SEBELASH

11 8 0
                                    

'Jangan pernah menghina seseorang dengan fisiknya. Kamu tidak pernah tau sebesar apa usaha mereka untuk selalu bisa mencintai dirinya sendiri.'

-Lala-

☀️☀️☀️

Sepertinya pagi ini Acha memang di takdir kan untuk menghadapi mood yang buruk. Tentu saja bukan tanpa alasan, hal itu bisa terjadi karena baru saja Acha lagi-lagi bertemu dengan Tio dan Kalista.

Makin ke sini, Acha sering mendapati keduanya terlihat semakin romantis. Acha bisa melihat kalau Tio begitu menyayangi Kalista. Perlakuan serta tatapan Tio pada Kalista terlihat sangat berbeda.

Seharusnya Acha mengerti sejak dulu, kalau Tio tidak mungkin setulus itu. Setiap kata-katanya pasti hanya omong kosong. Saat pacaran saja, Tio bahkan tidak pernah mengajak Acha untuk sekedar keluar dan menghabiskan waktu bersama. Tio paling hanya datang ke rumah Acha itupun hanya untuk membawakan tugasnya dan menyuruh Acha menyelesaikannya. Acha benar-benar di manfaatkan, tetapi Acha terlalu buta untuk melihatnya.

Acha merasakan hatinya nyeri dan matanya mulai memanas. Ia benar-benar belum bisa sepenuhnya melupakan Tio. Di depan matanya, Acha melihat Tio begitu bebas tertawa dengan Kalista. Acha ingin pergi, tapi kakinya terasa sulit melangkah.
Paginya benar-benar suram.

Acha tidak pernah di perlakukan semanis itu oleh Tio, bahkan oleh laki-laki manapun saat berpacaran. "Enak banget jadi cantik," kaya Acha lirih.

"Ayo ke kelas Cha."

Acha tiba-tiba merasakan pundaknya di rangkul dengan lembut oleh seseorang. Ternyata itu adalah sahabat nya, Lala. Sepertinya Lala baru saja datang, dan Acha tidak menyadarinya.

Lala merangkul Acha dan mengajaknya meninggalkan area taman dekat parkiran. "Kenapa masih suka liatin hal-hal yang bikin lo sakit sih?" tanya Lala pada Acha di tengah perjalanan mereka menuju kelas.

Acha lalu menggosok matanya yang berair. Untung saja air matanya tidak sampai jatuh.

"Nggak tau, suka aja liat mereka," jawab Acha ngasal.

"Kesukaan lo emang nyakitin diri sendiri ya?" tanya Lala sembari menepuk-nepuk beberapa kali pundak Acha yang terhalau sedikit oleh rambut sebahunya yang tergerai pada hari itu.

"Tio se sayang itu ya sama Kalista?" bukannya menjawab pertanyaan Lala, Acha malah mengajukan pertanyaan aneh lain.

"Acha, udah lupain Tio. Nggak usah terlalu memperhatikan dia di sekitar lo. Dia udah bukan punya lo lagi, dia brengsek dan udah sama cewek lain."

Acha menoleh menatap Lala sebentar sebelum kembali menatap ke tempat lain. "Kok lo jahat sih La ngomong nya?" tanya Acha pelan.

"Biarin gue jahat. Gue capek ya ngomong lemah lembut buat Lo ngerti, tapi lo susah banget. Emang paling bener lo di buat sakit dengan tamparan kenyataan biar sadar," ujar Lala seperti ibu yang sedang mengomeli anaknya.

Mendengar perkataan Lala, Acha hanya terdiam. Baginya setiap ucapan Lala itu tidak pernah salah, tetapi ia sendiri yang tidak bisa menerima setiap kenyataan yang Lala sampaikan.

"Susah La, buat lupa sama dia. Gue setiap hari ketemu dia di sekolah," kata Acha memberikan pembenaran atas dirinya.

"Acha, mau dia ada di samping lo tiap hari tapi kalau Lo berusaha buat lupa, buat nggak peduli, dan cari kesibukan lain lo pasti bisa Cha. Ini hanya masalah waktu," jelas Lala.

"Tapi lo nggak pernah.."

Lala berhenti melangkah, membuat Acha juga ikut berhenti. Kini mereka sudah ada di depan kelas mereka, namun Lala tidak masuk. Ia menghadap kan tubuhnya pada Acha.

Fear Of Failing AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang