DUA PULUH SEMBILAN

1.5K 122 13
                                    

Nate bercermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya baik-baik saja. Wajahnya tidak lagi pucat walau kantung matanya jelas terlihat akibat kurang tidur dan menangis setiap malam. Semoga saja tidak ada rumor macam-macam mengenai dirinya karena selama tujuh hari tidak muncul di kantor.

Nate keluar dari kamar sambil menenteng tasnya. Ia hendak berpamitan pada Julian, tetapi pria itu tidak terlihat di ruang tengah maupun di dapur. Ke mana dia?

"...saya belum bisa berangkat ke sana."

Langkah Nate terhenti saat mendengar suara Julian dari teras. Sepertinya Julian sedang berbicara di telepon.

"Ya, kami baru saja kehilangan bayi kami. Jadi, saya masih harus menemani istri saya hingga pulih," lanjut Julian, membuat Nate termangu di tempatnya berdiri. "Baik, saya akan memberi kabar lagi nanti. Terima kasih atas pengertiannya."

Begitu Julian mengakhiri teleponnya, Nate menghampirinya seolah ia tidak mendengar apa-apa.

"Berangkat sekarang?" tanya Julian sambil menyimpan ponselnya di saku celana. "Ada hal yang harus kuurus, jadi aku juga akan mengantarmu sampai ke kantor."

Sepanjang perjalanan Nate berkali-kali melirik Julian yang sedang mengemudi dengan perasaan bersalah. Julian sudah lama memberi tahu mengenai rencananya ke Stockholm, tetapi pria itu tidak kunjung pergi karena dirinya. Yang bisa Nate pastikan adalah ia tidak akan ikut pergi karena Julian tidak pernah bertanya atau meminta padanya.

"Kau bisa pergi kalau kau mau," kata Nate akhirnya. Julian meliriknya.

"Ke mana?" tanya Julian.

"Stockholm," jawab Nate. "Maaf, aku mendengar pembicaraanmu tadi. Kau sudah terlalu lama menunda kepindahanmu. Kau bisa pergi, aku baik-baik saja di sini. Pekerjaanmu lebih penting, aku tidak ingin kau tertahan di sini karena aku."

Julian tidak menyahut. Nate memikirkan ulang ucapannya pada Julian barusan. Ia tidak yakin ia mengatakan hal yang benar. Terlebih lagi, Nate tidak yakin ia menginginkan Julian pergi tanpa dirinya.

Mereka tidak saling bicara hingga mereka tiba di kantor Nate. Bahkan Julian langsung melaju pergi setelah Nate turun dari mobilnya. Tentu saja, memangnya apa yang Nate harapkan? Kecupan dan ucapan selamat bekerja seperti biasa?

Nate pergi ke ruangannya dan langsung menyalakan komputer untuk memeriksa pekerjaannya yang tertinggal. Ia merasa tidak enak pada Penny setelah melihat banyaknya permintaan daftar harga dan pesanan di emailnya. Nate segera pergi ke lantai dua untuk menemui Penny. Gadis itu sedang menikmati segelas kopi di mejanya bersama Layla. Keduanya menoleh begitu melihat Nate dari kejauhan.

"Nate! Akhirnya kau datang juga!"

Nate tersenyum ke arah Penny yang menghambur ke arahnya bersama Layla. "Maaf aku meninggalkanmu dengan banyak pekerjaan."

"Siapa yang memikirkan soal itu? Aku cukup pro untuk mengerjakan sebuah proyek sendirian," balas Penny.

"Jadi bantuanku tidak kau anggap?" protes Layla.

"Itu kan proyekmu. Tentu saja kau harus ikut membantu," balas Penny. "Oh ya, Nate. Kami turut menyesal mendengar perihal bayimu."

Nate memandang Penny dan Layla dengan bingung. "Bagaimana kalian..."

"Waktu itu aku menghubungimu karena kau tidak datang ke kantor. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja setelah kau hampir pingsan saat kita pergi kunjungan ke klienku. Lalu kakakmu menjawab teleponku dan memberi tahuku bahwa kau dirawat di rumah sakit karena kehilangan bayimu," tutur Layla. "Kami ingin sekali menjengukmu, tapi kakakmu menolaknya dan mengatakan kau harus beristirahat."

Nothing Better (Than You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang