SATUU

34 15 5
                                    

☀️☀️☀️

"Acha, gimana sekolahnya hari ini?" tanya Ibu Acha yang sedang membereskan lemari buku di dekat ruang keluarga.

"Baik, Bu. Lancar-lancar aja," jawab Acha seadanya.

"Kapan ujian akhir semester?"

"3 Minggu lagi," jawab Acha.

"Belajar yang bener ya. Kasihan tuh ayah kamu udah capek-capek cari duit buat kamu," ujar Ibu Acha.

Acha yang mendengar itu langsung merasa sakit hati. Yang tadinya ia duduk di sofa langsung saja ia berdiri dan pergi tanpa menyahuti ucapan sang ibu.

"Acha! Mau kemana?" tanya ibu Acha.

"Mau belajar, biar bangga kalian semua sama Acha."

"Iya, kamu setidaknya harus pintar, Karna kamu nggak cantik."

Duarr!!

Perkataan itu berhasil membuat denyutan nyeri di hati Acha semakin hebat. Inilah yang ia benci dari keluarganya sendiri. Mereka yang mematikan segala harapan Acha dan merusak mental Acha sejak dulu.

Acha benci itu semua. Padahal orang tuanya lah satu-satunya harapan untuknya, sebagai penguat di kala Acha sedang di jatuhkan oleh banyak orang di luar sana.

Rasanya Acha benar-benar di bunuh secara perlahan oleh orang-orang Acha anggap sebagai harapan.

••••

Acha masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya. Sedetik kemudian air mata itu lagi-lagi tak bisa Acha tahan.
Ini adalah salah satu kebiasaan Acha, meluapkan segala rasa sakit dalam hatinya dengan air mata.
Katakan lah Acha lemah, tapi ini benar-benar menyakitkan untuknya.

"Acha juga nggak mau kaya gini. Acha tau aja jelek, tapi bisa nggak, tidak usah memperjelas? Acha susah buat nerima diri Acha sendiri kalau kaya gini," ucap Acha di sela-sela tangisnya.

Acha melangkahkan kakinya menuju cermin. Di tatapnya dirinya di sana yang masih berlinang air mata. Ia memang di lahirkan tidak secantik wanita lain di liar sana, tidak sepintar wanita lain, dan tidak memiliki bakat apapun.

Tapi setidaknya, ia tidak perlu di jatuhkan hanya karena fisiknya. Acha berulang kali mencoba untuk menerima keadaan, Acha mencoba untuk terus menerima apa adanya dirinya, tapi orang-orang terus saja mencelanya. Dan Acha benci hal itu.

Drrtt Drrtt Drrtt

Ponsel Acha berdering, pertanda ada panggilan masuk.

Acha segera mengambil ponsel yang ada di kasur dan melihat siapa yang menelpon nya. Ternyata itu Tio, laki-laki yang sekarang ini berstatus sebagai pacar Acha.

Entah mengapa Acha begitu bahagia bersama Tio, laki-laki itu terlihat tulus mencintai Acha, padahal jika dibandingkan dengan teman cewek yang Tio punya, Acha tidak ada apa-apanya.

Tio juga merupakan pacar Acha yang kesekian, karena sebelumnya Acha juga pernah berpacaran dengan beberapa pria namun berujung sia-sia. Sebab mereka hanya penasaran, serta kasihan sama Acha.

Menyakitkan memang, tapi itu adalah fakta dalam hidup Acha.
Tapi lagi-lagi Acha tidak pernah trauma untuk menerima siapapun yang hadir dalam hidupnya, ia selalu saja menganggap orang itu selalu baik.

Itulah salah satu kelebihan Acha yang bisa juga di sebut sebagai kekurangan. Dia terlalu mudah percaya pada orang, dan selalu ringan tangan dalam membantu, selalu mengiyakan segala hal, padahal itu akan merepotkan dirinya sendiri.

Acha menghapus bekas air matanya lalu menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.

"Halo, Tio?" sapa Acha lebih dulu.

Fear Of Failing AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang