Part 38

248 50 33
                                    

Wenda berjalan gontai keluar gedung sekolahnya. Hari sudah semakin malam tapi ia baru saja keluar dari gedung tua itu dengan keadaan sedikit menyedihkan. Muka sembab, baju putih yang sedikit berantakan, jangan lupakan tatapan kosong dirinya. Ia masih saja mengingat kejadian yang baru saja menimpanya.

Perkataan Cakra ya tidak mau menemui dirinya begitu melekat di kepalanya. Seakan berputar seperti kaset yang sudah rusak. Wenda menertawakan dirinya yang menyedihkan ini. Sekarang nyatanya Cakra membenci dirinya karena tuduhan gadis mungil yang ia sebut dengan sahabat tersebut. Sungguh akhir kisah yang tragis. Bukannya dipercaya tetapi kau malah di benci karena dalih dari sang kekasih.

Wenda terus berjalan, entah ia tak berminat untuk memberhentikan kendaraan umum atau sekedar meminta sang adik atau sepupunya untuk menjemputnya. Hareska memang masih di Jakarta mengingat liburnya yang masih 1 bulan lagi. Libur kuliah selama tiga bulan memang membuat kenyang mahasiswa tetapi begitu masuk tugas dari dosen pun membuat kenyang mahasiswanya. Salah satunya seperti Hareska.

Ia terus berjalan di trotoar seraya menatap langit jingga yang begitu Indah. Ia menahan tangisnya melihat dirinya yang sudah rusak citranya di hadapan orang yang ia percaya dan sayangi itu. Cakra membencinya. Tak kuasa membendung tangisnya, Wenda berjongkok seraya menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Tak peduli tatapan aneh dari orang sekitarnya yang berlalu lalang. Yang ia pentingkan adalah dirinya yang bisa menghentikan tangis ini.

Tanpa ia ketahui air rintik-rintik dari langit terua berjatuhan semakin besar dan lebat. Tapi Wenda tak peduli. Ia lebih suka seperti ini. Menangis dibawah derasnya air hujan. Tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa Wenda sedang menangis. Hanya Tuhan yang tau ia sedang bergundah hati.

Wenda bangkit dari jongkoknya dan terus berjalan di bawahnya hujan. Menghiraukan orang-orang yang meneriaki untuk berteduh sejenak. Wenda tidak butuh itu, ia butuh seseorang saat ini. Ia butuh pelukan. Pelukan hangat untuk menetralkan hatinya, menenangkan hatinya yang begitu pedih dan nyeri. Ia butuh Enggar.

Lelaki dengan senyum manis, suara yang begitu ramah, dan terakhir pelukan hangat pria itu. Sungguh Wenda butuh Enggar. Tapi ia tak bisa, Enggar pasti sedang sibuk dengan merawat ayahnya yang sedang sakit. Lagi-lagi ia harus sendirian. Sahabatnya? Wenda tidak mau merepotkan mereka karena masalah ini. Ia tidak mau mereka menanggung bebannya juga, cukup Wenda saja yang merasakan.

Ia terus berjalan dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Hujan disertai angin itu membuat siapapun akan bergidik ngeri, tapi Wenda sekali lagi tak peduli. Ia hanya terus berjalan sampai ia menuju rumahnya tanpa berniat untuk memberhentikan taksi atau yang lainnya. Di pemberhentian zebra cross, ia mematung disana. Menunggu warna merah itu berubah menjadi hijau.

Wenda terus memperhatikan lampu itu, ketika sudah bewarna hijau ia berjalan dengan begitu pelan tak tergesa-gesa seperti orang-orang yang sudah berlari untuk sampai di sebrang jalan sana. Tubuhnya terus mengigil seketika kepalanya berdenyut nyeri. Jangan lagi, batinnya.

Ia memaksakan untuk terus berjalan dan sedikit lagi sampai di trotoar sebrang jalan. Sebuah lampu sorot mobil, sangat menerangi sorot matanya. Mobil itu bergerak dengan kencang menuju Wenda. Wenda samar-samar mendengar teriakan lantang dari sekitarnya. Ia juga merasakan badannya remuk semua dan matanya berkabur. Seketika semuanya gelap.

-GHOST OF YOU-

Keesokannya, Cakra seperti biasa berangkat bersama dengan kekasihnya. Setelah mengucapkan semangat dan mengecup keningnya. Cakra langsung menuju kelasnya. Mengenai Wenda, Ia jadi merasa cemas dan apakah itu terlalu berlebihan ketika mengatakan ia tidak mau bertemu dengannya? Tapi ketika melihat fakta yang ada Cakra merasa kecewa dan kesal juga akan sifat Wenda yang berubah seperti itu. Ia jadi pusing sendiri.

GHOST OF YOU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang