Dua Puluh Empat : Deal

56 8 0
                                    

Pada akhirnya kewajiban tetaplah kewajiban, dan harus dilaksanakan...

****

Canggung, itu yang Afsheen rasakan saat ini. Duduk dengan menghadap kearah Bagas yang tengah lahap memakan bekal makan siangnya, terasa mendebarkan. Kami duduk di lantai yang beralaskan karpet nylon berwarna coklat muda, sesekali Bagas memandang kearah ku tepat saat itu juga aku akan membuang pandanganku ke arah lain. Pura-pura tidak memperhatikannya.

Sungguh memalukan.

Kenapa juga Ardi harus mengatakan semua itu tepat ketika ada aku.

Aku semakin gelisah ketika hormon adrenalin yang tiba-tiba berpacu mengakibatkan badanku terasa panas dan membuat jantungku semakain berdebar. Mataku memandang kearah AC yang menyala, lalu kembali kearah Bagas yang tepat saat itu juga sedang menatapku lagi.

"Ada apa?" Tanyaku dengan gugup, pipiku mulai memanas. Astaga ada apa denganmu Afsheen?

Bagas menggeleng pelan, sudut bibirnya sedikit tertarik keatas," tidak ada. Hanya tidak ingin melewatkan pemandangan indah ini." Ucapnya dengan santai lalu memberikan kedipan kilat.

Udara dalam ruangan ini semakin menggila panasnya. Aku mencoba kembali menatapnya, dan dia masih tersenyum menggoda." Apa lagi?"

Bagas terkekeh, lalu menggeleng. Dengan perlahan ia bangkit dan berjalan kearah kulkas.

"Biar aku saja," teriakku.

Bagas menaikan alisnya dengan menatapku." Kenapa?"

Aku menelan ludahku dengan gugup," ehem, biar aku aja yang ngambilin airnya." Dengan langkah cepat aku sedikit berlari menuju lemari es. Lalu mengambil botol air mineral yang rupanya lumayan banyak berbaris di dalam lemari es. Ruangan ini lengkap sekali.

"Ini." Aku menyodorkan botol air mineral ke arah Bagas.

Beberapa detik, tidak ada tanda-tanda Bagas ingin mengambil botol air dari tanganku.

" Kenapa?" Tanyaku.

Dan, bukannya mengambil botol air itu dari tanganku, dia malah melipat tangannya di depan dada. Bagas kini tengah menatapku dengan pandangan geli. Bibirnya berkedut hendak tertawa.

Darahku tiba-tiba mendidih, dan seperti ada puluhan kupu-kupu beterbangan didalam perutku. Bagas menaikan alisnya, kemudian berjalan mendekat kearahku.

"Kamu lupa sayang, kamu udah ngambilin air aku tadi." Kata Bagas, dengan menunjukan kearah meja yang terdapat botol air mineral yang tersisa setengah dan juga terdapat dua gelas kecil berada diantara kotak bekal dan botol air.

Aku kembali menelan ludahku ketika Bagas melangkahkan kakinya ke arahku dengan pelan, mata tajamnya menatapku tanpa berkedip dan akupun tidak tahu harus melakukan apa selain menatapnnya balik. Kini badan kami hanya berjarak beberapa centi saja, bisa aku rasakan hembusan napasnya mengenai kulit kepalaku.

Tinggiku dan Bagas terbilang sangat jomplang, Bagas memiliki tinggi diatas rata-rata cowok indonesia sekitar 180 cm. Dan aku memiliki tinggi rata-rata wanita indonesia 150 lebih, bahkan aku dan Rara masih kalah tinggian Rara yang kini masih kelas satu SMA.

Gen memang tidak pernah mengkhianati hasil, aku sempat bertanya kepada Bagas apakah dia asli berdarah indonesia atau mempunyai darah campuran dari ibunya, kakek atau neneknya. Karena aku pun melihat Rara, mama Mayang dan nenek Amalia mempunyai aura itu diwajah mereka, aura yang tidak dimiliki penduduk pribumi seperti aku yang asli keturunan warga indonesia tidak ada mix. Paling campuran antar kabupaten yang sama-sama berdarah lokal. Dan jawaban Bagas, Almarhum kakeknya memiliki darah Bali dan Prancis, kalau nenek Amalia memiliki darah Jawa, Bali dan Australia. Bahkan ayah Amar –Mertuanya- memiliki darah campuran Aceh dan Jawa.

Afsheen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang