DUA PULUH TUJUH

1.5K 109 28
                                    

Nate memandang keluar jendela bus yang membawanya pulang. Sakit di kepalanya serta rasa mual mengurungkan niatnya untuk membeli makanan. Akhir-akhir ini pikirannya semakin dipenuhi oleh Julian hingga membuatnya sulit tidur setiap malam dan memicu penyakit lambungnya kumat.

Nate merasa hampa di dadanya. Mengapa tidak ada yang menanyakan keadaannya? Baik orang tuanya sendiri, maupun orang tua Julian, tidak ada yang menghubungi Nate hanya untuk menanyakan kabarnya. Mata Nate berkaca-kaca mengingat kekecewaannya pada Mom. Nate sadar ia bukan anak yang membanggakan karena pendidikannya tidak lebih tinggi dari kakaknya dan selalu disisihkan sejak kecil. Namun, Nate tidak menyangka Mom tega berniat menyabotase calon suami putri bungsunya sendiri.

Berada di rumah sendirian tidak membuat Nate merasa lebih baik. Nate tidak pernah menyadari bahwa ia bisa sangat merindukan Julian. Pria itu memang bisa sangat cuek padanya, tetapi faktanya hanya Julian yang peduli padanya selama ini.

Bibir Nate bergetar. Benar kata Annie, Nate terlalu terpaku pada satu kesalahan Julian hingga melupakan segala kebaikan yang pernah dilakukan pria itu untuknya. Bahkan saat Nate merasa Keith yang lebih perhatian, Keith yang lebih peduli, Keith yang selalu ada untuknya, justru Keith yang berbalik melukai dirinya lebih dalam. Nate baru menyadari, di saat ia mencoba membuat daftar keburukan Julian, justru sebenarnya tidak ada pria yang lebih baik dari Julian.

Nate menyeka hidungnya yang mulai berair. Menangis bukanlah kebiasaannya. Ia selalu menanamkan pada dirinya sejak kecil bahwa takkan ada yang peduli walau air matanya telah kering kembali. Nate pergi ke lemarinya untuk mengambil tas. Saat pulang ke Brighton kemarin, Nate mengambil obat sakit kepala yang biasa diminum Mom setiap kali beliau kurang beristirahat. Mom bilang obat itu juga membuatnya tidur dengan nyenyak, jadi Nate ingin mencobanya. Sakit di kepalanya akibat kurang tidur membuat Nate stres di kantor.

"Hm? Apa ini?" gumam Nate sambil meraba saku bagian dalam tasnya. Seingat Nate, biasanya dia hanya memasukkan benda-benda kecil ke saku itu agar tidak tercecer. Kenapa ada benda yang menyembul di sana?

Nate membuka ritsleting saku itu lalu merogoh isinya. Ia sempat melongo saat mengeluarkan ponsel dari dalam saku itu. Matanya semakin melebar saat menyadari ponsel di tangannya adalah ponsel milik Julian.

"Apa? Kenapa bisa ada di dalam sini? Kapan aku memasukkannya ke sini?" gumam Nate, setengah panik, setengah bingung.

Nate mencoba mereka ulang pertemuan terakhirnya dengan Julian di dalam kepalanya. Ia menepuk dahinya sendiri setelah mengingat pria itu menitipkan ponselnya karena baterainya habis. Nate memang tidak memakai tas itu lagi setelah malam itu dan hanya mengeluarkan ponsel serta dompetnya untuk dipindahkan ke tas yang lain. Kenapa Nate tidak menyadarinya lebih cepat, padahal dia memakai tas itu saat pulang ke Brighton?

Nate bergegas pergi ke nakas untuk mengisi baterai ponsel Julian. Pria itu pasti panik setelah mengetahui ponselnya menghilang. Ada perasaan lega yang menyelimuti saat terlintas di pikiran Nate bahwa Julian bukan menghindar seperti yang ia kira.

Begitu banyak pemberitahuan pesan, email, serta panggilan terlewat setelah ponsel Julian menyala. Nate memandangi layarnya dengan bimbang. Haruskah ia menghubungi Tara? Sebenarnya Nate ragu karena pasti mertuanya itu masih kecewa padanya. Namun, malam itu Julian jelas mengatakan ia akan pulang bersama orang tuanya. Jadi, pasti mereka yang lebih tahu keberadaannya.

Nate menekan nomor telepon Tara dari ponsel Julian. Ia mendengarkan nada yang tersambung dengan resah. Nate takut beliau tidak mau menjawab teleponnya jika Nate menghubunginya dari nomornya sendiri.

"Julian?"

"Tara, ini aku," kata Nate pelan.

"Matilda? Bagaimana ponsel Julian bisa ada padamu? Bukankah dia bilang ponselnya hilang?" tanya Tara.

Nothing Better (Than You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang