Tujuh belas : Antara Sedih dan Bahagia

81 13 4
                                    

Hanya satu cara yang dapat kau lakukan untuk kembali ke masa lalu,
yaitu dengan sebuah kenangan...

****

Tak tak tak... Suara pisau yang beradu dengan talenan kayu di dapur, asap mengepul dari salah satu panci ketika tutupnya dibuka... Tangan itu begitu terampil dan cekatan ketika sedang berkutat dengan bahan masakan dan alat masak. Dengan cepat dia berpindah ke salah satu benda yang sudah bertengger diatas kompor, sebuah wajan yang sudah dikasih minyak goreng. Perlahan tangan yang sudah mulai menua itu bergerak mengambil mangkuk kecil.

Cissss... Cisssss

Terdengar suara bawang dimasukan kedalam wajan panas yang sebebelumnya sudah dihaluskan lebih dahulu.

Tap... Tap... Tap

Langkah kaki itu terdengar cukup jelas disemua penjuru ruangan terlebih lagi lantai dasar rumah itu terbuat dari kayu kokoh yang sudah diketam dengan rapi. Tidak hanya lantai, bahkan dinding rumah serta atap pun terbuat dari kayu, menambah kesan tradisional yang sangat kental.

"Abah, abah..." Teriak anak kecil yang rambutnya dikepang dua kiri dan kanan. Berlari dengan sangat cepat memasuki rumah bahkan dengan kaki nya yang kotor sehabis bermain dari luar. Nafasnya ngos-ngosan, keringat membasahi seluruh area wajahnya yang sedikit kecoklatan akibat terlalu banyak menghabiskan waktu bermain diluar rumah yang bertepatan dengan matahari sedang terik-teriknya.

"Abah... abah," ulangnya.

Seorang pria berumur sekitar kepala empat menengadahkan kepalanya, berpindah dari yang semula menatap hamparan ikan kering yang sudah dia tata rapi dan tinggal dijemur saja. Mata itu menatap anak perempuan yang kini sudah berjongkok disebelahnya dengan tatapan penuh dengan kasih sayang.

"Abah, jar a'a Winda kena bila E'en udah ganal habistuh kawin, E'en diambil laki E'en, jadi kada boleh jadi anak mama tarus..." Ungkap anak berusia sembilan tahun itu dengan Bahasa Banjar bercampur Bahasa Indonesia.'Abah, kata Ka Winda bila E'en udah besar terus nikah, E'en dibawa suami E'en, jadi gak boleh jadi anak manja terus?'.

"Bujur leh, Bah?" Ucapnya dengan cemberut, matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis.'Benar, Bah?'

Pria yang dipanggil Abah itu mengerutkan keningnya bingung atas ucapan anak nya yang masih berusia sembilan tahun, dan masih kecil untuk berpikir perihal pernikahan seperti ini.

"E'en kada handak umpat orang lain, E'en handak lawan abah mama haja," dengan erat Afsheen kecil memeluk sang ayah dan menatap sang ibu yang lagi tersenyum memandang mereka dari tempatnya berdiri dihadapan kompor.'E'en tidak mau ikut orang lain, E'en mau sama Abah dan mama saja'

Pria itu terkekeh pelan menanggapi ocehan anak nya, tanganya perlahan mengusap kepala anaknya." Kenapa kada handak?" Tanya sang Abah.' Kenapa tidak mau'

"Kena kada disayangi kaya ini," Afsheen kecil memeluk leher Ayahnya denga erat, lalu membenamkan wajahnya dileher Ayahnya.

"Anak mama, kena ganal pasti kawin dan umpat lakinya, kada boleh kada..." Wanita yang juga berumpur hampir kepala empat itu bergabung bersama anak dan suaminya.

"Tapi ma, kena E'en kada disayangi, kayak a Winda yang nangis pas handak tulak tadi." Ungkapnya dengan menatap mamanya.' Tapi ma, nanti E'en tidak disayang, seperti Ka Winda yang nangis ketika mau berangkat barusan'.

"A Winda nangis?" Tanya pelan sang mama.

Afsheen kecil mengangguk, lalu turun dari pangkuan sang ayah." Hmm, nangis... Ada banyu matanya tadi!" Ungkapnya yakin yang membuat Ayah dan mama nya tertawa pelan. 'Hmm, nangis... Ada air matanya tadi!'

Afsheen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang