Rangga -45-

231 16 2
                                    

Sudah hampir dua minggu sejak Rangga dinyatakan koma, dan selama hampir dua minggu itu pula Vita selalu datang berkunjung.

Seperti janjinya pada Rangga dulu. Dia akan selalu berada di samping lelaki itu dan tidak akan membiarkannya kesepian.

Saat ini dia sedang menunggu di luar, memandang lelaki itu dari balik kaca jendela. Tanpa dia sadari air matanya menetes.

Sudah hampir dua minggu Rangga koma, dan kondisi lelaki itu tidak juga menunjukkan peningkatan. Vita menghapus air matanya, dia tidak boleh menangis, setidaknya jangan di depan Rangga. Lelaki itu tidak suka melihatnya menangis.

Dada Vita sesak kala dia mengingat perhatian yang pernah Rangga berikan padanya. Dan sekarang dia merindukan perhatian itu. Dia merindukan lelaki yang memberikan perhatian itu.

Vita Rindu Rangga.

Vita rindu senyum lembut lelaki itu. Dia rindu usapan lembut Rangga di puncak kepalanya. Dia rindu tawa kecil juga kekehan lelaki itu.

Dan yang paling dia rindukan adalah pelukkan hangatnya.

Vita sangat merindukan kenyamanan saat dia berada di dekapan lelaki itu dan sekarang dia menyesal karena pernah menolaknya waktu itu.

Apa dia masih punya kesempatan untuk dipeluk oleh Rangga?

Apa dia masih bisa merasakan hangat dan nyamannya pelukkan itu?

Namun bagaimana jika dia tidak memiliki kesempatan itu?

Bagaimana jika semua itu hanya akan menjadi sebuah angan?

Bagaimana jika Rangga memilih untuk pergi dan enggan untuk kembali?

Vita menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran negatif yang sempat hinggap di benaknya.

Sementara itu di dalam ruang ICU terlihat Tama sedang menggenggam tangan kiri Rangga yang terpasang selang infus. Pria itu terlihat putus asa. Dia terus menatap Rangga dengan tatapan menyesal.

"Rangga, maafin ayah," ucap Tama lirih, ada rasa sesak saat dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah.

Ingatan dan kilas balik saat dia mengatakan hal buruk pada Rangga karena memanggilnya ayah muncul tanpa diminta, berputar-putar bagai kaset kusut dan tak mampu dia hentikan.

"Bangun, Nak. Kalau Rangga bangun, nanti ayah akan turuti semua keinginan Rangga. Rangga boleh kok panggil ayah dengan sebutan ayah."

Wajah Tama sendu saat dia tidak mendengar jawaban dari putra bungsunya. Dia semakin mengeratkan genggamannya.

"Rangga, ayah mohon bangun, Nak. Jangan siksa ayah seperti ini. Ayah tahu ayah salah, maka dari itu izinkan ayah menebus kesalahan ayah. Ayah rela kamu benci, asal kamu bangun. Ayah enggak sanggup lihat kamu seperti ini, hati ayah sakit," ujar Tama dengan suara bergetar, dia mencium punggung tangan Rangga dan meninggalkan beberapa tetes air mata di sana.

Ya, Tama menangis.

Dia menangis tanpa suara.

Dave yang berada di samping Tama tak kuasa untuk tidak menepuk lembut punggung Tama yang bergetar.

Dia tahu apa yang ayahnya rasakan, karena dia pun merasakan hal yang sama.

Mereka sama-sama merasa bersalah dan menyesal.

Perasaan itu begitu menyiksanya, membuatnya nyaris gila.

Tama sudah tidak dapat membendung kesedihannya, dia bangkit dari duduknya dan bergegas pergi. Dia tidak sanggup melihat keadaan Rangga yang terlihat sangat menyedihkan. Dia sudah tidak kuat, hatinya terlalu perih untuk terus berada di sana.

HIM (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang