11

35 1 0
                                    

Adanya kerajaan kodok membuat aku dan Indri menjadi semakin dekat. Setiap kali mendapat masalah atau sekedar penat dengan rutinitas kuliah, Indri selalu mengajakku kesana. Baginya, kerajaan kodok adalah tempat ternyaman yang pernah ia kunjungi. Apalagi sekarang untuk masuk kesana menjadi lebih mudah karena Indri sudah memiliki visa.

Waktu berjalan begitu cepat, sudah dua bulan aku kuliah di kampus ini, minggu depan adalah ujian pertamaku, ujian tengah semester. Ahh, aku tak terlalu mempedulikannya. Bagiku, ujian hanya sebuah cara untuk mengkotak-kotakan manusia menjadi beberapa kelas. Yang bernilai rendah di cap bodoh, dan yang bernilai tinggi dianggap cerdas dan memiliki masa depan cerah, tak penting perihal jujur atau tidaknya mereka dalam mengerjakan ujian tersebut.

Ya, meskipun kemampuan otak ku ini pas-pasan, tapi mencontek bukanlah gayaku. Aku lebih suka mengisi lembar jawaban seadanya, daripada harus mencontek. Bagiku, mencontek adalah perwujudan dari rendahnya harga diri manusia. Kita mungkin akan bangga saat mendapatkan predikat pandai dengan nilai tinggi yang berhasil dicapai, tapi semua hanyalah tipuan yang sebenarnya kita ciptakan untuk menyembunyikan rendahnya moral yang kita miliki apabila mencontek. Tentunya meskipun cerita ini kutulis dengan tujuan untuk memberitahu para pembaca tentang kisahku dalam mencintai Indri, aku tidak akan lupa memberikan pesan moral di dalamnya. Minimal ada sedikit manfaat yang bisa para pembaca dapatkan dari membaca kisahku ini.

Aku sedang duduk di kursi yang berada di tempat parkir, sengaja aku tidak langsung pulang karena menunggu Indri terlebih dahulu.

"Hei, Ta. Ini kartu ujianmu, tadi aku ambilin di bagian administrasi." Indri datang dan menyodorkan kartu ujian tengah semesterku.

"Oh, iya. Makasih, In."

"Ta, tapi kamu ngga bisa ikut semua ujian, itu. Ada beberapa mata kuliah yang ngga bisa kamu ikuti. Kamu keseringan bolos, Ta." Raut wajahnya seakan berubah menjadi kesal.

"Iya, In. Gapapa. Kan kamu juga tau kalo aku sering bolos."

"Rubah kebiasaanmu, Ta. Kamu ngga bisa kaya gini terus."

"Iya, In."

Aku hanya menjawab singkat sebari menundukan kepalaku. Jujur baru kali ini aku merasakan malu karena bolos, padahal sejak SMA justru aku sangat bangga dengan kebiasaanku ini. Mendapat cap nakal dan ditakuti siswa lain merupakan kebahagiaan tersendiri yang kurasakan. Tapi tidak saat ini, tidak di depan Indri.

"Kamu jangan lupa belajar, ya. Awas aja kalau nggak belajar!"

"Iyaa, Tuan Putri galak."

Akhirnya ia kembali tersenyum. Akupun mengantarnya pulang ke tempat kosnya.

***

Hari dilaksanakannya UTS pun tiba. di hari pertamanya, UTS sialan ini berhasil membuatku pusing. Ya, aku memang tidak belajar, semalam. Bagaimana mau belajar, menulis materi pun tidak pernah. Semalaman aku hanya nongkrong bersama Rendi, Heru dan Ardi di kedai kopi tempat biasa kami nongkrong.

"Gimana UTS mu, Ta?" Aku bingung harus menjawab apa pada Indri, kalau aku jujur padanya, pasti ia akan marah karena aku tidak mendengarkan nasehat nya.

"Eee... bisa kok, In." Aku menjawab sambil menggaruk-garuk kepala.

"Bisa apa? Kamu ngga pandai berbohong, Ta." Indri memang tau betul saat aku berbohong padanya, entah mengapa sulit sekali menyembunyikan gelagak mencurigakanku di depan Indri.

"Bisa kok, iya. Bisa pusing maksudnya, hehe."

"Kamu nggak belajar yah, semalem?" Tatapan matanya mulai tajam

"Hehe, nggak, In. Aku semalem nongkrong sama temen-temen."

"Kalo gitu, mulai malam ini kamu belajar sama aku. Ajak sekalian temen-temenmu. Biar nggak nongkrong mulu kerjaannya."

"Siap, Boss!!!" Aku hanya menyanggupi permintaannya. Mana mungkin aku bisa menolak saat permintaan itu datang dari wanita yang berhasil membuatku merasa bahwa dunia hanya miliku setiap bersamanya. Meskipun aku tidak yakin teman-temanku mau untuk diajal belajar bersama.

Indri pun mengajakku makan siang, sengaja ia tak meminta untuk langsung diantar pulang agar aku tidak mencari alasan untuk tidak belajar dengannya malam ini. Akupun menghubungi Rendi, Ardi dan Heru untuk berkumpul di tempat biasa kami nongkrong malam ini. Tentu saja aku tidak memberitahu mereka bahwa malam ini kami berkumpul untuk belajar bersama. Mana mungkin mereka mau kalau diajak belajar, pasti hanya alasan-alasan klasik yang akan keluar dari mulut mereka.

Haripun mulai gelap, senjapun telah beranjak dari peraduannya. Memang begitulah senja, indah namun hanya sekedar singgah. Itulah alasan nya mengapa aku tak pernah memanggil Indri dengan sebutan Senja, meskipun ada kata Senja di namanya. Aku lebih suka memanggilnya Indri atau bahkan Tuan Putri seperti biasanya. Aku tidak mau ia hanya bersifat sementara seperti senja.

Aku dan Indri bergegas menuju kedai kopi langgananku, lengkap dengan seragam UTS oreo yang kami kenakan. Kebetulan Ardi, Rendi dan Heru sudah menunggu disana.

Oh, iya, mengenai perselisihan diantara aku dan Heru yang terjadi setelah berkelahi dengan Bimo, sudah selesai. Aku dan Heru sama-sama menyesali apa yang kami lakukan. Sebagai seorang sahabat, tidak seharusnya memang kami bertingkah seperti itu.

Setibanya di kedai kopi, Ardi, Heru dan Rendi terlihat bingung dengan kehadiran Indri yang sejak tiba langsung mengeluarkan semua buku-buku materi mata kuliah Ekonomi mikro yang akan diujikan besok.

"Mau ngapain, In, bawa buku banyak banget?" Heru bertanya heran.

"Mau belajar, kan? Emang Genta nggak cerita?"

Aku hanya tersenyum melihat wajah-wajah mereka yang terlihat lesu mendengar perkataan Indri. Tentu saja aku tidak mau merasakan kepusingan ini sendirian.

Dua jam kami belajar, dua jam pula rasanya aku menahan ledakan di kepalaku. Jelas saja, semua materi kuliah itu seakan mengacak-ngacak otakku menjadi berantakan. Kalau saja kalian pernah menonton kartun Spongebob squarepants pada episode dimana Spongebob mengacak-ngacak memori otaknya untuk berusaha berpikir, seperti itulah gambaran kondisi otak ku saat ini.

Akupun segera memesan kopi untuk menenangkan pikiranku yang di paksa bekerja ekstra untuk memahami materi Ekonomi mikro yang entah apa gunanya dalam kehidupanku di masa depan. Kami menikmati kopi sambil mengobrol, kebetulan masih ada waktu satu jam sebelum Indri meminta kuantar pulang. Ya, seperti yang sudah kuceritakan bahwa kosan Indri ditutup jam sepuluh malam.

Aku menyalakan sebatang rokok, kulihat Indri terus memandangiku. Aku tak mengerti apa maksudnya, ia menatapku dengan tajam.

"Ta, jangan ngerokok mulu. Masa ada Indri loe ngerokok, kasian loh dia." Heru menegur

Bodoh sekali aku, aku tidak sadar bahwa tatapan Indri adalah kode bahwa ia tak suka aku merokok di dekatnya. Indri memang pernah bercerita padaku bahwa ia sangat tidak suka pada orang yang merokok dan justru dengan bodohnya aku merokok di depan matanya.

Segera kumatikan rokok yang baru kunyalakan. Indri terlihat kehilangan mood baik nya. Ia meminta untuk diantarkan pulang. Akupun menuruti permintaanya, aku tak mau ia semakin kesal.

Di perjalanan ia hanya diam, aku berusaha untuk mencairkan suasana dan meminta maaf padanya.

"Tuan Putri, aku minta maaf."

"Maaf, buat apa?"

"Buat yang tadi. Aku tau kamu nggak suka sama orang yang merokok, tapi aku malah merokok dihadapanmu."

"Gapapa, Ta." Sepertinya ia masih kesal padaku, akupun tidak ingin memaksanya untuk memaafkan perbuatanku yang ceroboh.

"Aku cuma nggak mau kamu kenapa-napa, Ta. Aku nggak mau liat kamu sakit akibat dampak dari kebisaan merokokmu itu"

Tiba-tiba terucap kalimat itu dari mulutnya. Aku hanya diam, aku bingung harus menjawab seperti apa. Perkataan Indri terasa begitu menggetarkan batinku, aku benar-benar merasa bersalah. Disatu sisi aku senang dengan Indri yang peduli padaku, tapi di sisi lsin, aku juga susah untuk menghentikan kebiasaan merokok ini.

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang