Di rumah, aku harus dirawat oleh tetanggaku yang kebetulan bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Majenang. Seminggu lamanya aku memulihkan kembali kondisiku, dan seminggu itu pula aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Ya, tentunya sambil menunggu Indri menghubungiku. Aku memang enggan menghubunginya, egoku terlalu tinggi untuk menghubunginya lebih dulu. Bagaimana mungkin aku yang selama ini telah berjuang untuknya, masih terus saja harus mengalah dan seakan tidak memiliki harga diri dengan terus mengemis perhatiannya.
Hari itu kondisiku sudah pulih, aku duduk di teras rumah, diatas kursi dari kayu jati yang sudah usang karena memang usianya sudah cukup lama. Kayu jati memang memiliki kekuatan yang lebih baik dari kayu lain. Tak heran meskipun kursi itu sudah ada sejak aku masih kecil, sampai sekarang masih kokoh dan masih tetap mampu menopang tubuhku yang duduk diatasnya. Kudengar suara ibuke memanggil namaku
"Ta, Genta! Itu hpmu bunyi, nak."
"Nggih, bu. Sebentar."
Aku segera beranjak masuk kerumah, handphoneku memang kuletakan di atas jendela rumahku, karena memang disitulah satu-satunya tempat yang terdapat jaringan seluler. Aku yakin itu Indri, entah kenapa debar yang aneh di dadaku muncul kembali saat itu.
Rupanya perkiraanku salah, bukan Indri yang menelepon, tapi Anita."Hallo, Asalamualaikum,Ta. Gimana kabarmu? Udah sehat?"
"Waalaikumsalam, Nit. Alhamdulillah udah mendingan, kamu gimana kabarnya?"
"Aku juga sehat, Ta. Syukur kalo kamu udah baikan."
Kami cukup lama mengobrol. Meskipun aku sedikit kecewa karena bukan Indri yang meneleponku, tapi sikap perhatian Anita sedikit mengobati rasa kecewaku. Walaupun begitu, sosok Indri masih saja menghantui pikiranku. Ia mengisi seluruh relung hatiku tanpa menyisakan sedikitpun celah bagi sosok baru.
Senja hari tiba tanpa jingganya, sore ini langit mendung pekat. Hujan berdesakan berebut untuk segera turun melepas kerinduan kepada bumi. Ia diberikan kebebasan untuk memilih tinggal dan menetap, atau mengalir kembali ke lautan. Begitupun kamu, In. Kamu memilih tinggal sebagai genangan, tenggelam di tiap cangkir-cangkir kenangan yang disuguhkan ingatan.
Cilacap, 26 Desember 2017
Aku menulis beberapa sajak untuk membunuh rindu, entah mengapa hari ini aku sedikit puitis. Benar kata orang, puisi dan sajak memang akan lebih mudah ditulis saat suasana hati sedang tidak menentu. Perasaan cemas, gelisah serta kesal menggulung seperti ombak yang terus menerpa batu karang di pantai hati.
***
Jam tujuh malam, hpku kembali berdering. Aku beranjak untuk melihat siapa yang menelepon. Palingan juga si kampret Heru yang kesepian di Tasik, pikirku. Ternyata dugaanku salah. Indri, ya, Indrilah yang menelepon.
"Hallo, Asalamualaikum, Ta."
"Waalaikumussalam"
"Gimana kabarmu, Ta? Sudah sehat?"
"Alhamdulillah, udah mendingan." Aku masih belaga gengsi dan tidak mau terlalu antusias dengan telepon dari Indri.
"Aku tau kamu kecewa, Ta. Maaf, aku tidak berada disisi kamu saat kamu butuh aku. Aku mengerti, tapi aku juga punya masalah yang lebih berat disini. Aku mau dijodohkan, Ta. Tapi aku nggak mau, belakangan ini aku sering bertengkar dengan orang tuaku. Kemarin aku suruh Anita untuk menjagamu, aku ingin ada yang memperhatikanmu selagi aku nggak bisa ada buat kamu, Ta."
"Terus sekaranh kamu gimana, In?"
"Aku tetap pada keputusanku, Ta. Aku nggak mau dijodohkan dengan orang yang bahkan sama sekali belum aku kenal."
"Maaf, In. Aku sudah salah faham tentangmu. Aku kira memang kamu sudah nggak peduli lagi sama aku."
"Gapapa, Ta. Aku ngerti. Tapi tolong jangan pernah berfikiran seperti itu lagi. Dari semua orang yang berusaha mendekatiku, kamu yang paling membuatku merasa nyaman, Ta. Caramu hadir di kehidupanku, berbeda dengan yang lainnya. Kamu memberikan kebebasan dan perhatian yang beebeda dari laki-laki lain. Sudah dulu, ya, Ta. Aku nggak bisa lama-lama. Semoga kondisimu bisa cepat pulih."
"Iya, In. Terimakasih."
Inilah yang aku butuhkan, rasanya tubuhku kembali sehat, bahkan lebih sehat dari biasanya. Bunga-bunga seakan bermekaran dalam hatiku, entah berapa kadar bahagia yang aku rasakan saat ini.
Ahh, semesta, kau memang selalu memberikan kejutan tak terduga.
