Rangga -39-

83 14 2
                                    

Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa hubungan antara Vita dan Rangga sudah terjalin selama satu bulan.

Rencananya mereka akan merayakan hari bahagia itu dengan menghabiskan satu hari penuh bersama; berjalan-jalan, menciptakan momen-momen indah berdua dengan sukacita.

Rangga sudah siap dengan setelannya. Merasa sudah rapi, Rangga pun bergegas pergi. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir saat ia mendengar seseorang menyebut namanya dengan penuh kebencian.

Raut sukacita dan bahagia di wajahnya perlahan melayu dan luntur. Rangga tahu, bahkan dirinya hafal betul siapa pemilik suara itu. Lagi-lagi dia kalah, lagi-lagi dia didorong untuk menyerah.

Dia kalah karena tak mampu menahan rasa perih di hatinya, ia selalu didorong untuk menyerah dengan luka-luka yang terus ditambah setiap detiknya.

Rangga tidak berdaya saat dihadapkan dengan kebencian sang ayah.

Kali ini dia mendengar suara wanita yang cukup akrab di telinganya, meski samar dan lirih, tetapi Rangga cukup yakin mengenalnya.

Di ruang tamu, Niken dan Tama sedang beradu argumen dan cekcok, sedangkan Dave menyaksikannya dengan tatapan datar.

"Ano maafin Bunda, Nak." Niken berucap lirih, Air matanya mengalir dari sepasang netra yang memiliki sorot penuh dengan kerinduan, penyesalan, lelah dan keputusasaan.

Dave diam tak menggubris, sakit hati akibat ditinggalkan saat ia kecil sudah mematikan hatinya. Dave yang periang dan lembut sudah hilang bersama dengan kepergian ibunya.

Luka itu membekas dan terukir begitu dalam di hatinya, sulit untuk di sembuhkan, bahkan untuk disamarkan sekalipun.

Dave tidak membenci Niken, tetapi dia juga tidak bisa menerimanya.
Wanita itu sudah terasa begitu asing di matanya, juga di hidupnya.

Hatinya sudah terlalu lapuk untuk mengingat siapa wanita itu di hidupnya dan hanya meninggalkan perasaan asing yang begitu kental.

Berbeda dengan Dave yang merespons dengan datar dan acuh tak acuh, Tama menggelap dalam amarah. Tetapi ekspresi yang terlihat di wajah pria itu bukan raut wajah penuh emosi, melainkan senyum penuh ejekan.

"Bunda? Apa kau becanda? Lihatlah siapa dirimu! Apa kau pantas dipanggil bunda? Apa kau layak menerima itu?" ejek Tama sarkas.

Niken terdiam dalam ironi, kata-kata yang coba ia keluarkan ia telan kembali.

"Bunda? Apa dia ibuku?"

Mendengar pertanyaan itu, sontak semua orang yang berada di tempat menoleh ke arah Rangga.

Ekspresi mereka beragam. Dave sedikit terkejut, Niken dengan raut rumit; bahagia, kerinduan, menyesal serta bersalah menjadi satu, serta Tama yang semakin melebarkan seringainya.

"Baguslah kalau kau ada di sini, aku bisa mengungkapkan kebenaran yang sudah terlalu lama muak kusimpan."

Perasaan Dave dan Niken rumit, Dave mengira Rangga tidak berada di rumah. Dari yang Dave tahu, setiap tanggal merah, Rangga selalu pergi di waktu masih pagi. Meski dia tidak tahu ke mana Rangga pergi.

Sedangkan Niken, dia merasa bingung, dia sangat ingin memberi tahu siapa dirinya pada Rangga, namun dia takut, dia terlalu takut untuk menerima penolakkan seperti apa yang Dave lakukan.

"Ayah!" Dave memberi sinyal peringatan pada ayahnya, tetapi pria itu memilih abai.

"Kau selalu bertanya padaku alasan kenapa aku membencimu, bukan? Baiklah, kali ini kau beruntung, saat ini suasana hatiku sedang baik, maka aku akan memberitahumu. Bagaimana? Apa kau senang? Tapi sebelumnya biar aku ceritakan sebuah dongeng, bukankah kau selalu mememinta itu waktu kau kecil?"

Mengetahui ayahnya tak menggubris peringatannya, Dave merasa lemas dan putus asa.

"Baik, aku akan memulai dongengennya, jadi pastikan telingamu terpasang dengan benar dan dengar baik-baik dongengku ini, aku jamin kau akan menyukainnya." Tama tersenyum tipis, lalu mulai berdongeng.

"Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga dengan satu anak lelaki yang menggemaskan, meraka hidup penuh dengan kebahagiaan dan sukacita, namun momen itu tidak bertahan lama. Malam itu, saat udara begitu dingin dan kelam. Seorang pencuri datang dan mengambil hal yang paling penting di rumah itu dan meninggalkan hal paling buruk."

Tama menoleh dan menatap Rangga, lalu bertanya, "Apa kau tahu apa yang pencuri itu curi? Dan apa kau tahu apa yang ia tinggalkan?"

Rangga diam, tetapi jantungnya berdegup kencang. Meski samar Rangga sedikitnya mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir. Mendadak perasaannya menjadi sangat sesak.

Terkekeh, Tama mengulas senyum tipis, tampak tenang. "Pencuri itu mencuri kebahagian dan meninggalkan kebencian. Satu lagi, dia juga meninggalkan 'beban'."

"Ayah cukup!" Dave hendak bangkit dari sofa namun ditahan oleh Tama dengan isyarat tangannya.

"Aku belum selesai, kau sebaiknya tidak mencelaku!" sentak Tama.

Kemudian dia melirik ke arah Rangga. "Apa kau ingin tahu siapa keluarga itu? Siapa pencuri itu dan apa 'beban' itu?"

"Tama! Berhenti berbicara omong kosong!" Niken berbicara lantang namun tak dapat menyembunyikan sedikit getaran dalam suaranya.

Bersikap tak acuh, Tama tak mengindahkan perkataan Niken dan masih setia menatap Rangga. "Jadi, apa kau ingin tahu?"

Bergeming, Rangga tidak mengangguk atau menggeleng. Dia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari Tama. Sudut bibir Tama terangkat, senyumnya semakin lebar.

"Baik, sepertinya kau terlalu bahagia mendengar dongengku, sampai-sampai kau terkesima dan kehilangan seluruh kata-katamu. Tapi tidak apa-apa, aku mengerti. Dan sekarang biar kuberitahu kau sebuah kebenaran, tentu kau pasti akan menyukainya. Akan kuberi tahu tentang keluarga bahagia yang hancur itu, dan keluarga itu adalah keluarga Pangestu, keluargaku sendiri. Adapun pencuri itu adalah ayahmu dan 'beban' itu sendiri adalah kau, anak haram dari hubungan si pencuri dan istriku." Tama berujar dengan tenang seakan-akan sesuatu yang dikatakannya adalah hal biasa.

Dave memejamkan matanya, dan mengatur napasnya. Entah mengapa ia merasa begitu sesak. Apa karena masa lalu yang coba untuk ia kubur dalam-dalam kembali diungkit, atau karena dia tak mampu melihat raut wajah Rangga.

Sedangkan Niken merasa putus asa, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia merasa buntu.

Adapun Rangga, dia diam, tak ada ekspresi berarti di raut wajahnya selain netra yang memandang kosong. Dia tidak menangis, tidak marah atau sedih, ekspresinya benar-benar datar.

Jujur, Rangga merasa terpukul saat ia mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Tama. Dia merasa hancur, seolah raganya tak bernyawa dan jiwanya dicabut paksa.

Sekarang ia mengerti, ia paham kenapa ia tidak pernah menang dan dipaksa menyerah, ia tahu kenapa. Kerena dari awal ia sudah kalah dan takkan pernah punya kesempatan untuk menang.

Semua rasa kecewa, sedih, perih dan luka-luka lain, hancur di dalam hatinya, membuat ia merasa sulit untuk mengekspresikan rasa itu di wajahnya. Hatinya sudah hancur tak tersisa, lubang dan retakan yang semula menghiasi hatinya sudah remuk tak bersisa, hingga menghasilkan rasa kosong dan hampa.

Di sisi lain Tama merasa aneh, ia tidak merasa bahagia seperti ekspetasinya, tetapi dia juga tidak menyesal karena memberitahu kebenaran pahit yang selama ini ia simpan, meskipun sedikit ada rasa sesal, namun sebisa mungkin ia buang jauh-jauh.

Dan mereka bertiga hanya bisa memandang Rangga yang pergi dengan tatapan hampa.

Tbc...

Jangan lupa vote dan komen.

Maafkan typo bertebaran.

Rizstor37.

01 Desember 2020.

HIM (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang