanku secangkir kopi dan singkong goreng buatan mamahnya, utuk mengisi perutku yang kosong karena belum terisi makanan sejak tadi pagi.
"Loe belum jawab, loh, pertanyaan gue yang tadi. Heru membuka obrolan
"Pertanyaan yang mana?"
"Ini, yang tentang kodok."
"Oh, ini. Jadi kodok ini, tuh, buat Indri. Tadi kan gua telat, tuh, datang ke acara mabim. Terus gue dihukum, suruh nyari seratus belalang. Nah, si Indri juga telat tadi. Dia dihukum suruh nyari sepuluh kodok. Tapi dia gagal, makanya buat tiga puluh hari kedepan dia harus ngumpulin satu kodok tiap harinya."
"Wah, gila tuh kating. Yang mana sih orang yang ngehukum loe?
"Itu si Bimo, yang rambutnya gondrong itu."
"Yang gondrong tuh banyak, boss! Eh, tapi belalang loe ke kumpul berarti tuh, seratus ekor? Terus kenapa jadi loe yang nyari kodok, sekarang?" "
"Ya enggak lah, gue cuma dapet lima puluh ekor, itupun dibantu Indri. Kalo soal kodok, gue gak tega aja sama Indri. Kasihan kalo dia harus nyari sendiri. Lagipula, tadi dia juga bantuin gua cari belalang"
"Sejak kapan orang kayak loe punya rasa kasihan sama orang lain? Ini pasti ada maunya nih, loe pasti naksir sama Indri kan? Ngaku loe!"
"Sialan, loe. Gini-gini juga gue masih punya rasa perikemanusiaan. Tapi, ya, gak salah juga ucapan loe tadi. Kayaknya gue emang naksir sama Indri."
"Untung gue udah ajarin loe semua jurus yang gue miliki, untuk menaklukan hati wanita. Jadi loe bisa pake, tuh, buat deketin Indri."
"Udah gue pake buat ngajak Indri pulang bareng kemaren."
"Gimana, manjur nggak?"
"Lumayan, sih. Ga buruk-buruk amat."
"Sialan, loe. Jurus turun-temurun keluarga gua, loe anggep lumayan.
Setelah kuhabiskan secangkir kopi buatan ibunya Heru, aku memutuskan untuk pulang ke tempat kosku. Aku harus tidur cukup agar bisa bangun pagi untuk memberikan kodok yang sudah kutangkap pada Indri. Memang pengumpulan kodok harus dilakukan pagi-pagi sesuai perintah si kakak tingkat bedebah itu.
***
Pukul setengah enam pagi alarm di handphoneku berbunyi. Entah kenapa respon telingaku cepat sekali pagi ini. Padahal biasanya tak pernah ia mau merespon bunyi alarm yang kupasang berkali-kali.
Akupun segera mengantarkan kodok hasil tangkapanku dalam sebuah kotak kardus yang kuberi hiasan pita berwarna merah, dengan sebuah surat terikat di pita tersebut, yang kutitipkan kepada Ibu kos Indri. Sengaja aku tak memberikannya langsung pada Indri agar menjadi kejutan untuknya.
Selamat pagi, Tuan Putri.
Kukirimkan salah satu rakyatku untuk memenuhi janjiku kemarin. Tolong berikan ia senyuman terbaikmu. Kasihani dia, ia telah bersedia berkorban demi menjaga rona senja dimatamu. Ia tak mau melihat senja itu berubah menjadi mendung yang gelap penuh kecemasan.
Pangeran kodok :)