23

45 2 0
                                    

Sesampainya dikosan, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Rasanya kadar bahagiaku meletup-letup. Bayangkan saja, satu setengah tahun berusaha mendekati Indri, meyakinkannya, hingga akhirnya kini dia menerimaku sebagai pacarnya. Aku rasa kalian juga akan merasakan hal yang sama kalau ada di posisiku saat ini. Atau mungkin kalian juga pernah mengalami hal-hal seperti ini?

Tiba-tiba handphoneku berdering dan muncul notifikasi chat Whats App dari Indri.
Sudah sampai? Tidur yah, istirahat. Kamu sudah berjuang cukup lama. Mulai saat ini, kita berjuang sama-sama.

Ahh, semakin meledak rasanya jantungku ini. Mungkin seperti ini rasanya dimabuk asmara yang sering dikatakan para penyair dalam puisinya. Siapa yang menyangka kisah yang berawal dari mencari kodok bisa sampai di fase seperti ini. Aku mungkin harus berterimakasih pada Bimo yang menghukum Indri untuk mencari kodok sehingga bisa lebih mendekatkanku dengan sosok wanita yang pertama kali memandangku sebagai manusia.

Aku benar-benar tidak bisa tidur malam ini, senyum dan wajah Indri seakan terus menari-nari dipikiranku. Akupun mengambil peralatan menggambarku, kubuat sketsa wajah Indri di selembar kertas.
Kalau kalian ingin tahu, mungkin suatu saat bisa kutunjukan gambarku. Tapi saat ini, biarlah kalian menebak-nebak dulu secantik apa Indri, wanita yang menyihirku, mengubah duniaku dan menjadi senja di setiap ujung hariku.

Sekitar tiga jam lamanya aku menggambar, diselingi dengan secangkir teh hangat dan beberapa batang rokok yang kuhisap. Rasanya lebih mudah untuk memvisualisasikan wajah Indri melalui ujung pensilku dibandingkan dengan wajah orang lain yang biasa memakai jasaku untuk menggambarkan sketsa wajahnya. Guruku pernah berkata bahwa karya seni tanpa melibatkan rasa adalah sebuah kebohongan. Dan aku rasa, itulah yang membuat gambarku kali ini berbeda dengan gambar-gambar yang pernah kubuat sebelumnya. Karena, kali ini aku tidak hanya menggambarnya dengan tanganku, tapi juga dengan hatiku.

Indri belum tahu tentang hal ini. Aku memang tidak berniat untuk memberitahu Indri tentang gambar sketsa wajahnya yang kubuat di sebuah kertas berukuran A5, yang kini terpajang dengan bingkai kaca berwarna putih di dinding kamarku. Mungkin suatu saat akan kuberikan gambar ini padanya, entah sebagai kado untuk hari ulang tahunnya, ataupun perayaan-perayaan lain. Entahlah, semua itu belum terpikirkan.

***

Kukuruyukkkk....
Seekor ayam jago membangunkanku. Aku tahu betul kalau itu suara ayam jago milik bapak-bapak tetangga sebelah tempat kosku yang memiliki banyak sekali ayam peliharaan. Hari minggu seperti ini memang biasanya beliau memandikan ayam-ayamnya. Aneh juga melihatnya, tak jarang aku melihat ayam-ayam itu saling di adukan satu sama lain. Kasihan juga sih lihatnya. Padahal kalau manusia digituin juga nggak enak. Tapi tinju? Ahh sudahlah, novel ini malah jadi nggak jelas gara-gara ayam jago.

Teleponku berdering, tentunya panggilan ini dari Indri seperti yang kalian kira.

"Hallo, Ta. Baru bangun, yah? Sekarang cuci muka, terus ganti baju. Kita lari pagi ke Dadaha, yah!"

"Lari pagi, In? Aku masih ngantuk loh, ini. Nyawa aja belum kekumpul semua."

"Ngaco kamu, emang nyawamu berceceran? Udah jangan banyak alesan, cepet sana cuci muka. Aku tunggu di depan kosan, ya."

Sepertinya memang aku tidak bisa menolak ajakan Indri. Untuk kalian yang belum tau, Dadaha itu semacan sport center yang ada di Kota Tasikmalaya. Biasanya memang ramai sekali orang yang berolahraga ke Dadaha dihari minggu seperti ini.

Aku sudah sampai di kosan Indri, kami berangkat menuju Dadaha dengan kuda besiku. Ini pertama kali aku membonceng Indri sebagai pacarnya. Rasanya sedikit lebih deg-degan dan lebih menyenangkan dari biasanya. Diperjalanan, aku tidak bisa berhenti tersenyum dan terus membayangkan kejadian semalam saat Indri berkata bahwa ia sudah bisa menerimaku dalam hidupnya.

"Ta, Taa... Mau kemana? Kan kita mau ke Dadaha, kok dilewat?"

Bodoh sekali aku. Aku melamun dan senyum-senyum sendiri sampai tidak sadar bahwa tempat tujuan kami sudah terlewat.

"Ehh iya, In. Aku mau beli minum dulu ke minimarket." Untunglah aku bisa ngeles untuk menutupi rasa malu.

"Oh iya. Kalau gitu, aku juga sekalian beli minum disini aja deh." Jawabnya

Sekitar tiga puluh menit kami berolahraga mengelilingi stadion Wiradadaha. Aku mengajak Indri untuk duduk dibawah sebuah pohon besar di sebelah utara stadion.

"In, sejak kapan sih kamu suka lari pagi kayak gini?"

"Dulu sih sering, cuma pas masuk kuliah jadi jarang. Ga ada temen soalnya, putri sama Anita jarang mau kalo diajak lari pagi. Makanya mulai sekarang, tiap minggu pagi aku bakal ngajak kamu lari pagi disini."

"Tiap minggu, In?" Aku bertanya dengan nafas yang masih ngos-ngosan.

"Iyaa, tiap minggu, Ta." Indri menjawab dengan polos

"Nggak sebulan sekali aja? Bisa nawar kan?"

"Gabisa Genta!"

"Dua minggu sekali, deh!"

"Udah gausah ngeyel, nurut aja. Katanya mau bikin aku bahagia."

"Iyaa sihh" aku menjawab lemas

"Ta, kamu pernah mikir kalau asap rokok yang selama ini kamu hisap itu bakal ngeganggu kesehatan kamu kedepannya?"

"Mmm, kadang sih."

"Aku mau kamu mulai nerapin pola hidup sehat, Ta. Ngurangin ngerokok, ngurangin ngopi, makan makanan sehat, rajin olahraga."

"Iyaa, In. Demi kamu."

"Jangan demi aku, Ta. Tapi demi diri kamu sendiri. Demi masa tuamu dan demi keluargamu nanti, Ta. Aku nggak mau kalo nanti kita memang ditakdirkan berjodoh, dan aku harus kehilangan kamu gara-gara pola hidup kamu yang nggak sehat sekarang, Ta. Aku nggak mau"

Aku terdiam, perkataan Indri seakan menamparku. Semua yang ia katakan menyadarkanku tentang pola hidupku yang memang jauh dari kata sehat.

"Makasih, ya, In. Kamu udah ingetin aku."

"Iya, sama-sama, Ta. Kita berbenah sama-sama, yah. Saling memperbaiki diri, kamu juga jangan sungkan buat ingetin aku kalau ada yang salah dengan diriku."

"Iyaa, In."

"Ta liat deh, kakek sama nenek yang disana itu. Kayanya bahagia, yah, jadi mereka? Bisa sama-sama kayak gitu sampe tua." Indri mengarahkan pandangan kepada sepasang kakek-nenek yang duduk tak jauh dari kami.

"Iyaa, In. Kamu mau kayak gitu?"

"Setiap wanita kayanya mendambakan hal itu, Ta. Bisa sama-sama sampai tua dengan pasangan hidupnya."

"Jangankan wanita, In. Akupun sebagai laki-laki ingin hubungan kita sampai di fase seperti itu. Jaga hatimu ya, In. Aku gamau kehilangan kamu."

"Kalau aku hilang gimana?"

"Kenapa nanya gitu, In?"

"Nggak, cuma nanya aja."

"In, entah karena kepergian ataupun kematian, perpisahan sudah menjadi keniscayaan. Cuma untuk saat ini, aku belum siap dan sepertinya selamanya akan seperti itu. Aku sayang kamu, In. Akan sulit bagiku untuk merelakan kamu pergi."

"Aku juga sayang kamu, Ta."

DEBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang