Dua Puluh Sembilan : Gelap

84 6 3
                                    

Aku benci gelap...

****

Lantunan musik Jazz memenuhi Ballroom salah satu Hotel berbintang di Surabaya, meski suara musik mendominasi tetap saja obrolan para wanita hingga tawa mereka dapat terdengar. Tawa yang tertahan dengan sembari menutup mulut mereka menggunakan tangannya agar terlihat anggun nan sopan di pandang orang. Menjaga nama baik keluarga adalah salah satu tugas mereka terlahir dari keluarga terpandang. Tetapi dibalik pakaian mewah yang membalut dan sikap sopan nan anggun yang di tampilkan, tidak semua dari mereka mencerminkan sikap baik hati dan lemah lembut.

Seperti beberapa wanita yang Afsheen kenal di acara ini, sedari tadi mereka sibuk membahas berbagai macam hal yang dapat disimpulkan menjadi dua kata yaitu Pamer Kekayaan. Apa mereka tidak muak membahas hal seperti itu setiap bertemu, Afsheen saja yang mendengar untuk yang sekian kalinya ingin menulikan telinganya sesaat saja.

Salah satu dari mereka melirik ke Afsheen lalu memberikan tatapan sinis. Bisa Afsheen lihat dia tersenyum kepada teman disebelahnya lalu berucap yang kali ini tidak terdengar oleh Afsheen. Gaun merah panjang membalut dengan sempurna ditubuh dia yang ramping dan tinggi.

" Mungkin aku akan terpesona bila tidak mengetahui betapa pedas mulutnya itu." Afsheen merinding lalu mengalihkan tatapannya ke arah mama mertua nya yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

Ada wajah-wajah yang baru saja Afsheen kenali di kumpulan nyonya-nyonya konglomerat itu, terutama wajah yang selalu membuatnya ingin berpaling dan keluar dari ruangan yang menyesakan dada sedari Afsheen tiba. Dia adalah ibu dari Ardi Setiawan dan kakak kedua dari mertuanya, Retno Widuri Ningsih. Wanita ter-anggun setelah nenek Amalia yang pernah ia temui, wanita dengan tatapan yang tajam penuh misteri. Ketika mata itu bertemu dengan mata Afsheen, seolah-oleh mata itu menunjukan kebencian terhadapnya.

Setiap kali ikut Bagas atau Mayang menghadiri sebuah acara Afsheen sering sekali mendapatkan tatapan dan bisikan yang tidak mengenakan hati, semenjak itu ia sudah mulai terbiasa dengan tatapan seperti itu. Apalagi semua keluarga Bagas selalu menyemangatinya untuk terbiasa berada dilingkungan yang baru. Tapi ternyata tidak semuanya berlaku begitu kepada Afsheen, tidak dengan Widuri. Andai tatapan itu bukan dari salah satu keluarga Bagas ia akan dengan berani mengangkat dagu dengan tinggi dan menatap balik mata itu sambil menaikan alis nya.

Afsheen mencoba mengangkat dagunya, lalu tersenyum ke arah Widuri yang masih meliriknya tanpa sedikitpun menyunggingkan senyuman. Firasatnya yakin, Widuri membencinya. Apa karena Afsheen bukan dari keluarga kaya ? Apa karena itu juga tante Widuri tidak menghadiri pernikahan ia dan Bagas.

"Tidak bergabung dengan tante Mayang?" Tanya seorang wanita.

Afsheen tersenyum samar, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke tempat Mayang tetapi hanya sebentar saja. Ketika Widuri meliriknya, Afsheen bergegas mengalihkan pandangnnya. Dan itu disadari oleh Cintiya, tunangan dari Ardi.

Cintiya terkekeh pelan sambil melirik kursi kosong dihadapan Afsheen." Apa boleh?"

" Silakan." Ucap Afsheen.

"Biar aku tebak, apa ini ada hubungannya dengan tante Widuri?." Tanya Cintiya, sesudah duduk.

Afsheen mengerutkan alisnya," apa ini adalah salah satu kemampuanmu?"

"Kemampuanku?" Tanya Cintiya menaikan alisnya.

"Hmm, dukun."

Cintiya terkekeh pelan, kemudian mengambil minumannya lalu meneguknya sambil menikmati rasa menyegarkan air lemon yang mengalir didalam tenggorokannya tanpa melepaskan pandangannya untuk mengamati lawan bicaranya di depan. Wanita yang baru saja ia kenal, wanita yang menurutnya cukup menarik. Setidaknya ada hal yang menarik di acara yang membosankan ini.

Afsheen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang