Part 32

203 44 2
                                    

Sesampainya dirumah. Keadaan rumah sudah seperti dirumah hantu, sepi, redup, dan berhawa dingin. Pasti orang rumah sudah berkelana di alam mimpi, pikirnya. Siapa yang tidak akan terlelap jika waktu telah menunjukkan pukul 10 malam? Mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang masih berkeliaran di jam malam tersebut.

Wenda menaruh sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan sandal rumahan. Ia berjalan gontai sesekali memijat bahunya yang sedikit kaku, akibat terlalu lama menghadap laptop. Tak jarang juga ia memijat pelipisnya yang semakin lama malah semakin berat rasanya. Ketika di undakan kedua, Wenda mendengar sayup-sayup seseorang tengah mengetik. Merasa penasaran, Wenda pun berjalan menuju pantry dan terlihat ayahnya disana dan dengan serius mengetik di laptopnya.

Wenda sedikit terkejut ketika melihat sang ayah disana. Sejak kapan ayahnya pulang? Kenapa kepulangannya selalu mendadak seperti ini? Wenda masih berdiam disana dengan pikirannya yang tak jauh dari kepulangan sang ayah dan beberapa pemikiran untuk meminta ayahnya merestui dirinya agar memilih jurusan perkuliahan sesuai kemauannya.

"Wenda?" panggilnya seraya melepas kaca mata yang asik bertengger di hidung mancung sang ayah. Wenda tersentak mendengar panggilan sang ayah dan mendekati beliau. "Baru pulang? Abis dari mana?" tanyanya bertubi. Baru kali ini melihat anaknya pulang selarut ini ketika masih hari sekolah.

"Iya pah. Abis ngerjain tugas Bindo, KTI. Di rumah Kamal" jawabnya tersenyum kecil. Sang ayah mengangguk mengerti seraya mengelus surai kecoklatan sang anak. "Jaga kesehatan ya. Papa gak mau liat kamu sakit, karena nanti menghambat kamu buat menerima materi di sekolah dan berdampak ke nilai kamu pastinya. Papa gak mau kalau sampai itu terjadi, apalagi kamu gak masuk di jalur undangan kedokteran." masih dengan mengelus surai Wenda. Wenda mengepal tangannya tanpa ia sadari, ucapan sang ayah seperti menghunus dirinya untuk selalu sehat dan menggapai cita-cita yang bukan berdasar dari dirinya sendiri. Wenda tersenyum paksa dan mengangguk pelan. "Pasti" ujarnya singkat.

"Bagus kalo gitu. Yaudah kamu istirahat sana" Wenda mengangguk seraya berbalik, tanpa sadar air matanya turun ke pipi tembamnya. Harapan untuk berbicara mengenai jurusan perkuliahan seketika pupus, sang papa sudah memperingati dirinya seperti itu. Wenda ingin sekali mengakhiri hidupnya. Wenda membenci hidupnya. Bisakah ia bahagia sedikit? Rasanya semua kesedihan selalu menimpanya.

Ia pun memasuki kamarnya dengan perasaan kecewa, sedih, dan marah. Tapi yang hanya bisa ia lakukan hanya menangis saja, jika ia memberontak pasti akan ada omongan tak enak dari sang ayah. Wenda sudah pernah mengalaminya jauh-jauh sebelum ini. Lebih baik ia meratapi kesedihannya sebelum waktunya benar-benar tiba. Berkuliah tanpa rasa senang sedikit pun. Ya, mungkin seperti itu nanti.

Tanpa disadari keduanya, Jepri yang awalnya ingin mengambil minum terkejut melihat sang kakak sudah pulang dan berbicara intens dengan sang ayah. Jepri mendengar semua percakapan keduanya dan melihat raut kesedihan sekaligus amarah yang tidak bisa tersalurkan. Ia merasa iba terhadap sang kakak, jauh didalam hatinya ia ingin membantu tetapi ia pun tidak bisa karena nasibnya dengan sang kakak hampir sama. Dituntut dalam memilih cita-cita. Yang hanya bisa ia lakukan hanya diam dan menenangkan sang kakak.

-STONE COLD-

Keesokannya, Wenda sudah bangun dan bersiap untuk berangkat sekolah. Kali ini ia di antar sang ayah, entah kenapa pria paruh baya yang di panggil papa tersebut ingin mengantarnya ke sekolah. Tapi yasudahlah, yang terpenting Wenda bisa sampai ke sekolah dan melupakan kesedihannya di rumah ini.

Akibat perbincangan singkat dirinya dan sang ayah, membuat dirinya lebih diam dan tak banyak berbicara. Ia terlalu malas untuk membuka suara. Baru kali ini Wenda seperti ini jika ada sang ayah, biasanya ia akan bersikap biasa saja dan seperti biasanya meskipun ia tau bahwa sang ayah hanya mementingkan keinginannya ketika berbicara dengannya. Tetapi semenjak pembicaraan kemarin dan itu mengenai relung hatinya yang lagi sensitif, ia lebih memilih diam dan berbicara sekenanya.

GHOST OF YOU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang