Rangga -38-

85 12 0
                                    

Hujan menjadi penyambut awal pagi di hari Selasa. Rintiknya ringan namun konstan.

Air yang jatuh dari langit itu membasahi tanah dan jalan, mengisi permukaan yang tak rata dan menciptakan kubangan.

Di bahu jalan, tepatnya di depan halte bus Rangga sedang berlindung dari tetesan air hujan. Seragam yang pemuda itu kenakan sedikit basah, tanda bahwa dia sempat tertimpa air hujan sebelum dia sempat berlindung.

Cuaca memang sulit untuk diprediksi. Pagi itu cuaca baik-baik saja, seperti tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Namun siapa sangka bahwa cuaca dapat berganti dengan cepat dan tanpa aba-aba. Rangga sendiri pun tak menyangka, dia tak mengira bahwa akan ada air yang jatuh dari langit di tengah-tengah perjalanannya menuju sekolah, mengingat sebelum dia berangkat langit begitu cerah.

Rangga mendongak, memandang ke arah langit mendung yang kelam. Dia menghela napas gusar. Beberapa menit lagi bel masuk berdentang dan dia masih terjebak di tengah hujan.

Melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, Rangga mendesah pasrah. Menerobos pun tak ada gunanya, pakaiannya akan basah. Dia tidak mungkin mengikuti pelajaran dengan seragam yang basah.

Selain tidak nyaman, dia juga akan kedinginan dan berakhir dengan demam.

Dalam benaknya tebersit untuk membolos. Keadaan tak memungkinkan dia untuk pergi.

Di tengah-tengah keputusasaannya, mobil berwarna hitam metalik berhenti di depannya. Jendela mobil itu perlahan turun dan menampilkan wajah wanita paruh baya yang tersenyum ramah.

Sedikit tertegun, Rangga berpikir sejenak. Dia merasa tak asing dengan wajah wanita itu. Hingga ingatannya bergulir pada kejadian di depan kafe tempat ia bekerja.

Rangga ingat, jika wanita yang tengah tersenyum ramah ini adalah wanita yang sama dengan wanita yang mengaku sebagai penggemarnya. Saat itu Rangga benar-benar bingung dan terkejut.

Bingung karena tiba-tiba seseorang yang tidak ia kenal memanggil namanya. terkejut saat orang itu mengaku sebagai penggemarnya.

Dan Rangga bertanya-tanya, bagaimana wanita itu bisa mengenalnya. Mengingat selama dia tampil, dia tak pernah absen untuk memakai topeng dan beberapa kali juga turut mengganti pakaiannya sebelum dan seusai tampil.

"Nak, apa kamu ingin berangkat ke sekolah?" Suara wanita itu menyadarkan Rangga dari lamunan pendeknya.

Rangga mengangguk ringan. Wanita itu tersenyum lembut dan berkata, "Kalau kamu mau, kamu bisa pergi bersamaku."

Rangga berpikir sejenak, ada kilat keraguan di wajahnya, dan itu tidak lepas dari pandangan wanita itu. "Aku tak memaksa, tapi aku akan sangat bahagia jika kamu mau menerima tawaranku," lanjutnya setelah melihat raut keraguan di wajah Rangga.

Dilema, Rangga bingung, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin pergi ke sekolah dan belajar, tetapi hujan menghambatnya. Dia tidak mungkin menggunakan sepedanya karena bisa saja ia kehujanan dan sakit. Dia ingin sekolah, namun untuk menerima tawaran dari orang yang tidak dikenalnya bukan pilihan yang tepat. Bagaimanapun wanita itu masih asing untuknya.

Lagi pula jika dia menerima tawaran itu, maka bagaimana nasib sepedanya? Sepedanya bukan sepeda mahal yang bisa dilipat dan mudah untuk diletakkan di mana saja. Sepedanya itu sepeda onthel yang memerlukan banyak ruang, tidak akan muat jika itu dimasukkan ke dalam mobil berukuran sedang milik wanita itu.

"Maaf, saya tidak bisa."

"Kenapa?" Ada sendu di wajah wanita itu dan Rangga merasa tak tega.

"Saya membawa sepeda, jadi sangat tidak mungkin jika saya meninggalkannya di sini dan ikut denganmu." Rangga menjawab dengan hati-hati. Dia tidak ingin wanita yang bermaksud baik terhadapnya merasa tersinggung.

HIM (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang