Sepuluh

125 21 1
                                    

Ruangan itu sunyi, keduanya sama-sama tidak membuka suara. Entah sejak kapan suasana canggung itu tercipta dan kian mengental, yang jelas mereka bingung harus memulai pembicaraan dari mana.

Terlebih Vita, cewek itu tidak suka suasana canggung seperti ini. Dia tidak suka suasana yang kaku.

"Lo udah baikan? Mana yang sakit? Maaf gue nggak bisa nemenin lo sampe lo siuman."

Rangga yang sedari tadi menatap kosong langit-langit kamar rawat inapnya kini beralih melirik Vita yang berada di sampingnya.

Dia menatap lurus manik Vita lalu tersenyum lembut. "Enggak apa-apa, aku ngerti kok. Aku tahu kalau kamu pasti punya kepentingan lain. Jadi jangan minta maaf, karena kamu enggak salah."

Vita mengangguk pelan lalu tersenyum.

"Lo sebenernya kenapa? Enggak biasanya lo ngelawan mereka. Apa mereka ngelakuin hal keterlaluan sama lo?" tanya Vita cemas, ia menatap Rangga khawatir.

Vita memang datang sedikit terlambat, dia berada di sana saat Reno mencengkram kerah kemeja Rangga. Saat Rangga berteriak dalam cengkraman tangan preman sekolah.

Rangga tersenyum pahit, ia kembali menatap kosong langit-langit kamar rawat inapnya. Ia seperti menerawang.

"Kenapa, Ga? Lo bisa cerita sama gue," ucap Vita lembut.

Namun Rangga tetap bergeming, ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya.

Seketika Vita teringat dengan perkataan Angle kemarin malam. Apa yang diucapkan sahabatnya itu benar. Saat ini mungkin Rangga tengah krisis dalam hal mempercayai orang lain. Vita rasa itu adalah penyebab utama cowok itu memilih diam dan memendam seluruh perasaannya daripada membaginya dengan orang lain.

"Ga, gue tahu saat ini lo enggak dalam keadaan baik-baik aja. Gue tahu hati lo terluka. Perasaan lo juga ikut menderita. Gue juga tahu kenapa lo diam dan enggak mau cerita. Gue tahu.

"Lo belum percaya sama gue, itu sebabnya lo nggak mau membagi apa yang lo rasa ke gue. Oke, gue enggak akan maksa lo buat cerita. Tapi jika suatu saat nanti. Saat di mana lo udah mulai mempercayai gue, saat di mana lo udah lelah nyimpen semuanya sendirian. Lo bisa dateng ke gue, lo bisa cerita apa pun ke gue. Semuanya. Penderitaan lo, luka lo atau rasa sakit lainnya. Lo bisa membagi itu semua sama gue." Vita berujar lembut. Matanya menatap hangat wajah tenang Rangga.

Perkataan Vita mampu menarik atensinya. Ia menoleh sekilas ke arah Vita lalu memejamkan matanya.

"Aku lelah," lirih Rangga.

Vita diam ia tahu bahwa cowok itu belum selesai dengan perkataannya.

"Aku lelah menjadi orang yang lemah, aku jemu dengan perlakuan mereka yang seenaknya. Aku muak dengan keadaan di mana mereka selalu melimpahkan seluruh keburukan padaku. Aku tahu kalo aku jauh dari kata sempurna. Tapi apa aku pantas mendapatkan itu semua. Apa aku pantas?

"Terkadang aku heran dengan mereka. Kenapa mereka enggak ada capek-capeknya nge-bully aku. kenapa mereka bahagia sekali saat mem-bully-ku."

Rangga menghela napas lelah. Dia mencoba untuk menekan emosinya agar tidak semakin meluap-luap.

Sedangkan Vita hanya diam mendengarkan. Ia tahu apa yang diucapkan Rangga tidak memerlukan jawaban. Semua perkataan yang cowok itu lontarkan adalah ungkapan hati yang telah lama ia pendam. Dan perasaan itu kini meluap tak terbendung bersamaan dengan emosi yang meletup-letup.

"Aku sudah mencoba untuk menghiraukannya. Aku sudah bersikap cuek. Namun bukannya berkurang, mereka malah semakin menginjak-injakku. Mereka semakin menjadi dan bertambah kelewatan. Aku tidak tahan. Aku juga manusia biasa. Aku punya titik kesabaran. Aku punya amarah. Aku juga punya harga diri. Aku punya tanggung jawab akan diriku sendiri. Dan aku akan marah jika orang lain mengusiknya.

HIM (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang