DUA PULUH DELAPAN

1.6K 117 42
                                    

Maaf karena lamaaaa baru update. Karena udah part-part terakhir, jadi harus memastikan semua "isi" sudah dibawa. Enjoy!

♤♡◇♧

Nate memandang berkeliling. Sejauh mata memandang hanya kegelapan pekat yang menyelimutinya. Kaki Nate mulai gemetar. Ia bahkan tidak tahu di mana ia berpijak. Di mana dia? Apa Nate sudah mati?

"Mommy!"

Kemudian sebuah tangan kecil terasa menggenggam tangan Nate, menariknya ke suatu arah. Nate mengikutinya hingga tiba-tiba ia diliputi oleh cahaya putih yang begitu menyilaukan dan membuat Nate memicingkan matanya. Begitu membuka mata, Nate sudah berdiri di sebuah padang yang dipenuhi oleh bunga berwarna-warni. Kaki Nate yang telanjang kini berdiri di atas rerumputan.

"Mommy! Kemari!"

Nate menoleh dan akhirnya bisa melihat anak laki-laki yang menuntunnya tadi. Rambutnya hitam dengan mata cokelat cerah. Nate tidak mengenal anak itu, tapi ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Anak itu mengajak Nate bermain di antara bunga-bunga dan Nate menikmatinya. Entah mengapa ia merasa bahagia di sana, mungkin perasaan paling bahagia yang pernah dirasakannya.

"Mommy, ayo kita bertemu Daddy."

Walau tidak mengerti siapa Daddy yang anak itu maksud, Nate tetap mengikutinya. Lagi-lagi anak itu menggandeng tangan Nate hingga tiba-tiba mereka sudah berada di depan sebuah rumah. Nate mengernyitkan dahi karena ia mengenali rumah orang tuanya di Brighton. Hanya saja, di halamannya terdapat banyak tanaman yang seingat Nate seharusnya sudah dipangkas sejak ia masih SMP. Nate mulai merasa ada yang tidak beres saat melihat sepeda roda empat milik Annie di halaman rumahnya.

"Sepeda itu kan milik kakakku waktu dia masih kecil. Dad sudah membuangnya sejak lama. Kenapa benda itu masih ada di sana?" tanya Nate akhirnya.

Anak itu tidak menjawab dan hanya menunjuk sebuah mobil yang melintas dan berhenti di depan rumah. Nate mengawasi pintu depan yang terbuka. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Annie kecil keluar dari dalam rumah dan berlari menuju mobil tadi. Tak lama kemudian terdengar suara tangis dari dalam rumah disusul seorang gadis kecil berusia empat tahun yang muncul di pintu.

"Aku mau ikut! Aku mau ikut melihat binatang!"

"Tillie, kau masih kecil. Kalau kau ikut nanti kau merepotkan. Kau di rumah saja bersama Mom, ya. Nanti kita naik sepeda ke taman."

"Aku mau ikut Annie! Aku mau melihat beruang!"

Nate meremas tangan anak laki-laki yang ada di dalam genggamannya. Rasa nyeri di dadanya membuatnya tercekat. Kenapa dia harus diingatkan oleh kejadian seperti itu?

Pintu mobil tadi terbuka. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun turun dari mobil. Anak itu begitu mirip dengan anak laki-laki di samping Nate. Nate mengawasinya yang berlari menghampiri Mom.

"Biarkan Tillie ikut. Aku yang akan menjaganya nanti," kata anak laki-laki itu seraya menggandeng tangan gadis kecil yang kini mengikutinya ke arah mobil sambil tersenyum lebar. "Kau mau lihat apa nanti? Beruang? Gajah? Di sana ada penguin juga, lho!"

Nate menoleh ketika anak laki-laki di sampingnya kembali menarik tangannya dan membawanya ke samping rumah. Nate bisa melihat dirinya sendiri—yang kali ini seusia anak laki-laki yang turun dari mobil tadi—sedang duduk di bawah pohon sambil membaca sebuah komik. Tak lama kemudian seorang laki-laki menghampirinya sambil membawa setumpuk novel dan duduk di sampingnya. Ada desir aneh di dada Nate saat mengenali laki-laki itu—hanya saja dia lebih muda dari pria yang selama ini Nate kenal.

Nothing Better (Than You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang