Bagian 37

16.3K 3K 515
                                    

"Papah..."

Hana terdiam mendengar satu kata yang keluar dari mulut Hyunjin. Hanya karena satu kata itu, pikirannya melayang jauh. Bayang-bayang wajah sang Papa yang buram, wajah nya tak terlalu jelas. Ingatannya kabur-kabur jika mengingat wajah kedua orang-tua nya.

Tapi ia akhirnya mengingat kembali, ia bisa membayangkan jelas wajah kedua orang-tua nya. Ia ingat betul mimpi itu. Kedua orang-tua nya yang tampan dan cantik. Senyuman hangat seperti diri nya, suara Mama Wendy yang begitu lembut menyapa indra pendengarannya. Berbanding terbalik dengan suara Papa Taeyong yang tegas dan berat.

Hana bisa mengingat jelas wajah kedua orang-tua nya berkat mimpi itu.

"Peluk aja, selagi bokap lo masih ada," sahut Hana di antara keheningan mereka berdua.

Hyunjin menghela nafas." Tapi gue malu."

Hana tersenyum simpul atas jawaban Hyunjin." Kalo hati nurani lo pengen meluk bokap lo, peluk aja. Gue juga pengen meluk bokap nyokap gue, tapi ya gak bakalan bisa."

Kali ini Hyunjin diam. Ia baru ingat jika Hana yatim piatu. Topik ini pasti sangat sensitif bagi Hana.

"Ortu lo meninggal gara-gara apa emang?" Tanya Hyunjin penasaran, karena dari dulu ia tak pernah mendengar apa-apa tentang orang tua Hana.

Mata Hana yang tadinya menatap Hyunjin pun langsung ia alihkan menatap langit biru pucat itu. Matanya menatap lurus, tak bergerak sedikitpun.

"Gara-gara kecelakaaan."

Hyunjin terus memandang wajah Hana dari samping. Wajah simetris, terlalu sempurna. Hidung mancung mulus seperti perosotan, bulu mata lentik dan panjang, bibir yanh tidak terlalu merah, lebih ke arah pink pucat. Manusia paling sempurna.

Hyunjin merasa Hana ini mirip dengan seseorang, tapi siapa?

Hyunjin langsung mengedip-ngedipkan mata nya beberapa kali dan langsung membuang muka begitu ia sadar bahwa ia memandangi Hana terlalu lama.

"Pasti nyokap lo cantik." Hyunjin kembali memandangi Hana dari samping, matanya selalu ingin memandangi wajah Hana.

"Iya, cantik," jawab Hana masih tak sadar jika Hyunjin menatapnya.

"Soalnya lo juga cantik," sambung Hyunjin.

Sontak Hana menoleh, bukan menoleh kaget atau malu. Raut wajahnya tak berubah, ia hanya menoleh. Tak ada semu merah sedikitpun pertanda malu, Hana hanya terkekeh pelan dan kembali memandangi langit biru itu.

"Lo pasti kangen sama ortu lo, ya?"

Hana mengangguk pelan sambil melipat bibir nya kedalam dan tersenyum." Banget malah."

Hyunjin hanya menganggukkan kepalanya, tak tau lagi apa yang harus ia lakukan atau ia bicarakan.

"Gak ada yang mau lo ceritain ke gue?" Tanya Hyunjin mencoba menyuruh Hana untuk bercerita. Hyunjin tau jika Hana menanggung banyak beban selama ini, dan ia tau jika Hyunjin adalah beban terberat bagi Hana.

Hana menatap Hyunjin dan menggelengkan kepala nya." Enggak ada."

Hyunjin diam sejenak." Lo emang gini?"

Hana mengangkat kedua alisnya tak mengerti.
"Gini? Gue kenapa?"

"Gak mau nyeritain masalah lo," jawab Hyunjin.

"Gue emang gak punya masalah kok."

"Gue tau lo punya masalah, jangan tanggung sendiri Na. Mulai sekarang lo bisa cur-"

"Ngapain curhat kalo gue bisa mendem semuanya?"

Ucapan Hana barusan membuat Hyunjin bungkam. Wajah gadis itu seperti tak dipenuhi dosa, wajah Hana seperti gadis remaja pada umumnya, padahal begitu banyak masalah berdatangan, beban dan tanggung jawab yang ia tanggung. Hyunjin dibuat tak bisa berkata-kata lagi.

Ia kira kemarin ia sudah tau segala kehidupan Hana, tapi sekarang ia merasa orang yang paling tidak tau apa-apa tentang Hana.

"Na, lo tau kan warna nya pelangi, gimana?" Tanya Hyunjin. Tatapan sangat dalam dan penuh arti, tatapannya terus terjatuh makin dalam saat manik cokelat itu balik menatapnya.

"Tau. Warna warni," jawab Hana enteng.

"Gue pengen jadi pelangi buat lo."

Mendadak jantungnya terhenti, tatapan matanya terkunci oleh mata hitam legam milik Hyunjin. Matanya hanya bisa menatap wajah Hyunjin dengan jarak yang sangat dekat, rambut Hyunjin yang kerap diterpa angin. Tiba-tiba waktu terasa sangat lambat, waktu serasa terhenti begitu saja. Matanya tak bisa berkedip barang sedetik pun, pikirannya mendadak blank.

Hyunjin terus menatap nya makin intens menunggu jawaban Hana.

Hana memutuskan kontak mata nya segera dan kembali menatap langit biru. Sebisa mungkin ia bersikap tenang.

"Lo tau gak ada kata-kata kayak gini. Jika tidak ingin mewarnai hidupku, tolong jangan hilangkan warna asliku."





















Deggg

























"Tapi gue beneran pengen jadi pelangi buat lo."

Hana terdiam. Ia tak melihat celah kebohongan pun di mata Hyunjin. Mata nya terlalu berbinar untuk satu kebohongan. Hyunjin benar-benar tidak berbohong.

"Mmm, lebih baik gak usah deh."

"Kenapa?" Hyunjin mengerutkan kedua alis nya. Ia bingung sekaligus kurang terima.

"Karena gue cuman hujan yang sementara."

Dan bertepatan dengan itu, Bel berbunyi dan membuat pandangan mereka terputus. Hana berdiri terlebih dahulu, namun pergelangan tangannya di tarik lembut oleh Hyunjin sehingga badannya berbalik sempurna.

"Gue cuman pengen ini bentar." Hyunjin mendekap Hana makin dalam, sedalam-dalamnya, se-erat-erat nya sebelum mereka balik ke kelas.

Hana diam mematung dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. Gadis itu tak bereaksi apapun, gadis itu terlalu shock. Tak ia tunjukkan reaksi apapun selama satu menit, sampai akhirnya entah ada apa dengan pikirannya, Hana balas memeluk Hyunjin dan mengusap-usap punggung lebar pemuda tersebut.

Hyunjin makin mempererat pelukannya. Kepala nya ia benamkan di pundak Hana. Rambut Hana tak mengusik wajah Hyunjin sekalipun.

"Udah, ayok balik ke kelas." Hana melepaskan pelukan mereka setelah tiga menit berpelukan.

Hyunjin yang masih menggenggam tangan Hana mulai terlepas karena Hana berjalan duluan. Hyunjin pun akhirnya melangkahkan kaki nya dan berjalan mendahului Hana.

























Tesss


























Mendadak langkah nya terhenti. Hyunjin yang mendengar suara langkah terhenti pun ikut menghentikkan langkahnya. Badannya ia balikkan menghadap Hana yang berjarak lumayan jauh. Tapi ia tak melihat wajah Hana, melainkan punggung gadis itu yang membelakangi nya.

"Han? Kenapa?" Tanya Hyunjin sambil mendekati Hana yang membelakangi nya.

Hyunjin menepuk pundak Hana, namun Hana langsung menepis nya.

"Lo kenapa?" Tanya Hyunjin, kini ia berada tepat di depan Hana dan bisa ia lihat jelas Hana yang menutupi mulut dan hidung nya dengan kedua tangannya.

Hyunjin mengerutkan dahi nya spontan.

"Lo duluan aja, gue belakangan."

Lagi-lagi Hyunjin mengerutkan alis nya.

"Lo mimisan?"












































Sekali-kali ya gue bikin Hyunjin jadi romantis.

Klean tau gak? Klo klian komen tangan gua makin gatel buat publish:)

Bully You | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang