Tujuh Belas

96 14 2
                                    

Setelah mengantarkan Vita pulang ke rumahnya, Rangga pun bergegas pulang ke kediamannya.

Rangga mengayuh sepedanya dengan kecepatan normal, otaknya masih memikirkan perkataan Vita yang tidak sepenuhnya salah.

Perkataan Vita ada benarnya.

Rangga merasa bahwa apa yang dikatakan oleh gadis itu ada benarnya, seharusnya ia mengambil kesempatan itu untuk menunjukkan pada seseorang bahwa ia juga bisa dibanggakan.

Namun Rangga ragu jika ayahnya akan bangga, mengingat pria itu tidak pernah sekalipun memuji dirinya. Yang keluar dari mulut ayahnya hanya makian dan hinaan.

Ayahnya selalu mengatakan bahwa ia tidak berguna dan selalu merepotkan, bahkan ayahnya sering bertanya kapan ia mati agar hidupnya bisa lebih tenang.

Pria itu juga sering membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya.

Rangga tidak pernah iri dengan kakaknya yang mendapat kasih sayang lebih dari ayahnya, hanya saja ia pun ingin merasakan bagaimana rasanya berada di posisi kakaknya itu. Disayangi oleh orang yang ia sayang.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan angin malam yang terasa dingin hingga menusuk tulang, Rangga akhirnya sampai di pelataran rumahnya.

Rangga memarkirkan sepedanya di garasi, di samping motor sport kakaknya yang berada tidak jauh dari mobil ayahnya.

Dengan begitu Rangga tahu bahwa ayahnya ada di rumah, ayahnya memang jarang pulang, pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Dan sekalinya pulang dia ... sudahlah Rangga tidak ingin menjelaskan lebih detail, ia merasa tidak perlu.

Rangga membuka pintu rumahnya lalu melangkahkan kakinya masuk.

Ketika kakinya sampai di ruang tamu, ia sudah disuguhkan dengan pemandangan yang tidak layak ia lihat.

Di sana ayahnya sedang asik mencumbui seorang wanita muda yang cantik. Wanita berbeda dari wanita yang terakhir kali Rangga lihat.

Ya, ayahnya sering membawa wanita muda ke rumahnya saat pria itu pulang. Meskipun tidak setiap saat tetapi pria itu sering melakukannya.

Dan hal itu juga yang menyebabkan ibunya pergi meninggalkan ia dan kakanya tanpa jejak.

Rangga menghela napas berat.

Mendadak udara di sekitarnya menjadi hampa, dia merasa sesak setiap kali mengingat ibunya.

Merasa ada kehadiran orang lain, membuat Tama merasa terganggu. Ia menghentikan cumbuannya dan menoleh ke arah Rangga yang sedang berdiri mematung di tempatnya.

"Apakah kau akan tetap di sana dan menyaksikanku bercinta?" sarkas Tama. Rangga tersentak dari lamunan pendeknya dan akan melanjutkan lakahnya jika saja wanita yang di bawa ayahnya itu tidak bersuara.

"Biarkan saja, sayang. Mungkin dia ingin bergabung dengan kita, kulihat dia tampan juga," kata wanita itu seduktif.

Tama menggeleng kuat. "Tidak! Aku tidak sudi berbagi kau dengannya. Lagi pula aku tidak yakin dia biasa memuaskanmu. Dan lagi, apa kau tidak yakin dengan kemampuanku?" tolak Tama dengan tegas, kilat matanya penuh dengan emosi.

Sang wanita pun hanya terkekeh.

Tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang paling ia benci, Rangga pun memilih untuk meninggalkan dua orang berbeda gender itu di ruang tamu dan menuju kamarnya.

Saat kakinya menaiki anak tangga terakhir, tanpa sengaja ia melihat kakanya berdiri di samping pintu masuk kamarnya. Dia menatap datar Rangga lalu masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata apa-apa.

HIM (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang